Bab 7. Kebenaran yang terbuka

1070 Words
Andai Arka tahu alasan Lembayung sampai tak bisa mengurus dirinya sendiri adalah karena Amara. “Setelah isi botol infus itu habis, kamu sudah boleh pulang. Aku sudah bayar semuanya, nanti aku antar kamu pulang dan please kamu harus janji kalau mulai hari ini gak aneh-aneh lagi dan mulai makan dengan benar,” ucap Arka sambil merapikan selimut yang menutupi tubuh Lembayung. “Gak, aku gak mau pulang!” ucap Lembayung cepat dengan suara tegas. “Lembayung!” “Tolong aku diantar ke hotel di dekat kantorku mas, aku menyimpan tasku disana, aku mau tinggal disana sampai aku dapat tinggal baru!” “Lembayung! Ada apa sih?! Aku sudah menahan diriku untuk tidak menghubungi kakak dan ibumu! Mereka pasti cemas dan pasti mencarimu! Apalagi kalau mereka tahu kamu berada dirumah sakit!” “Nggak! Mereka gak peduli sama aku mas! Yang mereka pikirin cuma mbak Mara doang!” “Supirku sudah datang, nanti kamu aku antar pulang.” “Mas Arka diboongin sama mbak Amara!” “Lembayung! Kamu jangan bicara sembarangan soal kakakmu!” “Mbak Amara gak punya hati! Dia merebut cinta pertamaku! Dirumah itu gak ada yang peduli soal perasaanku! Aku gak mau pulang!” “Aku capek dengar kerewelanmu!” “Terserah mas Arka! Pokoknya aku gak mau pulang!” Arka hanya menghela nafas panjang dan segera berdiri meninggalkan Lembayung keluar dari kamar. Ia tak begitu peduli dengan apa yang terjadi pada Lembayung, yang ia tahu bahwa mengantarkan Lembayung pulang membuatnya memiliki kesempatan untuk bisa bertemu Amara. Arka mencoba menghubungi Amara, tetapi perempuan itu tetap menolak panggilan teleponnya. Akhirnya Arka segera mengirimkan pesan pada Amara. “Aku sedang bersama Lembayung, dia ada dirumah sakit.” Tak lama setelah pesan itu terkirim, Amara menghubungi Arka. “Dimana Lembayung?! Kenapa ia ada dirumah sakit?! Sudah dari kemarin ia tidak pulang! Dimana dia?” tanya Amara cemas ketika ia mendengar suara Arka. “Tenanglah, setelah infusnya habis aku segera mengantarnya pulang. Kita bertemu dirumah ya, tolong bilang pada Tante Amih dan Om Gatot, kalau Lembayung aman bersamaku,” ucap Arka dengan suara lembut merasa senang ketika Amara mengangkat teleponnya. Amara hanya bisa mengiyakan dan tak lama kemudian komunikasi keduanya pun terputus. Setelah beberapa jam kemudian, akhirnya Lembayung dan Arka keluar dari rumah sakit. Lembayung tampak marah ketika menyadari bahwa Arka benar-benar membawanya pulang kerumah. “Dasar pengkhianat! Mas Arka pembohong! Kamu sama aja dengan yang lainnya!” umpat Lembayung dengan raut wajah marah ketika mobil Arka sampai didepan rumah Lembayung. “Ayo turun jangan rewel,” bisik Arka sambil memapah Lembayung yang masih lemah karena sakit. Didepan rumah mereka telah disambut oleh Amara dan Amih, juga Raga yang berada ditempat yang sama. “Kemana aja sih kamu, dek?! Mau bikin mama mati ya dengan kabur seperti itu?!” tegur Amih yang marah ketika melihat Lembayung karena terlalu cemas. Lembayung hanya diam dan berjalan perlahan dipapah Arka. Amara segera menghampiri Lembayung dan mencoba menggantikan Arka untuk memapah gadis itu tetapi Lembayung segera menolaknya. “Jangan sentuh aku, mbak!” ucap Lembayung dingin. “Lembayung! Bicara yang baik sama kakakmu!” tegur Arka tak suka mendengar nada bicara Lembayung pada Amara. “Ck! Mas gak tahu aja apa yang dia lakukan sama kita! Tanya tuh, siapa ayah dari bayi yang dikandungnya!” celetuk Lembayung sambil menghempaskan tangan Arka lalu berjalan tak peduli ke dalam rumah. Mendengar ucapan Lembayung, Arka berdiri mematung sesaat tak mengerti sedangkan raut wajah Amara tampak panik karena tidak siap diungkap kondisinya mendadak seperti itu oleh Lembayung, sedangkan Raga segera berjalan dan berdiri disamping Amara. “Apa maksudnya?” tanya Arka spontan dengan wajah bingung. “Halo,” sapa Raga langsung berdiri satu langkah didepan Amara. Amara hanya diam dan menundukan wajahnya dengan pandangan terlihat sedih. “Nak Arka, lebih baik pulang dulu, nanti biar tante yang jelaskan,” ucap Amih mencoba untuk mengalihkan pandangan Arka dari Amara dan Raga. “Apa maksudnya?” tanya Arka merasa tak enak hati karena tiba-tiba ada Raga disana dan berdiri seolah melindungi Amara. “Aku hamil!” ucap Amara dengan suara parau lalu memberanikan diri menatap Arka yang tampak tak percaya dengan pendengarannya sendiri. “Aku ayah dari anak itu,” ucap Raga tiba-tiba sebelum Arka kembali bertanya pada Amara. Dalam hitungan detik, sebuah tinju melayang ke wajah Raga dari kepalan tangan Arka. Walau sempoyongan tetapi Raga bisa segera mengendalikan dirinya dan mencoba menahan pukulan baru dari Arka yang menggila karena emosi. “Stop mas! Hentikan! Ini bukan salah Raga! Kita memang sudah putus bukan?!” pekik Amara mencoba melerai dua lelaki yang sama- sama bertubuh tinggi dengan berada diantara mereka sehingga Arka segera menahan pukulannya. “Siapa bilang kita putus?! Kamu mengkhianatiku Mara!” “Tidak! Kita sudah benar-benar putus ketika kamu tidak bisa membelaku dan memperjuangkan hubungan kita didepan orang tuamu! Buat apa aku bersama laki-laki yang tak ingin memperjuangkan aku menjadi istrinya! Apalagi di mata ibumu aku tak pernah layak untuk menjadi istrimu! Lebih baik aku mencari orang yang bisa membahagiakan aku! Dan aku pilih Raga! Kamu pikir cuma kamu orang yang menginginkanku?! “ pekik Amara sebelum air matanya pecah. “Aku selalu berusaha untuk meyakinkan mereka! Aku hanya minta sedikit waktu,Mara! Kenapa kamu tak pernah mempercayaiku?! Segampang itukah kamu menilai aku dari hubungan kita?!” ucap Arka terdengar marah dan begitu kecewa pada alasan Amara. Amara hanya diam tak sanggup menjawab pertanyaan Arka lalu berlari ke dalam. Raga segera mendorong Arka untuk keluar dari rumah lalu segera menutup pintu rumah kediaman Amih, sedangkan wanita setengah baya itu masih syok dengan kejadian cepat yang ada dihadapannya. Ucapan Amara membuat perasaannya terluka saat mengetahui bahwa orang tua Arka tak menganggap Amara layak untuk anaknya. Sedangkan Arka hanya bisa berdiri mematung sesaat sebelum ia mengepalkan tangannya penuh kemarahan. Perasaannya terasa sangat hancur mendengar kehamilan Amara dan sikap Amara yang seolah benar-benar tak memiliki perasaan lagi untuknya. Lembayung hanya bisa mengintip dari balik pintu dan mendengarkan apa yang terjadi, ia tak menyangka bahwa Arka dan Raga akan saling memukul sesaat, hatinya terasa kesal ketika ia melihat Raga memeluk Amara yang tengah menangis tersedu-sedu. Amara terlihat sangat sedih karena bagaimana pun ia masih mencintai Arka. Sedangkan Lembayung semakin membenci Amara karena kali ini tak hanya hatinya yang ia sakiti tetapi juga Arka. Lembayung membaringkan tubuhnya perlahan diatas ranjang. Saat ini ia tengah sakit karena kesedihannya kehilangan Raga, tetap saja hal itu tak mengubah keadaan. Yang diperhatikan semua orang hanyalah Amara oleh Raga dan Amih, ia merasa seperti tak terlihat di rumah itu. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD