Jam kini sudah menunjukkan pukul 04:00. entah kenapa di waktu 
itu adalah waktu di mana tidur akan terasa makin nyenyak. Entah 
karena bisikan setan atau memang cuacanya yang mendukung. Sama 
seperti pria yang kini tetap setia tidur di ranjang mahalnya. 
Sedangkan di kamar Annisa, suara lantunan ayat-ayat Allah 
terdengar merdu memenuhi semua ruangan. Hingga para pelayan 
yang mendengar menghentikan langkahnya di depan pintu kamar 
Annisa untuk mendengar ayat-ayat yang dibacakan oleh Annisa. 
Suara merdu Annisa sampai di kamar Darel. 
“Suara siapa?” guman Darel, kakinya secara otomatis melangkah 
ke sumber suara.
Saat kakinya tepat di kamar Annisa, dia mengernyitkan keningnya 
melihat para pelayan yang kini berkumpul di depan pintunya.
“Apa yang kalian lakukan?” 
Seketika para pelayan terkejut serentak. Keringat dingin mulai 
membasahi mereka. “Aku tanya kenapa?!” Darel menatap mereka semua dengan 
tatapan ingin membunuh. Darel pria yang sangat disiplin. 
“Ka ... Kami ...” Suara kepala pelayan seperti tertahan di 
tenggorokan saat melihat mata Darel yang berkilat tajam.
“Sepertinya, kalian memang sudah tak ingin bekerja di sini lagi.” 
Darel bersuara santai namun mampu membuat mereka bergetar 
ketakutan. Kata-kata Darel mungkin bermakna bahwa organ mereka 
akan dijual.
Bekerja menjadi pelayan di rumah Darel memang memiliki gaji 
yang sangat luar biasa mahal. Dalam sebulan mereka digaji setara 
dengan pegawai di perusahaan biasa. Tapi inilah risikonya, harus rela 
kehilangan nyawa tiba-tiba. 
“Baiklah, Rob ...” Perkataan Darel terhenti saat suara merdu Annisa 
yang sedang membaca Al-Qur’an kembali terdengar. 
Seperti terhipnotis, Darel membuka kamar Annisa. Annisa 
tampak khusuk dengan kitab Al-Qur’an di depannya. Bahkan dia tak 
sadar kalau Darel kini tengah memperhatikan setiap inchi wajahnya 
yang tengah membaca.
Tepat di bacaan terakhirnya Annisa mencium Al-Qur’annya dan 
mendongak, matanya terkejut melihat Darel dan para pelayan tengah 
menatapnya.
“Maaf, apabila saya menganggu Anda?” Annisa menundukkan 
kepalanya. Darel tergagap seketika. 
“Ehmm!!”
Darel menormalkan dirinya yang entah kenapa beberapa menit 
lalu terasa ada hawa berbeda di dalam dirinya.
“Kau ... Ehmm maksudku kamu ... Hah! Terserahlah !!” Darel berlalu 
cepat dari sana, entah ke mana semua kata-kata hebat yang sering keluar dari bibirnya itu. 
Para pelayan yang menyaksikan itu mengerutkan kening heran, 
tak biasanya tuan mereka melepaskan mereka begitu saja. 
Sedangkan Annisa, hatinya dilanda rasa takut dan merasa tak 
enak. 
‘Dia sangat terganggu denganku? Ya.’ itulah yang dipikirkan oleh 
Annisa. Hingga perasaan tak enak itu menyinggapi hatinya.
Annisa berjalan ke arah dapur, dia berniat memasak untuk Darel 
mungkin sebagai permintaan maaf.
“Permisi, Tuan Darel biasanya memakan apa sebagai sarapan?” 
pelayan yang Annisa tanyai berhenti lalu mulai menjelaskan menu 
makanannya.
Setelah cukup mengerti Annisa memasak bersama dengan para 
pelayan yang lain. 
Saat jam menunjukkan jam 07:00 tepat semuanya telah selesai. 
Saat Darel memasuki ruang makan, matanya dikejutkan saat 
Annisa berdiri bersama para pelayan.
‘Dia bukan pelayan seperti itu, tapi pelayan dalam artian berbeda,’ 
batin Darel masih dengan menatap Annisa intens.
“Kau, duduk di sampingku,” ucap Darel dingin. Annisa yang 
ditunjuk, berjengkit kaget. Dan dengan perlahan duduk di samping 
Darel dengan kepala tertunduk.
Darel mulai memakan makanan yang tersaji di depannya, dia 
berhenti saat suapan pertama masuk ke dalam mulutnya.
“Apa kalian mulai malas?! Kenapa memesan masakan dari hotel 
hah?!!” Para pelayan dan Annisa sendiri mulai menunduk ketakutan.
“Maaf, apa ada yang salah?” tanya Annisa lembut karena semua 
makanan hampir semuanya dia yang memasak. “Sudah aku bilang, mereka memesan sarapan kali ini di restoran 
hotel,” ulang Darel sambil menatap Annisa yang kini makin menunduk.
“Maaf, Tuan, tapi kami tidak–”
“Jangan berbohong! Aku tau mana makanan yang kalian masak 
dan mana makanan restoran. Dan masakan ini aku yakin kalian 
mem—”
“Maaf, tapi saya yang memasak,” potong Annisa melihat para 
pelayan nampak pucat seperti tak ada darah lagi di wajah mereka.
Mendengar perkataan Annisa, wajah Darel berubah seketika. 
Marah, tak percaya, heran, aneh, tapi yang paling mendominasi adalah 
malu. Malu karena secara tidak langsung dia memuji masakan Annisa. 
Ah ayolah, sejak kapan iblis Amerika ini mulai memuji makanan 
orang lain? Dia hanya memuji di hati, itu pun kalau makannya benarbenar enak. Tapi kini dia memuji dengan terang-terangan.
Terlepas dari semua itu, Darel benar-benar memuji kalau masakan 
yang dibuat Annisa sangatlah lezat.
“Saya pikir, saya bisa membantu para pelayan di sini dan juga 
sebagai permintaan maaf karena telah menganggu Anda tadi pagi.” 
Darel memperhatikan Annisa. Tentu saja dia tidak terganggu 
dengan suara merdu Annisa tadi pagi. ‘Terganggu apanya, aku bahkan 
ingin mendengarnya tiap hari,’ batin Darel. Sedetik kemudian dia 
menggelengkan kepalanya sendiri.
‘Ada apa dengan diriku ini?’ Itulah pertanyaan yang ada di otak 
Darel semenjak dia mulai memperhatikan Annisa. 
“Baiklah.” Hanya kata itu yang keluar dari bibir Darel selama lima 
menit berpikir. Saat Darel kembali menyuapkan makanan ke mulutnya 
dia mengakui bahwa makanan itu sangatlah lezat.
“Makanlah. Setelah kau selesai temui aku di ruang kerjaku.” Darel berdiri meninggalkan Annisa yang masih tetap menunduk. 
{}
Di sinilah Annisa sekarang, di ruangan yang penuh dengan rak 
buku dan dokumen yang didominasi dengan warna hitam. Ruangan 
ini tampak sesak dan menakutkan.
“Maaf ... Ada perlu apa Tu ... Tuan memanggil saya?” tanya Annisa 
dengan suara bergetar.
“Ehm ... Kita akan menikah seminggu dari sekarang.” 
Annisa membelalakkan matanya mendengar pernyataan Darel.
“Apa?! Tapi kenapa? Karena apa? Dan bagaimana ??” racau Annisa 
heran.
“Kau akan tinggal di sini untuk waktu yang lama, bukankah dalam 
agamamu lelaki dan perempuan tidak bisa tinggal berdua kalau tidak 
ada ikatan pernikahan?”
“Tapi, bukankah aku pelayanmu? Aku bisa tinggal di sini sama 
seperti para pelayan,” terang Annisa dengan kening berkerut.
“Kenapa kau sangat keras kepala? Kau itu budakku bukan, jadi 
turuti perintah tuanmu ini!” bentak Darel mulai emosi.
“Dalam agama saya pernikahan tidak bisa dilakukan bila agama 
kita berbeda,” terang Annisa mulai ragu.
Darel melempar sebuah kartu ke arah Annisa. Dan terlihat agama 
Darel adalah Islam.
‘Jadi dia beragama Islam?’
“Aku baru masuk Islam,” terang Darel. 
Annisa mengangguk-anguk mendengar itu. 
“Sebenarnya, aku ingin menikahimu karena ... Mommyku,” 
ucap Darel santai. Tangannya terkepal erat saat menyebutkan nama 
mommynya. “Ken—”
“Dia sakit jantung, aku harus menikah,” terang Darel santai. 
“Karena aku malas mencari kekasih, jadi aku ambil saja salah satu 
dari pelayanku, dan kau yang paling cocok. Karena ... Dia tidak 
mengenalmu.” Dusta darel sangat mulus. Annisa mengangguk-anguk 
percaya.
“Baiklah, aku hanya memberitahu ini. Aku hanya memberi tahu, 
kau tidak ada pilihan untuk menolak.” Darel berdiri, melangkah ke arah 
tempat kerjanya. 
Annisa berjalan sambil menunduk ke arah kamarnya.
‘Ya Allah, cobaan apalagi ini?’ 
Annisa berjalan lesu.
{}
Seperti ucapan Darel beberapa waktu lalu, pernikahan itu kini 
benar-benar terjadi. Pernikahan Darel dan Annisa diliput semua media 
bahkan sampai mancanegara. 
Pernikahan termewah abad ini, dengan gaya garden party.
Pernikahan yang mengundang hampir seluruh orang terkemuka di 
New York.
Karena pernikahan ini, Annisa disebut-sebut sebagai Cinderela 
yang berada di negeri dongeng. Mungkin iya. Annisa menjadi 
Cinderela. Namun perbedaannya, di cerita Cinderela pangerannya 
orang baik hati, sedangkan di hidup Annisa, pria kejam, berjiwa 
psikopatlah yang ia nikahi. 
Annisa menggunakan gaun pengantin rancangan desainer 
terkenal. Gaun yang bertabur emas di pinggirnya. Gaun yang hanya 
satu di dunia. Khusus untuk Annisa. Melihat gaun itu, para tamu 
undangan yang melihatnya sangat iri dan memaki kenapa ada orang seberuntung Annisa? Namun kenyataanya, apakah Annisa 
seberuntung itu?
Kini, Annisa tengah duduk di kamarnya menunggu Darel 
mengucapkan ijab kabul. Lalu dia akan keluar bertemu suaminya dan 
menyaliminya. 
“Kau, sangat beruntung bisa menikah dengan pria sekaya dia.”
Annisa mendongak melihat Carry yang menatapnya sinis, 
terdapat nada tak suka di perkataan Carry.
“Apa yang kau berikan padanya?” 
Annisa sontak mengernyitkan keningnya bingung mendengar 
pertanyaan Carry.
“Maaf, maksud Kakak apa?” tanya Annisa lembut.
“Hahahaha, ayolah, Annisa, jangan pura-pura polos. Orang 
sekaya dan setampan Darel, tidak akan mungkin mau menikahimu 
dengan cuma-cuma. Apa kau menggodanya? Memberikan tubuhmu 
padanya?”
“Astaghfirullahhaladzim, Kak! Annisa tidak berbuat seperti itu!” 
tegas Annisa tak terima.
“Hmm, who know?” Annisa hanya menggelengkan kepalanya tak 
percaya pada Carry.
“Kau benar-benar licik, Annisa, seharusnya aku yang menikah 
dengan Darel. Kau merebutnya dariku.” 
Annisa makin mengerutkan keningnya.
“Bukankah, Kakak dan Bibi yang memintaku diserahkan pada 
Tuan Darel? Lalu apa salahku di sini?” 
“Salahmu, kenapa kau harus hidup dengan kami. Kalau saja kau 
tidak ada, aku bisa menikah dengan Darel tapi dengan caraku. Tapi 
kau lagi-lagi mengambil semuanya dariku. Annisa hanya menunduk mendengarkan ucapan Carry yang 
melantur ke mana-mana. 
“Tapi tak apa, akan lebih menarik kalau begini.” Carry menampilkan 
senyum yang tak Annisa mengerti yang pasti itu senyum kejam.
“Maaf, Kak, sep—”
Perkataan Annisa terhenti saat suara pamannya terdengar.
“Saudara Darel Ardiaz, aku nikahkan dan kawin kau dengan 
anakku, Annisa Faiha binti Endrawan Rahendra dengan mas kawin 200 
gram emas dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya, Annisa Faiha binti Endrawan 
Rahendra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai...”
SAH!
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya akadnya terlaksana 
dengan baik Darel membacanya dengan satu tarikan napas. Tepat di 
kata sah, Annisa meneteskan air mata.
‘Inilah awal hidupku yang baru dengannya. Semoga Allah selalu 
memberikan kemudahan.’ Doa Annisa dalam hati.
Annisa diantar Carry keluar dari ruangannya untuk menemui 
Darel. Diiringi sinar blitz kamera Annisa menundukkan kepalanya 
menuju Darel. Para tamu undangan melihat Annisa dengan tatapan 
beragam macam.
Tepat di hadapan Darel, Annisa mendongakkan kepalanya dan 
menatap tepat di mata Darel. Kejadian itu pun tak lupa diabadikan 
para pemburu gambar yang berada di sekitar sana.
Sedangkan Annisa maupun Darel, mereka terpaku di tempat, 
menatap ke mata pasangan masing masing. Annisa yang lebih dulu 
tersadar segera mencium tangan Darel.
‘Akhirnya, dialah yang ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi imamku. Semoga Allah memberkati pernikahan kami ini sampai kami 
hanya terpisah oleh Allah.’ Itulah doa yang diucapkan Annisa saat dia 
mencium tangan Darel.
‘Sudah aku katakan bukan, kalau kau akan menjadi istriku, 
menjadi milikku dan akan bertekuk lutut di kakiku.’ Senyum kejam 
Darel seketika menjadikan ruangan itu terasa kelam.
{}
Setelah resepsi yang tak bisa dihitung megahnya itu, sama seperti 
pengantin wanita lainnya Annisa memasuki kamar yang kini dihias 
sedemikian rupa. 
“Selamat menikmati, Adikku. Nikmati saja sebelum semuanya 
beralih ke tanganku.” Carry tersenyum sinis ke arah Annisa lalu segera 
pergi keluar meninggalkan Annisa yang mengerutkan keningnya.
‘Ada apa dengan kak Carry?’ Annisa menggelengkan kepala dan 
mulai menatap ke sekeliling kamar. Pipi Annisa merona seketika. 
Kakinya melangkah ke arah koper yang terletak di dekat sofa 
panjang berwarna hijau. Annisa membuka kopernya dan mengambil 
sebuah foto yang di frame dengan indah.
Senyum manis terbit di wajah Annisa saat dia melihat potret 
keluarga bahagia di foto itu.
“Annisa sekarang sudah besar, Pa, Ma. Annisa sudah menikah 
hari ini, Annisa janji apa pun yang terjadi nanti, Annisa akan 
mempertahankan rumah tangga Annisa dan menjadi yang terbaik 
buat ... Darel.” Annisa berhenti saat mengucapkan kata Darel.
Harus dengan apa dia memanggil Darel kini? Tidak mungkin dia 
akan memanggil nama terus pada Darel itu sangat tidak sopan. Apa 
dia harus mulai memanggil Darel dengan sebutan Kak? Ah tidak, itu 
akan sangat aneh. Mas? Itu sangat menunjukkan jawa dan dia bukan orang jawa. Annisa mengeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
‘Aku akan bertanya dengannya nanti, dia mau dipanggil apa.’
Cklek!
Annisa terperanjat dari duduknya, tangannya seketika saling 
remas saat Darel dengan gagahnya memasuki kamar mereka.
“Kau tidak mandi?”
“Eh ... I ... Iya.” Annisa buru-buru pergi ke kamar mandi. Darel 
menatap Annisa yang pergi ditelan pintu. 
‘Kenapa kalian sangat sama?’ Darel memejamkan matanya seolah 
menahan rasa sakit yang teramat dalam. 
Saat Annisa selesai dia bersiap keluar dengan pakaian lengkap, 
bahkan dia belum membuka kerudungnya. Baru dia akan melangkah 
keluar suara Darel terdengar di telinganya.
“Iya, Sayang, kenapa?
‘Dengan siapa Darel bicara?’ batin Annisa heran.
“Ah, tidak masalah, itu hanya status.”
“.....”
“Tidak mungkin dia memarahimu, dia hanyalah b***k beruntung 
yang aku nikahi. Sudahlah lupakan soal dia. Aku akan menemuimu 
sekarang. Siapkan dirimu, mungkin kita tidak akan tid—”
Cklek! 
Annisa membuka pintu dengan sedikit keras hingga Darel 
menatap ke arahnya, dengan menunduk Annisa tetap diam di tempat.
Otaknya beku seketika, lidahnya ingin bertanya banyak hal pada 
Darel dan juga dia bingung pembicaraan apa yang dia harus mulai. 
“Darel—”
Dengan tergesa-gesa dan tanpa mengucapkan apa pun Darel 
keluar dari kamar mereka dan pergi entah ke mana. Meninggalkan Annisa yang terpaku di tempat. Menatap sedih ke arah di mana Darel 
menghilang.
