Eps. 4 Bertemu Neil

1309 Words
Greta menatap tersentak Kay dengan wajah bingung. Terlebih kala pria itu bergeser lalu berdiri persis di sampingnya juga meraih jemarinya menggenggam erat. Membuat Neil dan Siska yang melihat itu saling tatap dalam kebingungan. "Greta? Apa benar yang diucapkan oleh pria ini? Dia pacar kamu? Sejak kapan kamu berpacaran dengannya?" Neil beralih menatap Kay. Sepasang netranya memindai dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Mengamati sosok pria berpostur tinggi tegap, yang lebih tinggi dari dirinya juga berparas tegas dan lebih menawan daripada dirinya. "Kamu nggak perlu tahu kapan hubungan kami terjalin. Yang jelas, hubungan kami serius dan mendalam di belakangmu. Sayang sekali kamu baru tahu ini." Kay menerbitkan senyum seringai di bibir. Terlihat sorot mata Neil yang tenang kini mulai beriak mendengar ucapan Kay yang terasa panas dan menyengat tak hanya di telinga tapi juga di hatinya. Tentu, dikhianati Greta seperti ini membuatnya meradang, terpukul juga terhina. Ia kira Greta pasti hancur karena dia tinggal selingkuh bersama Siska. Rupanya ia salah, Greta malah bermain dengan pria lain di belakangnya tanpa sepengetahuan dia. Terlihat d**a Neil naik-turun dengan sebelah tangan yang terkepal erat. Kay berhasil membakarnya. "Greta, meski kamu bilang begitu, pada dasarnya dari awal aku tak pernah mencintaimu, aku hanya ingin menjadi teman dekatmu saja. Dari awal yang aku cintai adalah Siska." Langit rasanya runtuh mendengar perkataan menyengat Neil di telinga juga hatinya. Tiga tahun sudah ia menjalin hubungan dengan pria itu. Dia serius dengan Neil, niatnya malah ia akan mengajak pria itu untuk bertunangan. Lantas semuanya mendadak berubah getir begini. Tega-teganya Neil dan Siska menghianati dirinya. Rasanya pedih sekali disakiti oleh seseorang yang dianggap tak akan pernah menyakitinya, dimana kepercayaannya ia berikan pada mereka berdua. Lantas hubungan apa yang mereka jalani selama ini jika itu nukan cinta? Greta benar-benar terpukul dan terguncang hebat. Terlebih kala melihat senyum Neil dan Siska setelah saling tatap intens, membuat dadanya tak hanya terbakar, tapi seolah dunianya telah hangus tak bersisa. Kay bisa melihat Greta saat ini terpukul hebat sampai tak bisa berkata-kata. Ia pun segera mengambil tindakan. "Sayang, sebaiknya kita pergi dari sini bila sudah selesai belanja." Kay lantas menarik tangan Greta, membawanya pergi dari sana. Ia tak ingin Greta terlihat lemah di hadapan dua orang sialan itu. Ia merangkul Greta, memaksanya sedikit sampai mengikutinya berjalan meninggalkan Siska dan Neil. Neil tampak masih meradang melihat punggung Greta dan Kay yang berlalu menjauh pergi darinya. Dia benar-benar merasa dipermalukan balik oleh Greta. "Sayang, sebaiknya kita pergi saja. Pria itu tidak cukup baik. Aku lihat dia hanya orang biasa. Tidak sepadan denganmu. Selera Greta rendahan." Siska mencoba menenangkan Neil yang masih membara, dengan berkata sebaliknya. Setelahnya, Neil menurut saja dan pergi bersama Siska yang masih terus menenangkan dirinya. Di bagian lain outlet. Terlihat Kay dan Greta saling tatap dalam diam. Greta masih syok dengan apa yang dikatakan oleh Kay barusan. Bahkan tangan pria itu masih menggenggam jemarinya sampai sekarang. Ia tarik jemarinya sampai terlepas dari genggaman hangat tangan Kay yang mampu membuatnya tenang. "Kenapa kamu membantuku lagi?" tanyanya dengan menuntut. Kay yang berdiri menjulang di depan Greta yang tingginya sebatas dagu menggeser tubuhnya maju, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya agar tatapan matanya sejajar dengan Greta, lalu merentangkan kedua tangannya di samping kiri dan kanan bahu Greta. "Apakah kamu terima dihina dan direndahkan begitu saja oleh mantan pacarmu? Gadis macam apa yang tak berani membalas pengkhiatan pacarnya?" Jangan lupakan satu tangan Kay yang memegang dagu Greta lembut. Membuat Greta sedikit meremang, dengan sentuhan itu. Sentuhan dari pria asing yang baru ditemuinya. Bahkan, dia namanya saja tidak tahu. "Tidak ada yang gratis di dunia ini." Kay menarik tangannya dari dagu Greta. "Apa ... apa yang kamu minta dariku? Uang, atau apa?" Greta memperjelas. Bila memang Kay meminta itu, ia akan berikan sebagai kompensasi karena telah membantunya dua kali. Memang dia tahu, sekarang ini tidaklah mudah menemukan orang baik dan tulus. "Ristretto." Sungguh, Greta jadi gugup dengan jarak mereka yang berdekatan ini. Ia mencoba menahan napas beberapa detik, namun Kay bukannya menarik diri mundur, malah semakin maju, membuat Greta terpaksa mendorong d**a bidang Kay menjauh darinya, sebelum dia benar-benar tak bisa bernapas karenanya. Dia tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Kay. Ia pikir pria itu akan menariknya sejumlah nominal atau minta apa? Rupanya dia tidak mau minta apapun darinya. Dan benar, dia masih punya hutang pada pria itu. "Tunggu!" Greta mengejar Kay. Langkah pria itu panjang sampai dia menarik lengan Kay untuk membuatnya berhenti. "Ada apa? Kenapa kamu mengikutiku?" Tatapan Kay terkunci pada tangan Greta yang melingkar di lengannya. Membuat Greta menarik tangannya cepat dari sana. "Aku akan mentraktirmu Ristretto sekarang di depan sana." Greta sendiri bukan tipikal orang yang tidak tahu terima kasih. Sudah dibantu dua kali tapi tidak memberinya apapun, itu tidak manusiawi, bukan? Ia tak mau dicap sebagai gadis tak tahu diri. Greta menjelajahkan pandangan dengan cepat ke arah pintu swalayan. Di jalanan dekat swalayan ini setahunya ada kafe baru, ia belum pernah coba itu. Tapi sepertinya yang dicari Kay ada di sana. Semoga saja. "Baik, kita pergi ke kafe yang ada di seberang jalan sana. Tunggu sebentar di sini, aku akan bawa barang belanjaanku dulu ke kasir." Tanpa menunggu jawaban dari Kay, Greta mendorong troli kemudian membawanya ke kasir dan antre di sana. Padahal tanpa sepengetahuan Greta, Kay sendiri saat ini juga menuju ke kasir lain dan antre. Bahkan mereka dilayani bersamaan saat itu, selesai di waktu bersamaan pula. *** "Oh, ya, aku seperti tidak pernah melihatmu di sekitaran daerah sini," ceplos Greta memulai pembicaraan setekah mereka berdua ada di kafe. Dia sebenarnya juga bukan penghuni asli daerah ini. Tapi sudah lama menempati daerah sini. Tentu, dia hafal dengan warga sekitarnya. Bisa dibilang Kay adalah wajah baru baginya. "Apa kamu hafal dengan setiap warga yang ada di sekitar sini? Aku memang pendatang di sini. Jangan tanyakan dari mana asalku dan kenapa pindah di sini?" Padahal, memang Greta mau menanyakan itu. Karena Kay sudah membuat batasan, maka ia pun menahan lidahnya untuk bertanya. "Kamu sendiri, aku belum tahu namamu." "Greta, panggil saja begitu." menurutnya ia tak perlu menyebutkan nama lengkapnya, cukup nama panggilannya saja. Greta pun bermaksud menanyakan hal yang sama pada Kay. Ia baru saja membuka bibir untuk menanyakan siapa namanya, namun waiter datang. "Permisi, Ristretto dan Macchiato datang." Waiter menyajikan pesanan di meja. "Terima kasih." Bukan Kay yang menjawab tapi Greta. Tanpa dipersilakan, Kay terlebih dulu menyesap Ristretto-nya. Sepertinya ia lebih memilih memenuhi bibirnya dengan Ristretto daripada bicara. Beberapa kali ia menggulir sepasang netranya menyapu jam di pergelangan tangan. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" Gadis berambut cokelat dengan pipi putih mulusnya mengaduk Macchiato yang ia pesan. Bening meluncur membasahi. Pada ahirnya ia tumpahkan semua sesak di dadanya. Ingatan Greta kemudian kembali berputar pada kejadian menyesakkan itu. Greta menjelaskan bila beberapa waktu yang lalu dia pergi ke rumah Neil, karena tak ada respons, maka ia pun masuk ke kamar pria itu. Hatinya yang rindu karena lama tak berjumpa sang kekasih mendadak hancur kala melihat Neil sedang bercinta dengan seorang wanita. Yang lebih parah lagi wanita itu adalah Siska, teman dekatnya sendiri. Ia benar-benar tak menyangka saja mereka berdua tega sekali menorehkan luka dalam padanya. Greta selesai bercerita. Bisa dilihat pipinya yang basah saat ini. Kay sampai mengambilkan beberapa tisu dari meja. Greta menerima tisu itu lalu menyeka air matanya sampai kering. "Lantas apa rencanamu setelah ini?" Greta menggeleng. Dia benar-benar kosong pikirannya dan tak tahu harus berbuat apa. "Aku hanya tak ingin terlihat lemah di hadapan mereka berdua. Tapi entah siapa yang bisa menolongku?" Terlihat Kay menarik napas pendek. Sebenarnya dia sendiri sibuk dengan urusannya. Namun karena baru saja terlibat dengan urusan Greta, jadinya ia putuskan untuk masuk sekalian ke masalahnya. "Aku akan membantumu. Tapi hanya selama beberapa waktu saja. Aku mau menjadi pacar pura-pura kamu." Netra Greta seketika melebar mendengar itu. Tentu dia senang sekali ada yang membantu. "Jika begitu, aku akan buat kontraknya." "Deal!" Greta mengangsurkan tangan yang kemudian disambut oleh Kay. Mereka membuat kesepakatan untuk tiga puluh hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD