CHAPTER 2

1207 Words
"Peter, kau tahu dimana Shalter?" tanya Sabelle pada Peter yang baru saja bangun. Peter menguap sembari meregangkan tubuhnya. "Aku tidak tahu, memangnya kenapa?" "Aku baru saja hendak memandikannya dan ia sudah bersembunyi dengan handal." "Kalau begitu cari dia di bawah meja," ucap Peter. "Daddy, jangan beritahu dimana aku berada," sahut Shalter yang ternyata benar-benar berada di bawah meja. Peter tertawa. "Aku salah, dia tidak ada di bawah meja." "Ya, aku tidak ada di bawah meja!" sahut Shalter lagi. Sabelle tersenyum geli. "Baiklah aku akan mencarinya di kamar." Sabelle mendekat pada meja makan dan segera menunduk untuk melihat kolong meja. "Ketemu!" seru Sabelle saat melihat Shalter tengah menutup matanya. Shalter membuka matanya dan menatap Sabelle riang. "Mommy!" Sabelle menarik tangan Shalter untuk keluar dari bawah meja lalu membawanya ke dalam pelukannya. "Karena Mommy menang, maka harus mandi sekarang, oke!" "Oke!" Sabelle menatap Peter. "Aku sudah menyiapkan sarapanmu, Peter," ucap Sabelle. Peter mengangguk. "Aku akan makan sebentar lagi." Sabelle berjalan ke arah kamar mandi bersama Shalter yang kini masih berada di pelukannya. Hingga akhirnya pintu kamar mandi tersebut tutup. Peter berjalan kecil ke arah meja makam dan meminum kopi yang telah tersedia di atas meja. Dengan perlahan, Peter meneguk kopi tersebut. Drtt! Getar ponsel terdengar di telinga Peter. Ia mencari arah suara getaran tersebut dan ternyata ponselnya berada di atas meja ruang keluarga. Peter melihat nama yang tertampil di layar ponsel itu dan mengambil ponsel itu segera. Nama 'Anne' kembali menghiasi layar ponsel tersebut. Sebenarnya Peter ingin sekali untuk menjawab panggilan itu karena Peter tahu apa yang dikatakan Anne adalah berita baik tentang karirnya. Tapi, karena ia telah berjanji pada Sabelle untuk tidak mengacaukan seminggu ini maka ia terpaksa mematikan panggilan Anne. Peter mengambil duduk di sofa sembari meletakkan ponsel itu di atas meja lagi. Pikirannya di penuhi dengan euphoria lampu sorot dengan suara gitar dan bass yang memenuhi telinga. Suara teriakan penonton juga kesukaan Peter, apalagi saat semua penontonnya mengangkat tangan di atas bersama-sama mengikuti alunan lagu yang ia bawa. Peter merindukan hal itu dengan cepat walau baru beberapa hari yang lalu ia mengadakan konser tournya. Sabelle dan Shalter tampak keluar dari kamar mandi. Rambut Shalter yang basah menarik tatapan Peter padanya. Shalter yang hanya terbaluti handuk, kini mulai lari mendekati Peter. Peter membuka lebar tangannya saat Shalter telah berada di dekatnya. "Daddy!" teriak Shalter saat berada di pelukan Peter. "Astaga, Shalter, kau bisa terjatuh jika berlari dalam keadaan basah seperti itu," omel Sabelle dan mendekati mereka. Sabelle mengambil tempat di sebelah Peter dan menatap kedekatan kedua anak dan ayah itu. Sabelle mencubit pipi Shalter saat ia tidak hentinya melompat-lompat di atas sofa. "Cepat pakai baju, kau ingin melakukannya bersama Daddy?" tanya Sabelle pada Shalter yang kini mengangguk riang. "Baiklah, aku akan memakaikannya baju," ucap Peter dan menggendong Shalter menuju kamarnya. Sabelle masih menunggu di sofa sembari menghidupkan TV untuk melihat berita. Tampilan awal Tv menunjukkan lomba keolahragaan yang sedang berlangsung di Canada. Sabelle menonton sangat serius sebelum getaran ponsel mengintrupsinya dari kefokusannya menonton TV. Sabelle melihat ponsel Peter yang bergetar dengan tampilan layar panggilan dari 'Anne'. Sabelle mengambil ponsel itu dan melihat sebentar kebelakang untuk memastikan Peter tidak ada di dekatnya. Setelah itu, Sabelle mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Peter!" Suara teriakan tertahan terdengar dari sebrang. "Mengapa kau tidak mengangkat teleponku? Oh, tidak! Jangan bahas itu dulu, aku punya berita baik untukmu. Kau tahu apa itu?! Astaga! Aku bahkan sedikit tidak menyangka aku bisa mendapatkannya, Peter! Keinginanmu selama ini, kau bisa rekaman di New York dengan fasilitas gila! Kau hampir mendekati menjadi penyanyi dunia, Peter! Kau percaya itu?" Sabelle terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata saat Anne yang mana manajer Peter mengatakan hal itu. "Peter? Peter, kau mendengarkanku?" Sabelle menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Ia tidak percaya hal ini, keinginan Peter sejak lama, yaitu rekaman di New York tapi harus ada yang dikorbankan dalam hal itu, ialah dia dan anaknya. Jika Peter melakukan rekaman itu, mereka bisa saja tidak bertemu selama setahun