‘Ya Allah, cobaan macam apa ini?’
Ting! Annisa terperanjat mendengar suara handphone di sofanya 
dengan tergesa dia mengambil handphone tersebut. Dia kira itu dari 
keluarganya ternyata ...
From Darel : Aku ada urusan.
Hanya itu, tiga kata yang tak menjelaskan apa-apa dan tak 
menjawab apa pun dari berkecamuknya pertanyaan di kepala Annisa. 
Annisa terduduk di lantai. Air matanya mengalir dengan deras. 
Dia bahkan tak tau apa yang dia tangisi sekarang, yang pasti rasa sesak 
dan sakit bagai ditikam belati kini memenenuhi hatinya.
Adakah pengantin baru yang lebih menyedihkan dari dirinya? 
Pengantin wanita yang baru menjadi seorang istri beberapa jam lalu 
namun sudah mendengar suaminya berselingkuh?
Pengantin yang ditinggalkan di malam pertama mereka?
Drtt! Drtt
Dengan lemah Annisa membuka handphonenya, tulisan paman 
tertera di layar handphonenye. Annisa membersihkan air matanya dan 
mulai menormalkan suaranya.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Paman.” Annisa 
mengucap salam dengan pelan berusaha menyamarkan suaranya 
yang serak.
“Waalaikumusalam warohmatullahi wabarokatuh, Nak. 
Bagaimana dengan—”
“Baik, Paman. Semuanya baik-baik saja.”
“Paman sangat takut dia menyakitimu, Nak.” Aditama terdengar 
khawatir di sebrang sana. “Tidak, Paman. Dia ... Dia sangat baik. Sudah ya, Paman, Darel 
sudah—”
“Ah ... Iya iya paman mengerti, maaf menganggu kalian, Nak. 
Paman senang kalau kamu baik-baik saja.” Aditama terdengar sedikit 
lega.
“Iya,” balas Annisa lemah dan menutup sambungan telepon 
mereka. Air matanya lagi lagi menetes. 
“Aku tidak baik-baik saja, Paman.” Annisa terus menangis dengan 
kepala di atas sofa hingga ketiduran. 
{}
Matahari mulai bersinar dengan terang mengalahkan semua sinar 
yang dibuat manusia. Sangking terangnya hingga mampu menembus 
gorden hitam tebal yang membayangi gadis manis yang kini tengah 
tidur dengan posisi duduk dan bersandar di sofa.
Merasa terusik, Annisa membuka matanya perlahan. Dengan 
linglung Annisa menatap ke sekitar kamarnya. 
‘Astaghfirullah, di mana aku sekarang?’ Pikiran kalut mulai 
memenuhi hati Annisa.
“Kau sudah bangun.” Darel menatap Annisa datar. Pikiran Annisa 
langsung sadar kalau dia sudah menikah dan semalam—.
“Ma ... Kak ....”
“Panggil saja dengan nama. Aku jijik dengan pangilan lain.” 
Annisa makin menundukkan kepalanya.
“Cepat bersihkan dirimu dan turun ke bawah, kita makan 
bersama.”
Annisa kembali menganggukkan kepalanya. Sekilas dia menatap 
Darel yang tampak sangat rapi dan bersih.
‘Ke mana dia semalaman? Annisa melangkah pelan ke arah kamar mandinya. Saat dia 
hendak memasukkan bajunya ke keranjang cucian kotor matanya 
terpaku menatap banyaknya noda lipstik di kemeja Darel.
Tanpa Annisa sadari, air matanya mulai menetes dengan deras. 
Benar dugaannya semalam kalau Darel pergi ke tempat wanita lain. 
Apa dirinya begitu hina hingga Darel tak bersedia menyentuhnya?
Atau dia sangat menjijikkan di mata Darel?
Kalau dia wanita biasanya, sudah sepastinya dia akan berteriak 
dan memukuli Darel dengan membabi buta. Tapi Annisa, dia hanya 
menangis dalam kesendiriannya. 
Menormalkan sedikit hatinya, Annisa mulai mandi dan bersiap 
turun ke meja makan. Dia tak ingin membuat Darel terlalu lama 
menunggu.
{}
Meja makan ini terlihat dingin, walaupun para pelayan berjejer di 
belakang mereka itu, tetap saja tak menambah kehangatan. 
Hanya terdengar suara sendok dan gelas yang beradu. Annisa 
yang merasa asing dengan situasi ini duduk dengan tidak nyaman. 
“Aku selesai, kalau kau sudah selesai makan, temui aku di ruang 
kerjaku.” 
Annisa mengangguk patuh.
Tanpa menunggu waktu lama, Annisa segera pergi ke ruangan 
Darel. Di sinilah dia sekarang, ruangan yang didominasi warna hitam 
hingga membuat ruangan ini tampak begitu misterius.
“Aku ingin mengatakan sesuatu.” 
Annisa mendongakkan kepalanya sedikit mendengar suara Darel. 
Mata cokelat indahnya menatap tepat di mata biru Darel.
Dalam hitungan menit tatapan mereka mengunci satu sama lain, menyelami dunia masing-masing lewat tatapan mata. Hingga Annisa 
memutus kontak mata mereka duluan dan mengucap lirih. 
“Ehm!....” Darel berdeham cukup keras untuk membersihkan 
tenggorokannya.
“Aku menikahimu karena bisnis.” 
Annisa mengerutkan keningnya seketika mendengar pernyataan 
Darel tapi dia tetap diam, bukankah dia bilang karena ibunya?
Melihat Annisa tak bereaksi seperti bayangannya dia mulai 
berdeham kembali dan mulai bicara.
“Kau pasti tahu, dalam bisnis kerja sama akan lebih mudah 
dicapai saat kau sudah menikah. Alasan konyol dan klise memang, tapi 
begitulah kenyataanya. Untuk itu aku menikah,” terang Darel santai 
sambil terus memperhatikan Annisa yang tetap tertunduk.
‘Kenapa dia tak bereaksi?’ batin Darel kesal. Dia berharap Annisa 
akan menangis karena sakit hati ataupun menjerit dan meneriakinya.
“Bukankah Anda bilang ... Anda menikahi saya karena ibu Anda?” 
tanya Annisa pelan hingga seperti berbisik. Hanya kata itulah yang 
dikeluarkan dari ribuan kata yang berkeliaran di kepalanya.
“Dan kau percaya?” Darel menyeringai. Yang membuat Annisa 
memejamkan matanya. Inilah yang diinginkan Darel, membuat wanita 
itu berharap akan bahagia lalu dihempaskan ke neraka. 
“Alasan sebenarnya ya karena BISNIS, Karena aku malas mencari 
perempuan lain, dan aku malas menikahi seorang perempuan yang 
ada di luar sana karena mereka akan sangat merepotkan, bahkan 
mungkin mereka hanya menginginkan uangku. Tapi denganmu, aku 
bisa berbuat apa pun karena kau, Bu-dak-ku,” jawab Darel dengan 
mengeja dan menekankan kata b***k di akhirnya. 
Annisa mengangguk seolah mengatakan kalau dia mengerti. “Saya mengerti, permisi.” Annisa berdiri dan beranjak keluar 
dari ruangan yang terasa begitu menyesakkan itu di dalam hatinya. 
Harusnya, Annisa memarahi Darel sekuat tenaga, harusnya Annisa 
memukuli Darel atas kekejaman pria itu. 
Tapi, Annisa sadar kalau dia hanya b***k di sini.
Annisa berlari cepat ke arah kamarnya. Dia terus berlari hingga 
sampai di kamar mandi. Annisa menghidupkan shower kamar 
mandinya sederas mungkin dan mulai menangis di bawahnya dia 
menangis sekeras-kerasnya karena dia tahu kalau sekeras apa pun dia 
menangis tak akan didengar oleh orang.
“Apa aku memang ditakdirkan hanya untuk menjadi b***k? Bukan 
seorang istri atau anak? Apa aku tak pantas bahagia?” Pertanyaan itu 
meluncur di bibir Annisa. Pertanyaan yang sejak semalam dia pendam 
di ujung lidahnya.
Sungguh dia lelah dengan hidupnya. Sejak kecil dia tak punya 
keluarga, dia hidup di atas kebencian kakak sepupu dan bibinya. dan 
bertahan dengan kenangan masa bahagianya.
Salahkan bila dia bahagia saat pernikahannya dan membentuk 
keluarga bahagia? 
Annisa terus menangis dan menjerit di bawah shower yang turun 
dengan deras. Dia tak ingin menangis saat dilihat banyak orang karena 
dia tak ingin terlihat lemah.
Terkadang, seseorang butuh menangis untuk meluapkan semua 
emosi di hati yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Saat itu terjadi 
padamu, maka menangislah karena menangis, bukanlah sebuah dosa.