Bab 8. Tak Ada Alasan

1010 Words
Tatapan Arthur langsung tertuju pada Anya, yang masih menangis dalam diam. Wajahnya jelas menunjukkan keterkejutan dan kecemasan. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi. "Kamu yang ngelakuin ini?" Arthur akhirnya bersuara, matanya menatap tajam ke arah Seraphina. Seraphina menyilangkan tangan di depan d**a, bibirnya melengkung sinis. "Kamu langsung panik begitu lihat Anya nangis gitu? Kok nggak nanya dulu aku kenapa?" Arthur mengalihkan pandangannya, lalu menghela napas berat. "Aku ke sini karena kamu nelepon aku, Sera, bukan karena Anya nangis," ujarnya, mencoba mengendalikan nada suaranya agar terdengar tenang. Seraphina mendengus pelan. "Nggak perlu cari alasan, Arthur. Aku udah tahu semuanya. Jadi nggak perlu sok berpura-pura lagi." Arthur menatap Seraphina dengan ekspresi bingung, atau setidaknya ia berusaha terlihat bingung. "Tahu apa?" tanyanya, berusaha tetap tenang. Seraphina tertawa kecil, penuh ejekan. "Jangan pura-pura bodoh. Aku tahu kamu selingkuh sama Anya," katanya sambil menatap Arthur dengan tajam. "Dan lucunya, Anya sendiri yang ngaku tadi." Arthur merasakan dadanya mengencang. Ia melirik Anya sekilas, dan saat melihat perempuan itu hanya terdiam, ia tahu bahwa situasinya semakin sulit. Namun, ia tidak bisa begitu saja mengaku. "Kamu lebih percaya Anya daripada aku, tunanganmu sendiri?" Arthur mencoba membalikkan keadaan, suaranya terdengar sedikit terluka. Seraphina kembali tertawa, kali ini lebih lepas. "Lucu banget, Arthur. Aku percaya sama yang aku lihat sendiri, bukan cuma yang aku denger," ujarnya sambil melipat tangan. "Dan aku udah sering lihat kalian bolak-balik ke hotel bareng. Mau ngeles apalagi?" Arthur merasa tubuhnya menegang. Ia mencoba berpikir cepat, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, suara tangisan Anya semakin terdengar jelas. Anya akhirnya mendongak, wajahnya penuh air mata. Ia menatap Arthur dengan tatapan kecewa yang dalam. "Jadi selama ini aku nggak ada artinya buat kamu?" suaranya bergetar. "Aku selalu ada buat kamu, Arthur. Aku nemenin kamu waktu kamu bilang capek sama Sera, aku dengerin semua keluh kesahmu ... tapi sekarang kamu malah nggak ngakuin hubungan kita?" Arthur diam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Seraphina memperhatikan semuanya dengan ekspresi tenang, tapi tatapan matanya penuh kemenangan. Ia melirik Anya yang masih menangis, lalu mengalihkan pandangannya ke Arthur yang tampak kehabisan kata-kata. Akhirnya, Seraphina mengambil langkah maju, berdiri tepat di depan Arthur. "Aku cuma mau bilang satu hal," ucapnya pelan, tapi tajam. Arthur menatapnya tanpa bicara. Seraphina tersenyum miring. "Aku batalin pertunangan ini." Arthur mengerjapkan matanya, seolah belum sepenuhnya menangkap maksud kata-kata itu. "Seraphina ...." "Tunangan kita selesai sampai di sini," Seraphina menegaskan, kali ini dengan nada yang lebih mantap. "Aku nggak mau buang waktu sama laki-laki kayak kamu." Arthur membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar. Seraphina memutar tubuhnya dan berjalan pergi, meninggalkan Arthur yang masih terpaku dan Anya yang masih menangis. Langkah Seraphina mantap. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bebas. Baru saja berbalik hendak pergi ketika pergelangan tangannya tiba-tiba ditahan. Ia menoleh cepat, mendapati Arthur menggenggam tangannya erat. Tatapan pria itu penuh ketegangan dan emosi yang sulit diartikan. "Kamu nggak bisa batalin pertunangan kita gitu aja, Seraphina," suara Arthur terdengar rendah tapi penuh tekanan. Seraphina menatap pria itu tanpa ekspresi. "Aku bisa," katanya mantap. "Aku mau batalin, dan aku nggak butuh laki-laki kayak kamu yang tukang selingkuh." Arthur menghela napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Kamu butuh aku, Seraphina," katanya, suaranya sedikit bergetar karena frustasi. "Kita harus menikah. Kalau nggak, perusahaan peninggalan ayah kamu nggak bakal jatuh ke tangan kamu." Seraphina tertawa kecil, lalu melepaskan genggaman Arthur dengan paksa. Ia menatap pria itu dengan sorot mengejek. "Kamu pikir aku segitu butuhnya sama kamu? Percaya diri banget, Arthur," katanya sambil menyilangkan tangan di depan d**a. Arthur mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Ini bukan soal percaya diri, tapi realita," katanya. "Tanggal pernikahan kita udah ditentuin. Kamu nggak bisa seenaknya gini, Sera." Seraphina mengangkat satu alis. "Aku nggak mau nikah sama laki-laki b******k kayak kamu," katanya tegas. "Aku bisa cari laki-laki lain. Dunia ini luas, Arthur. Masih banyak laki-laki yang jauh lebih baik dari kamu." Arthur bingung harus bagaimana. "Kamu salah paham terhadap semuanya. Aku dan dia ga ada hubungan apa-apa. Cuma kamu satu-satunya buat aku, Sera. Ga ada wanita lain di hati aku. Kamu harus percaya sama aku, Sera. Aku nggak mungkin selingkuh sama dia." Seraphina memutar bola matanya, malas meladeni Arthur yang dia anggap munafik. "Terserah mau berkilah apa pun, yang jelas aku nggak bakal percaya dan aku nggak mau nikah sama kamu, lebih baik menikah sama laki-laki lain, soalnya tunangan sendiri b******k!" maki Seraphina. Arthur terdiam, tubuhnya menegang. Ia tahu Seraphina bukan perempuan yang mudah dipermainkan. Tapi, ia juga tahu kalau pernikahan mereka bukan sekadar urusan perasaan—itu juga soal kekuasaan dan harta. "Kamu tetap butuh aku karena yang tahu soal masalah keluarga kamu hanya aku. Aku bisa bantu kamu sampai kamu dapat perusahaan itu, kamu nggak bakal bisa dapat laki-laki lain yang ngerti kamu," ucap Arthur. Seraphina mendengus kesal. "Udah aku bilang jangan terlalu percaya diri, kamu lama-lama gila kayak selingkuhan kamu, aku udah nggak mau nikah sama kamu, jadi jangan paksa aku!" Tiba-tiba, suara tangisan tertahan terdengar di belakang mereka. "Arthur!" Suara Anya bergetar, penuh emosi. Seraphina dan Arthur menoleh hampir bersamaan, melihat Anya berdiri dengan wajah memerah, matanya berkaca-kaca. Perempuan itu mengepalkan kedua tangannya dengan tubuh bergetar hebat. "Apa kamu serius mau nikah sama dia?!" suara Anya meninggi. "Kamu masih mau mempertahankan pertunangan sama Sera?! Setelah semua yang kita lalui?!" Arthur terdiam. Wajahnya berubah pucat. Seraphina menghela napas, merasa bosan dengan drama yang terus terjadi di hadapannya. "Udah lah, Anya," katanya santai. "Aku nggak peduli lagi sama Arthur. Kalau kamu mau dia, ambil aja." "Tapi aku nggak bisa biarin ini!" Suara Anya semakin tinggi. Ia menatap Arthur dengan kemarahan yang bergejolak. Lalu, dengan napas tersengal, Anya akhirnya berteriak. "Aku hamil, Arthur! Aku hamil anak kamu!" Keheningan menyelimuti udara seketika. Arthur menegang. Seraphina menatap Anya dengan ekspresi datar, sementara perempuan itu terisak, menunggu reaksi dari pria yang selama itu ia cintai. Arthur membuka mulutnya, tapi tidak ada kata yang keluar. Wajahnya masih menunjukkan keterkejutan luar biasa. Seraphina, di sisi lain, tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada dingin. "Selamat, Arthur. Sekarang kamu beneran nggak punya alasan buat terus maksa aku nikah sama kamu." Arthur menatap Seraphina, tapi sekarang, ia tidak bisa berkata apa-apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD