Hari pertama Star di apartemen barunya dimulai dengan rutinitas yang sibuk dan belum sempat menata barangnya di lemari.
Dia masih fokus pada pekerjaannya, menghadiri rapat, mengelola tim marketing, dan terus mengejar target penjualan.
*
*
Malam itu, Star melangkah keluar dari kantor dengan tubuh yang sedikit lelah setelah lembur.
Langit sudah gelap, dan udara dingin menyelimuti jalanan kota. Namun, pikirannya masih sibuk memutar berbagai hal tentang pekerjaan yang belum selesai.
Dengan cepat, dia masuk ke dalam gedung apartemennya yang tak jauh dari kantornya, berniat untuk segera naik ke unitnya yang berada di lantai atas.
Saat pintu lift terbuka di lobi, Star masuk tanpa berpikir banyak. Ia mengangkat tangan untuk menekan tombol lantai 25, salah satu lantai khusus di gedung itu yang hanya memiliki dua unit apartemen mewah.
Namun, sebelum pintu lift menutup, seseorang masuk.
Star mendongak, dan pandangannya tertahan sejenak.
Pria itu tinggi, dengan bahu lebar dan postur tegap. Wajahnya tampak seperti ukiran patung klasik, dengan rahang tegas, dagu yang kokoh, dan hidung yang sempurna.
Rambut gelapnya tertata rapi, meskipun terlihat sedikit berantakan, memberikan kesan alami yang memikat.
Matanya tajam, yang terasa seperti magnet, sulit untuk tidak terpesona. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, memamerkan otot lengannya yang kokoh, serta celana hitam yang melengkapi kesan elegan.
Star menahan napas sejenak, mencoba untuk tidak menunjukkan kekagumannya yang terlalu jelas.
Ia berusaha tetap tenang, meskipun di dalam lift itu, kehadiran pria tersebut terasa begitu mencolok.
Pria itu juga menekan tombol lantai 25 tanpa berkata apa pun, membuat Star tersadar bahwa mereka menuju lantai yang sama.
Namun, mereka tidak saling menyapa, mungkin karena keduanya merasa asing satu sama lain.
Lift bergerak naik dengan perlahan, dan suasana di dalam terasa hening, hanya diisi oleh suara lembut mesin lift.
Star melirik ke arahnya sesekali, dan merasa gugup setiap kali dia berpikir bahwa pria itu mungkin menyadari tatapannya.
Wanginya yang begitu maskulin menguat di rongga hidung Star, hingga membuatnya memiliki pikiran yang liar di dalam otaknya.
Ketika lift berhenti di lantai 25, Star melangkah keluar, diikuti oleh pria itu.
Mereka berjalan beriringan ke lorong pendek yang mengarah ke dua pintu apartemen mewah yang saling berseberangan.
Star berhenti di depan pintunya. Namun, sebelum dia membukanya, pria itu juga berhenti di pintu seberang.
Dia menatap pria itu sejenak, ‘Dia pemilik apartemen itu? Jadi dia tetanggaku?’ batinnya.
Pria itu melirik ke arahnya, sekilas memberikan senyuman tipis yang nyaris membuat Star kehilangan napas.
Namun, dia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, pria itu membuka pintunya dengan santai, masuk ke dalam apartemennya tanpa menoleh lagi.
Ketika pintu di seberangnya tertutup, Star masih berdiri di tempatnya, terdiam sejenak.
Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, meskipun dia tidak mengerti kenapa.
“Jadi, aku punya tetangga seperti itu? Oh my … keberuntungan macam apa ini?” gumamnya berbisik sambil membuka pintu apartemennya sendiri.
Malam itu, meski dia merasa lelah, kejadian singkat di lift tersebut entah bagaimana meninggalkan kesan yang sulit dilupakan.
*
*
Saat Star melangkah masuk dan menutup pintunya, aroma ruangan baru yang bersih menyambutnya.
Interior modern dengan nuansa putih dan krem mendominasi ruangan.
Lantai marmer yang mengkilap, sofa besar berbahan beludru, dan jendela kaca besar yang memperlihatkan pemandangan kota dengan cahaya lampu yang berkelip seperti bintang.
Star meletakkan tasnya di meja dapur, lalu berjalan perlahan ke ruang tengah. Dia berdiri di depan jendela besar itu, menatap kota yang selalu ramai, namun begitu sunyi di pandangan matanya.
“Aku masih tak menyangka bisa sampai di posisi ini. Punya apartemen mewah, posisi jabatan yang tinggi dan penghasilan yang stabil. Dan kini, ditambah dengan tetangga yang begitu mempesona,” gumamnya dengan senyum miring.
Bisikan itu terucap dari bibirnya dengan nada bangga. Apartemen ini adalah bukti hasil kerja kerasnya selama beberapa tahun terakhir.
Dari seorang gadis muda yang memulai segalanya dari nol, kini dia menjadi seorang wanita karier sukses yang dihormati di perusahaannya.
*
*
Malam itu, setelah menata beberapa koper dan membuka satu botol wine sebagai perayaan kecil, Star duduk di sofa.
Dia menghela napas panjang, membiarkan dirinya tenggelam dalam memori yang tiba-tiba menyeruak.
Star lahir dalam keluarga yang hancur. Ayahnya adalah seorang pria yang kasar, NPD, dan jarang pulang ke rumah karena sering berselingkuh.
Bertahun-tahun Star menjadi saksi pertengkaran orang tuanya yang tak pernah usai. Jeritan ibunya, suara piring pecah, suara pintu dibanting, semua itu menghantuinya hingga hari ini.
Sejak saat itu, Star belajar bahwa dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.
Pernikahan, cinta, semua itu tampak rapuh dan tak berarti baginya. Dia bahkan tak mau menikah dan ingin hidup sendiri selamanya.
Namun tak menutup kemungkinan untuk membuka hubungan dengan seorang pria tanpa ikatan resmi.
“Aku tidak butuh siapa pun. Aku hanya butuh diriku sendiri dan pekerjaanku. Dan aku tak boleh bergantung pada siapa pun,” gumamnya.
Dan pikirannya kembali ke pertemuannya dengan pria asing tadi, tetangganya yang mempesona itu. “Siapa dia? Apakah dia salah satu konglomerat yang tinggal di sini? Yang tinggal di sini bukanlah orang-orang sembarangan, jadi dia pasti orang penting.”