atau bertahun-tahun karena tidak ada yang tahu jika Peter Clark telah menikahi seorang wanita bernama Sabelle dan telah memiliki seorang anak. Sabelle melihat kembali layar ponsel tersebut dan panggilan telah terputus. Sabelle kembali meletakkan ponsel itu ketempat semula dan menonton TV dengan pikiran yang melayang. "Mommy!" teriak Shalter sembari berlari menuju Sabelle. Sabelle yang tengah melamun tadinya kini tersentak. "Shalter," sahut Sabelle. "Apa yang kau pikirkan, sweetheart?" tanya Peter yang kini memgambil duduk di samping Sabelle. Sabelle menggeleng kecil. "Tidak ada, hanya menonton." Peter mengangguk tidak terlalu memperdulikan dan lebih memilih menukar chanel TV yang ia sukai. Sabelle menoleh pada Peter sebentar lalu kembali menatap layar TV. Ia mencoba menumpulkan keberaniannya untuk menanyakan hal yang sedari tadi berkelit di pikirannya. "Peter," panggil Sabelle. "Hmm?" "Bagaimana jika keinginanmu terwujud, apa yang akan kau lakukan?" Peter menoleh pada Sabelle. "Keinginanku yang mana?" "Yah, kau tahu ... Yang paling kau inginkan dari karirmu ini," jawab Sabelle. "Rekaman di New York?" Sabelle mengangguk kecil sembari menatap Peter. "Entahlah, aku tidak tahu." "Mengapa?" Peter mengedikkan bahunya. "Aku tidak bisa meninggalkan kalian dan juga hal itu tidak akan terwujud." "Bagimana jika itu terwujud?" "Tidak mungkin." "Bagaimana jika terwujud, Peter?" tanya Sabelle yang terkesan memaksa Peter harus menjawab. Peter menghela napas. "Aku tidak akan mengambilnya," jawab Peter ragu. "Kau yakin?" "Ya, kenapa kau menanyakan hal itu?" tanya Peter balik. "Tidak ada, hanya ingin." "Kau tidak akan melakukan hal itu hanya untuk sekedar ingin, Sabelle." Peter terlihat sangat mengetahui Sabelle. Sabelle mengalihkan tatapannya dari Peter. "Aku hanya takut kau meninggalkanku dan Shalter, Peter." "Aku tidak akan meninggalkanmu, Sabelle. Kau tidak perlu takut akan hal itu, kau hanya harus mempercayaiku," ucap Peter. Sabelle mengambil napas dalam-dalam hal yang sering dilakukannya jika ia berusaha untuk menerima atau ragu akan sesuatu. Lalu, Sabelle menatap Peter dengan penuh harap, jika pria itu tidak akan meninggalkannya. "Berhenti memikirkan hal itu, bukankah lebih baik kita menghabiskan waktu dengan baik. Kita jarang untuk dapat berkumpul bersama seperti ini dan aku tidak ingin kau terus membahas hal-hal yang tidak menyenangkan seperti itu, pikirkan Shalter," terang Peter sembari melihat Shalter yang kini menatap mereka bingung. Wajah Sabelle kini melunak. "Maafkan aku, aku hanya dipenuhi pikiran buruk akhir-akhir ini." Peter mengangguk. "Ya, aku mengerti. Ini sulit untukmu, untukku, dan untuk Shalter tapi kita bisa, kita sudah lima tahun bersama." Sabelle memberikan senyumannya pada Peter dan kini mengelus puncak kepala Shalter yang masih menatap mereka berdua bingung. "Daddy akan meninggalkan kita?" tanya Shalter yang menbuat kedua orang itu terdiam. Peter langsung membawa Shalter kepelukannya. "Tidak, Sayang. Aku tidak akan meninggalkanmu dan mommy. Jangan berkata hal seperti itu lagi, oke?" Shalter mengangguk kecil. "Kalau begitu bisakah kita bermain di luar hari ini?" Sabelle menatap Peter. Shalter tidak mudah untuk bisa bermain di luar bersama Peter hal itu karena karir Peter yang mana seorang penyanyi dan dikenal masih lajang, tentunya membuat Peter harus bisa menyembunyikan keluarganya dari paparazi. "Daddy, tidak bisa, Shalter." Hal itu langsung menimbulkan tatapan kecewa dari Shalter. "Kenapa tidak bisa?" Karena merasa bersalah pada putranya, Peter membawa Shalter ke dalam pangkuannya. "Maafkan aku, Sayang. Lain kali kita akan bermain di luar bersama, okey?" Shalter mengangguk kecewa. Semangat yang tadinya membara kini mulai padam. Anak kecil itu menyimpan kecewanya sendiri pada dirinya, mengingat ayahnya selalu tidak bisa bermain di luar bersamanya. Sabelle menatap Shalter, ia ikut kecewa karena anak itu tidak bisa merasakan hal-hal yang anak lain rasakan, yaitu bermain bersama ayahnya di luar sana. Peter memang tidak pernah membuat mereka kekurangan dalam hal materi tapi dalam kasih sayang, Sabelle sangat merasakan kekurangan. Ia takut Shalter menjadi pendiam nantinya. "Maafkan Daddy, Shalter. Daddy akam membawamu ke Disneyland, nanti," bujuk Peter. Mata yang memancarkan semangat itu kini kembali. "Kau janji?" seru Shalter sembari mengulurkan jari kelingkingnya pada Peter. Peter mengangguk dan menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Shalter, lalu menjawab,  "Aku janji!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD