Fitnahan

1095 Words
  Alandra masuk ke kamarnya dengan perasaan berkecamuk. Fitnahan itu sangat kejam baginya, dan ia bingung bagaimana agar bisa dibuktikan. Terlebih, ucapan kakek itu itu membuat dadanya terasa sesak. ‘Apakah kutukan itu akan terjadi padaku?’ batinnya. Ia masih ingat cara kakek itu menatapnya, seolah ada aura magis yang dirasakan. Seketika bulu kuduknya merinding. Guyuran cahaya rembulan menghiasi netra birunya. Ia terus mendongakkan kepala ke arah jendela kamarnya, menatap ke arah langit - tak peduli angin menyusup ke jubah sutranya. Terdengar suara ketukan, kemudian dua orang membuka pintunya. “Nak ....” Suara halus membuat lamunanya buyar. “Ibu, Ayah. Masuklah,” ucap Alandra lalu membalikkan tubuhnya untuk menyambut kedua orang tuanya. “Ayah dan ibu ingin bicara,” ujar Tathiana. Iris matanya berkaca-kaca. Alandra tiba-tiba terduduk dan sujud di kedua kaki orang tuanya. “Apa ini Nak?” Sang ratu terkejut dengan apa yang dilakukan Alandra. “Maafkan anakmu ini. Telah mencoreng nama baik kerajaan, tapi sungguh aku tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan,” ucapnya tak berani menatap wajah sang raja dan ratu. Alastor meraih kedua pundaknya agar anaknya itu bangun. “Berdirilah, Nak! Kami datang bukan untuk menyalahkanmu, ayah dan ibu tahu kalau engkau tak bersalah. Ini hanyalah fitnahan orang dalam,” ucap Alastor. Seolah ia tahu, siapa dalang di balik kejadian ini. “Jadi Ayah tahu?” tanya Alandra. Alastor terdiam sesaat. Ia bukanlah sembarang raja, pria berambut yang mulai memutih itu tahu siapa-siapa saja yang tulus mendampinginya. “Belum saatnya kita buka sekarang. Saat ini, lebih baik fokus ke dirimu saja.” Alandra hanya tersenyum getir. “Katakan Nak, apa yang mesti kami lakukan? Ayah dan ibu akan menolongmu,” cetus Tathiana. Sang pangeran memegang bahu ibunya itu dengan lembut. “Ibu. Aku tidak mau mencoreng kembali nama baik kalian. Apa pun keputusannya, aku terima sekali pun harus dihukum. Asalkan kalian percaya aku tak bersalah, itu sudah cukup.” “Tapi Nak__” “Tak ada tapi. Aku sudah pikirkan ini matang-matang. Ayah terkenal sebagai raja yang adil seantero Xaviorus, jadi lakukanlah apa yang ingin rakyat lakukan padaku,” ucap Alandra tanpa keraguan. Alastor dan Tathiana saling menatap. Entah apa yang mereka pikirkan. “Tidak. Justru karena Ayah ingin berlaku adil, maka kebenaran harus ditegakkan. Tak mungkin Ayah menghukum orang yang tidak bersalah, terlebih anak sendiri,” tukas Alastor. Lelaki paruh baya itu berjalan mendekati jendela yang terbuka, membiarkan hembusan angin mengusap wajahnya. Ia begitu khawatir akan anak semata wayangnya. Alandra tersenyum. “Kalau begitu. Biarkanlah semua berjalan seperti air mengalir, tokh cepat atau lambat kebaikan takkan tertukar dengan keburukan. Kita lihat, siapa yang benar dan siapa yang salah. Lalu ....” Alastor dan Tathiana kompak menatapnya. “Untuk sementara masukkan saja aku ke penjara. Setidaknya hal itu mampu meredam gejolak emosi dari orang-orang yang kontra,” imbuh Alandra kemudian. “Kau yakin?” tanya Alastor ragu. Alandra mengangguk. Alastor sangat paham prinsip teguh yang dimiliki anaknya, maka ia pun tidak lagi menyanggah ucapannya. **** Keesokan harinya, Alastor mengadakan pertemuan dengan para petinggi kerajaan. Bermaksud untuk mencari solusi bersama, namun yang ia inginkan tak sesuai harapan. Semua orang seolah dicuci otaknya, agar sepenuhnya menyalahkan Alandra atas kematian salah satu rakyatnya. Bahkan mereka mendesak sang raja, untuk memenjarakan pangeran – terlebih tak ada satu pun bukti yang didapat kalau Alandra tak bersalah. “Baiklah. Saya setuju dengan keputusan ini, tapi tolong berikan setitik keadilan juga bagi anakku. Jika dalam kurun waktu dua bulan, anakku baik-baik saja tidak terkena kutukan kakek itu. Maka artinya ia tak bersalah, dan Alandra harus dibebaskan. Sebaliknya jika ternyata ia mendapatkan kutukan itu sehingga memiliki penyakit kulit, maka saya pasrah apa pun yang akan dilakukan untuk anakku sebagai hukuman,” ucap Alastor panjang lebar. Setelah diskusi panjang lebar, akhirnya mereka setuju. **** Pertemuan selesai, Luxone menghampiri Alastor di ruangannya. “Ada apa?” tanya Alastor dingin. Matanya sibuk menatap tulisan di mejanya. Luxone menyodorkan sebuah surat padanya. “Ini surat dari perwakilan rakyat kita. Mereka mendesak pihak kerajaan agar Alandra segera dihukum atas kasus pembunuhan kakek tua itu.” Alastor mendadak terpaku menatap gulungan kertas itu. Sementara Luxone mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas. “Bagaimana? Sebaiknya jangan ditunda-tunda, karena engkau akan dianggap tidak tegas sebagai seorang raja. Gelar raja adil yang kamu miliki selama ini bisa saja pupus,” imbuhnya. Rahang Alastor mengeras. “Cukup Luxone! Akhir-akhir ini kamu banyak bicara, sebaiknya keluar dari ruanganku dan biarkan aku yang mengambil keputusan,” ujar Alastor tegas. “Baiklah. Saya permisi.” Luxone keluar dari ruangan, diiringi seringaian, ‘Ini baru permulaan wahai kakakku,’ batinnya. **** Beberapa hari kemudian, karena desakan dari berbagai pihak. Alandra dimasukkan ke penjara bawah tanah. Tidak ada yang diistimewakan walaupun ia anak raja, tetap saja di tempatkan di penjara yang gelap, lembab dan dingin. Sesekali ratu Tathiana menjenguk dan mengajaknya berbicara. “Ibu. Sejak aku di penjara apakah semuanya baik-baik saja? Aku khawatir, para rakyat masih menekan ayah,” ucap Alandra. “Tidak, Nak. Semua baik-baik saja, karena kemauan mereka telah terpenuhi dengan menghukummu. Tapi ....” “Tapi apa Bu?” “Hukumanmu tinggal empat belas hari lagi. Jika kutukan itu tidak datang padamu, maka artinya kamu tak bersalah dan bisa bebas dari hukuman. Jika sebaliknya, maka ....” Ucapannya kembali terhenti, Tathiana tiba-tiba terisak. Rasa khawatir dengan keadaan anaknya tiba-tiba menjalar. Alandra memegang jemari ibunya dengan lembut, sambil menatap wajah ibunya yang masih tampak cantik. “Percayalah. Tak akan ada yang terjadi apa-apa padaku, karena aku tidak melakukan seperti yang mereka tuduhkan.” Alandra mencoba menenangkan ibunya, walau hatinya tak bisa dibohongi ada rasa takut yang menghantui beberapa terakhir ini. Tathiana mengangguk dan mengalihkan pembicaraan. “Apakah makanmu bagus selama di sini?” tanyanya kemudian. “Bagus Bu. Setiap hari, penjaga penjara tak pernah telat memberi makanan.” “Tapi pasti berbeda ya, dari makanan khas kerajaan?” Tathiana kembali bertanya. Alandra hanya mengulas senyum. Sang ratu merogoh sesuatu dari saku jubahnya, sambil menengok kanan dan kiri, khawatir penjaga penjara mengetahuinya. Karena semenjak fitnahan anaknya, tak satu pun yang dapat dipercaya lagi. Ia lalu menyodorkan sebuah kantong kain berwarna merah. “Apa ini Bu?” tanya Alandra. “Ini pil makanan. Minumlah sehari satu kali, agar kamu tidak pernah merasa lapar, sehingga tak perlu makan makanan khas penjara lagi. Pil ini mampu membuatmu kenyang seharian,” tukas Tathiana. “Dari mana ibu dapat pil ini?” “Teman ayahmu, namanya Argus. Ia seorang peramal yang baru datang dari negeri sebrang.” Alandra hanya menganggukkan kepala. “Ingat, jangan pernah makan makanan yang diberikan pelayan penjara, paham!” tegas Tathiana. Walau merasa aneh kenapa ibunya seprotektif itu, tapi Alandra berusaha mentaatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD