Bab 8. Tragedi Lift

1124 Words
Entah apa yang telah merasuki Adnan, ia begitu berani menyentuh tangan Indira di mana Priscilla—istrinya berada di sebelah kanan. Wajah Indira yang kini menoleh menatap suaminya begitu geram. Bolehkah ia melabrak mantan suaminya di saat itu juga? Dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Namun ... suara dentuman keras terdengar, semua yang ada di dalam kotak besi langsung tegang. Regan yang posisinya dekat pintu lift segera menahan pintu lift untuk tidak tertutup. “Sebaiknya kita segera keluar!” seru Regan berusaha tidak panik. Priscilla gegas keluar begitu juga dengan Regan, dan begitu Indira dan Adnan ingin keluar. Pintu lift tertutup, kotak besi itu meluncur begitu saja. “AKKH!!” jerit Indira ketakutan, Adnan yang juga merasa gravitasi jatuh itu langsung menarik Indira dan memeluknya. Sementara itu, Priscilla dan Regan yang berhasil keluar dari lift tampak panik. “Regan, cepat cari bantuan! Suamiku ... suamiku terjebak di lift ... tolong!” seru Priscilla dengan menggigit kukunya. Regan tanpa menjawab berlarian mencari bantuan di sana untuk menghubungi teknisi yang biasa mengurusi gedung. “Lift dua mengalami masalah, Pak Adnan dan mbak Indira terjebak di lift, segera cari bala bantuan. Segera!” perintah Regan saat menemukan salah satu security. “Baik Pak.” Pria berseragam hitam itu dengan alat komunikasinya langsung menghubungi rekan kerja. Sementara itu di dalam lift, Indira menutup wajahnya dalam dekapan Adnan, bahkan mereka berdua telah jatuh terduduk setelah mengalami guncangan hebat seperti ada gempa sejenak dalam per-sekian detik. Tubuh Indira masih gemetaran saking takutnya, bahkan lama-lama terdengar isak tangisnya yang begitu pelan. Lampu lift yang semula sempat mati, kini kembali menyala. Perlahan-lahan, Adnan membuka matanya, tampaklah mantan istrinya masih di pelukannya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya yang sama-sama terguncang, sembari tangannya mengusap punggung wanita muda itu. Tak lama kemudian, Indira yang sudah menyadari lift itu berhenti, ia menarik dirinya dari pelukan Adnan. Matanya sembab saat mereka beradu pandang. Ada rasa benci yang terpancar di mata Indira. “Kamu tidak ada yang terlukakan?” tanya Adnan. Indira tersenyum miring, dengan tubuhnya yang gemeteran ia berdiri dan segera memencet tombol darurat. Serta, meminta bantu jika ia terjebak di lift tapi tidak tahu berada di lantai berapa. “Mbak Indira, kami sedang menunggu team datang. Kami harap Mbak Indira tidak panik, kami akan segera evakuasi,” sahut salah satu petugas melalui speaker yang ada di dalam lift tersebut. “Segera Pak!” jawab Indira, suaranya terdengar lemas. Ya, ia baru mulai merasakan degup jantung yang cepat belum juga reda, dan bagian punggungnya baru terasa sakit. Mungkin tadi tubuhnya sempat membentur dinding lift begitu keras sebelum Adnan menarik dan melindunginya. Usai itu, tubuh Indira melorot ke bawah, seperti tak ada tenaga untuk duduk. “Indi.” Adnan langsung meraih tubuh Indira. “Jangan sentuh saya, Pak Adnan,” pinta Indira saat mantan suaminya kembali memeluknya dalam posisi duduk. “Tapi, tadi kamu hampir jatuh. Kalau kamu ngerasa sakit, bilang saja.” Indira kembali menyunggingkan senyum sinisnya. “Bilang ke siapa? Memangnya saya harus bilang ke Bapak? Sungguh sialnya saya hari ini! Andaikan tadi saya menolaknya, mungkin saya tidak akan kena apes kayak begini,” sergah Indira seraya memalingkan wajahnya dari tatapan pria itu. “Eh, kamu pikir saya tahu kalau akan terjadi seperti ini!” balas Adnan jadi ikutan kesal. “Andaikan tapi Pak Adnan tidak pegang tangan saya, pastinya saya tadi bisa ikutan keluar duluan bersama istri Anda!” sahut Indira semakin dibuat emosi. “Oh, jadi kamu sekarang menyalahkan saya!” “Ya, iyalah, Anda juga aneh, di depan istrinya bisa-bisanya pegang tangan saya! Jangan-jangan Pak Adnan sering seling—akh!” Tubuh Indira tersentak ke belakang, semakin menempel sempurna dengan d**a Adnan. Kepala Indira pun jatuh bersandar di bahu pria itu. Begitu sempurna pria itu memeluknya dari belakang, bahkan kedua tangannya seakan mengikat tubuhnya. “Diam! Kalau masih saja bersuara, saya tidak akan segan melakukan yang lebih di sini,” bisik Adnan terdengar serius. Indira tidak berani menolehkan wajahnya ke samping, ia bisa merasakan jika wajah mantan suaminya begitu dekat dengan wajahnya, bahkan napas hangatnya mampu membuat tubuhnya bergidik. “Apalagi, kamu belum mengatakan saya ini siapa buat kamu.” Lagi-lagi pria itu berbisik, bahkan nyaris saja bibirnya mengecup daun telinga mantan istrinya. Wanita itu mendesis. “Begitu pentingkah saya harus mengatakannya? Lagian saya merasa tidak pernah bertemu dengan Anda, Pak Adnan. Jadi saya—akh!” Indira meringis kesakitan saat ingin menarik punggungnya dari dekapan Indira. Semakin ia menarik tubuhnya maka rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya. “Sa-sakit.” Indira menggigit bibirnya, berusaha menenangkan dirinya dengan harapan rasa sakit di punggungnya mereda. Tapi, malah semakin menjadi rasa sakitnya, di tambah ia merasa paru-parunya kehabisan oksigen. Wajah Indira mulai memucat, tubuhnya sudah keluar keringat dingin. “Indi,” panggil Adnan karena udah merasa aneh dengan deru napas Indira yang terlihat cepat. Ia lantas menyentuh tangan, dan leher Indira. “Indi, badan kamu dingin,” gumam Adnan mulai cemas. Tanpa melepaskan pelukannya, ia merogoh saku jasnya. Adnan meraih ponselnya, berharap ada sinyal. Untuknya ada. “Halo Pak, team teknisi sudah ada di depan pintu lift, kami sedang mencoba untuk membukanya,” sahut Regan saat menerima panggilan telepon. “Saya berharap bisa cepat evakuasinya, kamu juga segera panggil ambulans dan team medis, Indira badannya dingin dan—“ Adnan tidak melanjutkan ucapannya, saat tangan Indira jatuh terkulai lemas. “Indi ... Indi!” seru Adnan panik. “Halo ... halo Pak?” Suara Regan masih terdengar di sambungan telepon. Ponsel Adnan terlepas dari tangannya, pria itu kini sibuk menepuk-nepuk pipi Indira dengan harapan bisa lekas bangun, tapi ternyata tidak. “Indi ... Indi, bangun!” *** Di lantai satu, team evakuasi terlihat berjuang untuk membuka pintu lift. Kania, Rena, dan Vivi teman satu divisi dengan Indira tampak cemas menunggu pintu lift itu terbuka. Sementara Priscilla terlihat duduk tak tenang di salah satu bangku yang diberikan oleh salah satu staff sembari menatap ke arah pintu lift. “Duh, semoga Indira nggak kenapa-napa di sana,” ucap Kania. “Semoga aja Ka, kalau aku pasti bakal syok,” sahut Rena harap-harap cemas. Mobil ambulans telah tiba di depan lobi kantor, dan beberapa para medis datang dengan brankar lipat. Dan, setelah hampir satu jam perjuangan membuka pintu lift. Akhirnya terbuka. “Alhamdulillah!” seru semua orang yang menanti. Priscilla lantas beranjak dan berlari kecil untuk menghampiri suaminya. Tapi apa yang terjadi, Priscilla tertegun melihat suaminya. Dengan gagah dan wajah cemasnya, Adnan yang membopong tubuh Indira yang masih tak sadarkan diri dari dalam lift, tanpa seorang pun boleh membantunya. “Cepat, bawa ke rumah sakit!” perintah Adnan dengan meninggikan suaranya, sembari ikutan berlarian berbarengan dengan brankar di mana Indira sudah direbahkan di atas sana, dan salah satu para medis memberikan tabung oksigen portabel ke hidung Indira. “Saturasi korban menurun! Keadaan gawat darurat!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD