ZZ|14

1410 Words
Lambaian tangan Zevania terlihat ketika motor yang dikendarai Zevano bergerak menjauh meninggalkan area sekolahnya. Mengingat Zevano, rasa kesal pada kakak kandungnya itu belum hilang sejak kejadian semalam ketika Zevano mengagetkan Zevania yang tengah parno karena sendirian di dalam rumah. Zevania mungkin harus mengusulkan rumah yang lebih kecil dan lebih dekat dengan tetangga. Sepertinya hidup di dalam perkampungam akan sangat menyenangkan, karena nampaknya hubungan antar tetangga masih tetap terjaga. Berbeda dengan tinggal di perumahan yang bahkan tetangga di rumah sebelah saja bisa tidak kenal. Berhenti melamun! Karena di depannya ada motor vespa yang bersiap akan masuk ke area sekolah. Melihat Zidan yang mengendarai, tentu saja Zevania tidak akan semudah itu untuk memberi jalan. Zevania tersenyum dan berjalan tepat di depan motor Zidan. “Pagi, Zidan.” Senyuman manis masih bertengger di bibirnya. Zidan mendengus dan mencebikkan bibirnya. Ini masih pagi dan Zidan harus menghadapi makhluk semacam Zevania. Untung saja Zidan termasuk golongan orang yang sabar, jika tidak maka dipastikan motornya akan langsung melaju menabrak tubuh indah di hadapannya. “Minggir!” “Enggak mau, sebelum kamu janji hari ini kita pulang bareng.” Zevania tersenyum puas mendengar kalimatnya sendiri. “Ogah! Gue bilang minggir sebelum gue tabrak!” Peringatan Zidan terdengar serius, namun tentu saja Zevania tidak merasa takut karena ia yakin Zidan tidak setega itu untuk menyakiti perempuan. “Enggak sebelum lo janji kita pulang bareng pokoknya.” Zevania menyimpan kedua sikut di bagian depan motor Zidan dan menopang dagu dengan kedua tangannya. “Oke!” Zevania tersenyum senang dan segera mempersilahkan motor Zidan untuk memasuki area sekolah sebelum Zidan berubah pikiran. Dengan langkah kaki cepat, Zevania berjalan mengikuti motor Zidan sampai ke tempat parkir. Sepertinya hari ini anggota D’Zebra kompak menggunakan motor vespa, karena di sini terparkir sekitar lima belas motor vespa yang dipastikan mahal harganya. “Wah, asik nanti gue dibonceng naik motor vespa. Unyu-unyu gimana gitu kayak gue.” Zevania mengelus satu persatu motor vespa yang berjajar di depannya. Zidan yang melihat kelakuan kampungan Zevania hanya mendengus, cewek dengan rambut kuncir kuda itu seperti baru pertama kalinya saja melihat vespa. Padahal, sudah tidak terhitung ke berapa kalinya anggota D’Zebra membawa motor vespa ke sekolah. “Kampungan banget!” ketus Zidan seraya berjalan. “Ish! Biarin kampungan, yang penting aku cantik!” gerutu Zevania dan mengikuti langkah kaki Zidan. “Ini aku bawa bakwan jagung, makan dulu yuk!” seru Zevania ketika kakinya berhasil menyamai langkah kaki panjang Zidan. “Kenyang!” “Loh, kamu udah sarapan? Padahal aku udah buat bakwan jagung buat kamu, enak loh aku buatnya pakai cinta.” “Gue kira pakai terigu sama jagung.” “Ish!! Maksud aku tuh dibuat dengan keadaan aku yang penuh cinta sama kamu.” Zevania meraih tangan Zidan dan menariknya membuat cowok jangkung itu terpaksa menghentikan langkahnya. “Apa?” “Makan ya, please!” tutur Zevania dengan wajah memohonnya. “Lo tuh kenapa sih setiap hari bawa makanan buat gue?” Zidan kembali melanjutkan langkahnya dan tentu saja diikuti oleh Zevania. “Supaya lidah kamu terbiasa sama makanan aku, jadi kamu gak bisa jauh dari aku nantinya. Sini cobain, enak loh.” Zevania mengeluarkan bakwan jagung dari tasnya dan memakan satu gigitan. “Kenapa harus?” Tanya Zidan menatap heran Zevania. “Soalnya mau bikin kamu cinta susah, ya udah aku bikin kamu terbiasa aja kan. Ya udah kalau kamu gak mau, aku makan lagi aja.” Zevania hendak menggigit kembali bakwan jagung di tangannya sebelum ada bibir lain yang menyambar bakwannya. “Lebih enak daripada beli di warung jendela,” seru Zidan pelan dengan jarak wajahnya yang dekat pada Zevania karena gigitannya pada bakwan yang dipegang Zevania belum lepas. 0o0 Suaranya perdebatan antara Tania dan Reynaldi memenuhi gendang telinga para penghuni kelas sejak tujuh menit yang lalu. Bukan perdebatan yang berisikan politik, bukan pula debat mata pelajaran biologi yang mempermasalahkan mengenai evolusi. Hanya perdebatan kecil berupa penolakan sebuah panggilan yang diberikan Reynaldi pada Tania. “Pokoknya hue gak mau dipanggil gitu! Orang tua gue susah-susah ngasih nama bagus, eh malah dipanggil kayak gitu!” “Otan itu panggilan yang bagus, lo gak tahu apa acara yang di tv itu loh?” seru Reynaldi. Kemarahan Tania semakin terlihat dengan wajahnya yang memerah menahan amarah dalam dirinya yang seakan siap diledakkan saat itu juga. “Gak mau! Yang di tv itu monyet! Gue kan bukan! Jangan panggil gue gitu lagi!” Tania melempar pulpen tepat pada kepala Reynaldi. “Awww!!! Dasar Otan!!!” keluh Reynaldi mengusap kepalanya. “Udah kenapa sih, berisik tahu. Gak liat apa semua orang di sini liatin kalian. Malu tahu!” sela Zevania sebelum Tania menyemburkan amarahnya lagi pada Reynaldi. Tania dan Reynaldi akhirnya menyadari bahwa keduanya telah menjadi pusat perhatian seluruh penghuni kelas saat ini. “Tahu ih kalian, mentang-mentang urat malunya udah putus!!” timpal Gista yang sedari tadi tak mendengarkan perdebatan antara dua sahabatnya, hanya saja perdebatan mereka tetap saja terdengar. “Abisnya Rey sih, seenaknya aja manggil gue kayak gitu!” gerutu Tania dengan mengangkat kepalan tangannya ke udara dan mengarahkannya pada Reynaldi, seolah-olah ia sedang menonjok Reynaldi melalui perantara udara. “Loh, kan itu emang nama lo!” tukas Reynaldi santai. “Tuhkan debat lagi, capres bukan ngapain sih debat mulu!!” ujar Zevania kesal. “Bener, mending kalau yang diperdebatkan itu penting,” timpal Gista menyetujui. “Kantin yuk ah!” Zevania beranjak dari duduknya dan langsung diikuti oleh Tania. Lebih baik ia segera pergi daripada harus terus meladeni Reynaldi yang tidak akan pernah mau mengalah. Gista nampaknya lebih memilih bermalas-malasan karena terbukti ia tidak menyusul kepergian Zevania dan Tania. Rasa panas langsung menjalari hati Zevania ketika baru saja sampai di kantin, ia melihat Wilona dan Farah yang duduk satu meja bersama Zidan dan teman-temannya. Padahal, selama ini Zevania selalu berusaha untuk menjaga kenyamanan Zidan saat makan dengan tidak duduk di satu meja yang sama. Tapi yang dilihat Zevania saat ini? Wilona duduk tepat di samping Zidan! Dan Zevania tentu saja tidak akan membiarkan ini terjadi. Dengan langkah kaki cepat, diikuti oleh Tania di belakangnya Zevania menghampiri meja yang ditempati mereka. “Hai, Zidan! Aku boleh ya gabung di sini?” tanya Zevania langsung menggenggam tangan Zidan yang sedang memegang sendok. Terlihat Zidan menghentikan kegiatan makannya dan mendongak menatap malas pada Zevania. Kenyamanannya benar-benar terganggu saat ini, sudah direcoki Wilona dan sekarang Zevania datang. “Boleh banget dong, masa bidadari gak boleh gabung sama kita. Sini duduk sama Abang Rafa.” Dengan perasaan senang, Rafael menepuk bangku yang belum terisi di sebelahnya. “Iya sini duduk!” Ilham bahkan berdiri untuk mempermudah akses duduk bagi Zevania. Tapi Zevania menggelengkan kepalanya dan kembali menatap Zidan. “Mau duduk samping Zidan!” Zevania menggoyangkan tangan Zidan dengan manja. Wilona berdecih melihat Zevania yang bersikap manja pada Zidan. “Heh pelayan, jangan lo sentuh Zidan pakai tangan lo itu ya! Zidan pasti jijik sama tangan yang bisanya cuci piring doang!” Wilona menepis tangan Zevania dari Zidan. “Lo itu harusnya sadar diri dong, sebelum deketin Zidan lo liat dulu diri lo ini siapa? Lo pikir Zidan demen model pelayan kayak lo?” Farah tak tinggal diam, dia mengejek Zevania dengan lantang. “Sialan lo! Emang kenapa? Harusnya kalian yang malu, gue yakin kalian berdua nyuci piring satu aja pasti gak bisa kan?” bentak Tania, kemarahannya yang tak tersalurkan pada Reynaldi nampaknya akan ia lampiaskan pada dua makhluk menyebalkan di depannya saja. “Maaf ya, kita kan punya pelayan. Ngapain harus cuci piring!? Kalau Zevania kan emang pelayan beneran!” ejek Farah semakin lantang. “Kita itu punya orang tua kaya raya. Pelayan mah udah bukan hitungan lagi, emangnya Zevania orangtua nya aja gak jelas. Pantas aja hidupnya susah dan berakhir jadi pelayan deh,” sinis Wilona menatap puas Zevania yang terlihat pucat mendengar kalimatnya. “Tahu apa lo tentang orang tua gue?!” sentak Zevania. “Jangan-jangan lo juga melayani banyak cowok di luar kafe? Melayani di ranjang misalnya? Upsss!!” Wilona menutup mulutnya sendiri seolah ia baru saja keceplosan. Zevania memejamkan matanya sejenak, kemudian ia melihat Zidan yang terdiam dan tak nampak sedikitpun berminat untuk membela Zevania. Dengan genangan air mata yang semoga saja tak disadari siapapun, Zevania beranjak pergi meninggalkan semuanya. “Jaga mulut lo!” bentak Tania pada Wilona sebelum ia menyusul Zevania. Zidan menatap kepergian keduanya dalam diam. Dan tak lama Zidan pun beranjak pergi, ia muak harus menjadi rebutan dua cewek favorit di sekolahnya itu. Apalagi mengingat janji pulang bersama yang harus ia tepati nanti bersama salah satu diantaranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD