Bab 3. Uji Nyali Di Depan Bos Baru

1157 Words
“Lulusan Diploma Akuntansi Universitas Airlangga?” Berulang kali Adnan membaca CV milik Indira Febriana. Tampaknya, ia tidak percaya dengan status mantan istrinya. Setahunya, setelah Indira lulus sekolah SMU mereka langsung menikah dan dibawalah Indira ke Jakarta. Namun ia lupa, setelah Indira diceraikan ia tidak tahu apa pun mengenai mantan istrinya saking bahagianya menikahi Priscilia, kekasih hatinya. “Permisi Pak Adnan, jam dua siang ada rapat dengan manajemen.” Tanpa mengetuk pintu, Sherly sudah masuk dan berdiri di hadapannya. Kening Aidan mengernyit, matanya agak menyipit. “Apa kamu tidak tahu etika masuk ruangan?” “Mmm ... maaf Pak, saya terbiasa langsung masuk,” balas Sherly agak gelagapan. “Tapi tidak dengan saya. Biasakan mengetuk sebelum masuk. Sekarang keluar ‘lah, saya nanti akan segera ke ruang meeting!” tegasnya seraya kembali melihat CV Indira yang masih ada di genggamannya. “Ba-baik Pak.” Sherly agak kecewa ditegur seperti itu, biasanya ia tidak pernah diperlakukan seperti itu dengan atasan sebelumnya. “Untung ganteng, jadi nggak masalah ditegur kayak begitu,” gumamnya pelan. Beberapa saat kemudian, masih di lantai yang sama, di ruang meeting. Para karyawan yang memiliki jabatan tinggi tampak berkumpul, termasuk Indira yang diminta mendampingi Wisnu. Sebenarnya bisa saja hanya manajer yang ikut rapat, tapi asisten manajer wajib hadir. Aura menegangkan mulai terasa saat Adnan masuk didampingi Regan dan Sherly. Bagaimana tidak tegang kali ini pembawaan wajahnya terlihat dingin dan tegas. Indira yang ditatap dari ujung meja meeting pura-pura tidak melihat, ia menyibukkan dirinya dengan laporan keuangannya yang mungkin saja harus ia laporkan. Rapat manajemen PT. Angkasa Putra dimulai dengan formalitas pembukaan dari Regan, asisten pribadi Adnan. Suaranya terdengar tenang, tapi dari sorot matanya terlihat ia juga ikut tegang melihat suasana ruangan yang begitu kaku. “Selamat siang. Rapat manajemen hari ini akan membahas tinjauan kinerja enam bulan terakhir dari masing-masing divisi, serta penyesuaian target kuartal ketiga. Silakan, kita mulai dengan sesi perkenalan terlebih dahulu,” ujar Regan sembari membuka catatannya. Satu per satu direktur memperkenalkan diri, dari direktur operasional, pemasaran, humas, hingga direktur sumber daya manusia. Setelah itu, masing-masing memberikan ulasan singkat mengenai pencapaian mereka. “...dan kami berhasil menekan biaya operasional hingga delapan persen, sesuai target optimalisasi tahap awal,” ujar Direktur Operasional sembari menunjukkan grafik di layar proyektor. Regan mencatat dengan cepat, sesekali melirik ke arah Adnan yang duduk di tengah, memimpin rapat dari ujung meja berbentuk oval itu. Adnan hanya duduk diam, matanya tajam memperhatikan setiap gerakan dan kata yang keluar dari para pimpinan. Namun, baru saja manajer keuangan, Pak Wisnu yang mewakilkan direktur keuangan hendak membuka laptopnya untuk presentasi, suara Adnan terdengar memotong. “Cukup,” ucapnya pelan tapi menggetarkan. Semua kepala spontan menoleh padanya. Adnan menoleh sedikit ke arah kiri, pandangannya terarah pada seseorang. “Saya ingin divisi keuangan mempresentasikan laporan keuangan enam bulan terakhir sekarang juga ... tapi bukan oleh direktur atau manajer keuangan,” ucapnya, kemudian jeda. Matanya mengarah tajam ke satu sosok di sisi kanan ruangan. “Indira Febriana. Silakan maju.” Ruangan mendadak hening. Semua mata langsung menoleh ke arah Indira yang tengah duduk di samping Wisnu. Wisnu menatap bingung, namun tidak bisa menolak. Indira menoleh perlahan ke arahnya, memastikan bahwa itu bukan kesalahan dengar. “Maaf, Pak?” tanyanya dengan suara tenang namun terdengar jelas. “Saya ingin Anda yang presentasi,” ulang Adnan tegas. Indira menarik napas. Tak ada rasa panik di wajahnya. Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke depan ruangan dengan tenang. Tubuhnya tegak, langkahnya pasti. Dalam hati, ia berkata, Ini bukan tentang kamu, Mas Adnan. Ini tentang pekerjaan. Ia menyalakan laptopnya, menghubungkannya ke proyektor, lalu memulai presentasi. Suaranya jelas, tenang, dan penuh kepercayaan diri. “Selamat siang. Saya Indira Febriana, asisten manajer keuangan. Saya akan mempresentasikan laporan kinerja keuangan PT. Angkasa Putra selama enam bulan terakhir.” Tangan Indira cekatan mengendalikan pointer presentasi, menunjukkan grafik pertumbuhan, rincian laba rugi, hingga perbandingan antar kuartal. Ia menjelaskan dengan lancar, menggunakan istilah teknis yang tepat namun tetap mudah dipahami. “Kami mencatat adanya peningkatan revenue sebesar 12,3% dari Q4 tahun lalu ke Q2 tahun ini, sebagian besar disumbangkan oleh efisiensi alokasi biaya dan peningkatan performa penjualan.” Beberapa peserta rapat mengangguk-angguk, bahkan ada yang mencatat. Wisnu yang awalnya tampak khawatir, kini justru tersenyum bangga melihat performa bawahannya. “Untuk pengeluaran non-produktif, berhasil ditekan sebesar 6,7%, jauh lebih baik dari proyeksi awal kami yaitu 4%. Ini berkat adanya digitalisasi sistem pengadaan dan pemangkasan pengeluaran konsumtif pada divisi non-utama,” lanjut Indira. Di balik diamnya, Adnan menatap tajam ke arah wanita itu. Matanya tak berkedip, rahangnya mengeras. Kenapa dia bisa berdiri begitu tenang? Kenapa tidak ada rasa gugup sedikit pun? batinnya, mulai diserbu emosi yang aneh. Ia tahu Indira cerdas, tapi melihatnya bersinar di depan banyak orang—di hadapan dirinya—mengusik sisi egonya. “Selanjutnya, saya akan menjelaskan analisis resiko dan rekomendasi penyesuaian anggaran untuk semester berikutnya.” Suara Indira terus mengalir, menunjukkan grafik rasio hutang terhadap modal, serta prediksi arus kas. Setelah dua puluh menit, presentasi itu ditutup dengan sebuah slide penuh kesimpulan yang rapi dan berbobot. “Demikian laporan yang dapat saya sampaikan. Terima kasih.” Indira menunduk sopan, lalu berjalan kembali ke tempat duduknya. Ruangan masih sunyi, hingga kemudian tepuk tangan kecil terdengar dari salah satu direktur, disusul oleh yang lain. Regan pun ikut bertepuk tangan perlahan. Adnan tidak bergerak. Ia masih menatap Indira, yang kini duduk kembali dan tampak mencatat sesuatu di buku kecilnya. Tak sedikit pun wanita itu menoleh padanya. “Baik,” ucap Adnan akhirnya, suaranya dingin. “Laporan yang bagus. Efisiensi divisi keuangan cukup memuaskan. Namun saya ingin catatan lebih rinci mengenai anggaran pengembangan IT. Saya akan minta laporan itu minggu depan.” “Siap, Pak. Akan kami siapkan,” jawab Wisnu dengan tenang, meski matanya melirik ke arah Indira dengan rasa kagum yang tidak bisa ditutupi. “Rapat saya anggap selesai,” ucap Adnan. “Kecuali ada yang ingin disampaikan?” Tak satu pun yang menjawab. Semua hanya menggeleng atau diam, menunggu pimpinan meninggalkan ruangan. Adnan berdiri, merapikan jasnya dan berjalan keluar tanpa berkata lagi. Sherly dengan cepat membuntuti di belakangnya, sementara Regan sempat menoleh dan memberikan senyum tipis kepada Indira sebelum menyusul bosnya. Setelah ruangan mulai sepi, Wisnu menepuk pundak Indira. “Kamu luar biasa, Dira. Saya bangga,” ucapnya tulus. “Terima kasih, Pak. Saya cuma menjalankan tugas.” Namun hatinya tetap bergemuruh. Ia tahu Adnan sengaja memilihnya bukan karena profesionalitas semata. Tapi untuk menguji. Dan ia berhasil melewati itu. *** Di koridor kantor Adnan melangkah cepat menuju ruangannya. Sherly berusaha mengimbangi langkah kakinya, tapi terengah-engah. “Pak, saya—” “Jangan ganggu saya sekarang!” bentak Adnan, membuat Sherly menelan kembali kata-katanya. Padahal ia ingin memberitahukan jadwal berikutnya. Begitu tiba di ruangan, Adnan menutup pintu dengan sedikit keras. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di kursinya. Tangannya mengusap wajahnya. "Kenapa kamu bisa berdiri begitu tenang di hadapanku, Indira? Sombong sekali!" Ia menatap layar laptopnya, CV Indira masih terbuka di sana. Tangannya mengepal. Bukan karena perasaan bencinya, tapi karena ketidakmampuannya mengendalikan emosi yang berkecamuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD