Chapter 2.

1484 Words
Rumah bertingkat dua, diliputi oleh suasana yang tenang. Diliputi kolam ikan mas, suara air mancur mengalir di kolam tersebut. Monika baru pulang dari kantor, pukul sembilan malam. Bukan hal biasa baginya yang selalu pulang begitu malam. Kalau saja ia tak berargumentasi dengan suaminya. Mungkin Monika bisa lebih cepat sampai di rumah, dan menyiapkan makan malam untuk keluarga. Rumah bertingkat dua bukan yang besar untuknya. Ia memang sengaja memberi rumah siap jadi, tanpa ada embel-embel untuk dekorasi yang berbagai interior unik. Sebelum dirinya menikah dengan Nico, Monika memang sudah membeli rumah ini sebagai kehidupan sendiri jika suasana hidupnya kacau akan keributan dengan orang tuanya. Monika bukan bermaksud durhaka dengan orang tua sendiri. Menurut dirinya, ia sudah lelah dengan sikap orang tuanya terus meminta dirinya menikah, berobat, atau segera memiliki keturunan. Monika seperti robot, diperintah-perintah. Seandainya bukan karena paksaan. Monika memilih tidak akan menikah untuk selamanya. Monika anak paling bungsu dari ke-tiga bersaudara. Dua saudaranya memiliki keluarga yang bahagia. Beda jauh dengan Monika, banyak masalah. Entah itu keuangan menghambat dirinya tanpa diundang, permasalahan kecil tentang pekerjaan dari kesalahan karyawan Nico yang salah mengirim barang ke luar negeri, kadang kesalahpahaman pun bisa terjadi. Selain itu Nico tidak pernah mempercayai Monika. Padahal Monika bekerja untuknya, dan juga untuk masa depan keluarga. Apa yang bisa Monika lakukan agar Nico mempercayai dirinya? Mempercayai segala yang Monika lakukan agar dia sadar. "Kamu sudah pulang?" Seseorang menyambut kepulangan Monika. Monika meletakkan sepatu ke rak lemari. Kemudian mengganti dengan sandal rumah. Monika melirik dan tersenyum pada seorang wanita tua lansia, dia adalah Nenek Gwen, neneknya Nico. Monika yang meminta nenek Gwen tinggal di rumahnya. Tak hanya itu, Monika juga mencari satu orang pekerja menjaga nenek Gwen selagi dirinya tak di rumah saat akan ke kantor. Monika memperkerjakan pembantu tak murah. Lumayan, karena dari yayasan. Yayasan yang lebih terpercaya dan juga pengalaman juga harus sempurna. Siapa lagi yang bisa menjaga beliau yang usia menuju 87 tahun. Meskipun fisiknya masih sehat, bisa melangkah setapa ke mana pun. Tetap saja Monika harus mencari seseorang untuk mengawasinya. "Iya, Nek. Nenek sudah makan? Biarkan saya menemaninya. Kamu siapkan makan malam untuk Pak Nico. Sebentar lagi dia sampai di rumah." Monika memerintahkan pembantunya. Dengan cepat pembantu itu pun segera menuju ke dapur untuk menyiapkan makan malam untuk majikannya. "Saya baru saja selesai makan, bagaimana pekerjaanmu di kantor?" Nenek Gwen menjawab pertanyaan Monika tadi, dan kembali ia bertanya kepada Monika soal pekerjaannya. Tak akan pernah bosan Monika mendengar pertanyaan dari nenek Gwen. Entah kenapa Monika lebih menyayangi nenek Gwen daripada orang tuanya sendiri. Mungkin ada benar yang dikatakan oleh Nico tadi siang di kantor. Orang tuanya hanya peduli dengan material, akan tetapi setiap perkataan dari Nico membuat kepedihan begitu mendalam. "Semua baik-baik saja, Nek. Jam segini kenapa Nenek belum tidur? Tidak baik untuk kesehatan Nenek. Apa mau Monik temani Nenek tidur?" jawab Monika sembari memijit kedua kaki nenek Gwen. Nenek Gwen mengangkat tangan mengelus kepala Monika. Bisa Monika rasakan sentuhan tangan yang begitu berat, merasakan itu pastinya beliau telah banyak menghadapi masa-masa hidup hingga dirinya bisa hidup sampai sekarang. Monika membayangkan jika ia seperti nenek Gwen kuat, tegar, apalagi selalu sabar menghadapi cucunya sendiri, yaitu Nico. "Belum mengantuk, kamu harus sabar dengan Nico. Nico adalah pria yang keras, dan sangat angkuh. Karena keangkuhannya dia selalu merendahkan orang-orang di bawahnya. Saya berharap pernikahan ini dengan Nico selalu diawali kesabaran," ucap nenek Gwen menasihati Monika. Monika berhenti memijit kaki nenek Gwen. "Pasti, Nek. Bukannya setiap pernikahan itu selalu akan terjadi berbagai rintangan yang tanpa kita sadari. Saya selalu sabar, walau pun Nico selalu keras dan membentak sesukanya. Saya yakin, dan percaya semua akan terlewati seperti Nenek melewati semua hingga bisa panjang umur," kata Monika memeluk nenek Gwen. Tak lama kemudian, suara mobil dari depan rumah. Nico sampai rumah dengan wajah yang kusut sekali. Monika pun segera menyambut suaminya di depan rumah. Monika yang di luar rumah terlihat sangat wibawa. Menghormati semua karyawan Nico. Membantu, dan menjaga hati seseorang. Jika di rumah, Monika seperti wanita biasa. Menghormati suaminya, mengurus segala rumah. Nenek Gwen dan pembantunya tidur di lantai satu, sedangkan Monika dan Nico di lantai dua. Dua kepribadian Monika sangat tak bisa di temui. Bertemu dengan teman semasa sekolah, seperti wanita bahagia. Pada kenyataan ia tak merasa itu bahagia, sampai kapan Monika sabar menghadapi Nico yang bersifat protektif, cemburu, keras, dan penuh emosional. **** Makan malam bersama, Monika dan Nico menikmati sajian makan malam di meja. Sementara nenek Gwen sudah diantar ke kamar untuk istirahat. Hening, tak ada suara yang mengangkat sebagai suasana di malam ini. Hanya irama dari garpu, sendok, dan piring terdengar. Tak lama kemudian, suara ponsel berdering sangat garing disaku celana Nico. Nico tak akan mengangkatnya, kewajiban di jam makan malam. Masih saja tak beretika menelepon. Ia membiarkan lagu ringtone itu bernyanyi hingga berhenti sendiri. Monika yang duduk di dekatnya merasa terganggu. Dengan berani ia mencoba bersuara. "Diangkat saja dulu panggilan telepon, mana tau penting," ucapnya. "Biarkan, mereka pikir sekarang sudah jam berapa? Urusan pekerjaan bisa dibahas di kantor bukan diluar kantor," balas Nico kembali menikmati sajian depan matanya. Monika tak menanyakan apa pun lagi. Ini yang tak di sukai sifat Nico, walau tak pernah ditunjukkan olehnya. Kadang pula Monika merasa tak mengerti apa yang diinginkan oleh Nico. Setelah selesai makan malam, Nico langsung menuju ke kamar. Monika yang akan membereskan piring-piring kotor dimeja. Lalu, pembantu yang menjaga nenek Gwen itu kembali ke dapur. "Apa nenek sudah tidur?" tanya Monika pada pembantunya. "Sudah, Bu," jawabnya membantu mencuci piring kotor di wastafel. Kembali hening, merasa sunyi tak ada bahan untuk percakapan. Pembantu itu sesekali melirik majikannya. "Hem, Bu Monik. Saya mau minta izin pulang kampung lusa nanti. Bisa, Bu?" Pembantu itu bersuara. Monika menoleh menatap pembantu itu. Pembantu itu tidak berani menatap Monika. Karena ia takut tak diizinkan oleh majikannya. Selama ini ia bekerja tak pernah meminta apa pun. Apalagi majikan yang ia temui sangat baik, begitu baik malahan. Mana ada yang bisa berjumpa seperti Monika. Tak pernah neko-neko soal keuangan. "Kalau Ibu Monika tak izinkan, saya tidak keberatan, kok, Bu. Soalnya saya hanya pulang kampung cuma mau lihat keadaan rumah," ucapnya lagi berbicara. "Siapa bilang saya tidak mengizinkan kamu. Kalau memang rindu sama kampung, pulanglah. Saya tidak pernah melarang mu untuk tidak keluar dari rumah ini. Itu hak kamu, bukankah kamu juga memiliki orang tua?" tutur Monika berbicara, ia malah mengizinkan pembantu itu pulang ke kampung. "Tetapi, bagaimana dengan nenek? Siapa yang menjaganya?" Sebaliknya pembantu itu masih sempat menanyakan nenek Gwen. Monika mendekati pembantu itu, sebenarnya Monika sudah menganggap pembantu ini seperti saudara sendiri. Tidak mungkin ia harus melarang orang lain untuk tak mengunjungi kampungnya. Jika bisa, Monika juga ingin pulang kampung melihat keadaan saudara-saudaranya. Namun apa yang bisa Monika lakukan sedangkan ia harus mengurus segala kegiatan suaminya dan rumah berlantai dua. "Biar saya yang mengurus nenek. Kapan kamu pulang? Biar saya pesanan tiket kepulangan mu." Pembantu itu begitu terharu. Tetapi ia merasa tak enak hati kalau misalkan ia tidak bisa kembali bekerja. "Lusa, Bu," jawabnya. "Ya sudah, nanti saya pesan tiket kepulangan mu. Sekarang kamu istirahat, biarkan pekerjaan dapur saya yang selesaikan sendiri," kata Monika, pembantu itu pun mengiyakan. Beberapa menit kemudian, Monika pun selesai dengan pekerjaan dapur. Ia pun menyusul ke kamar. Di kamar Monika menemukan suaminya kembali sibuk dengan laptop di pangkuan sangat serius. Monika membesuk wajah dan mengganti baju dengan baju tidur. Setelah itu ia naik ranjang, untuk beristirahat. Nico masih mengutat sama laptopnya. "Lusa nanti, aku antar nenek ke rumah Bibi Rika, aku masuk agak siang. Soalnya Rina minta izin untuk pulang ke kampung," ucap Monika beritahukan kepada Nico. Nico yang sedang serius dengan ketikan pada keyboard laptop berhenti. "Berapa hari?" Nico bertanya. "Mungkin satu minggu," jawab Monika asal, karena ia lupa menanyakan kapan Rina kembali dari kampung. "Kamu yakin? Alasan apa dia ingin pulang kampung?" Nico bertanya lagi, Monika segera mencari alasan lebih tepat. Salah sedikit pasti Rina tak diizinkan untuk pulang. Bukankah dia sudah berjanji akan membelikan tiket kepulangannya. "Katanya dia hanya ingin melihat keadaan kampung. Bukankah dia juga punya saudara-saudara juga? Besok aku akan cari tiket untuknya. Untuk sementara nenek Gwen titip di rumah Bibi Rika dulu," jawab Monika tenang. "Oh." Hanya "Oh" saja yang keluar dari mulut Nico. "Kamu tidak keberatan kalau nenek Gwen titip di rumah Bibi Rika?" Monika kembali bertanya sesekali melirik suaminya serius dengan laptop. "Kalau mereka tidak keberatan, bagiku tak masalah. Kalau memang benar Rina hanya satu minggu saja di kampung. Aku pegang kata-kata mu. Apabila dalam waktu satu minggu dia tidak kembali ke rumah ini. Kamu yang penanggungjawabnya. Jangan karena nenek Gwen sudah lansia suka-suka kamu oper dia ke sana ke mari. Dia bukan bola?!" ungkap Nico panjang lebar. Monika hanya bisa diam, tak membalas ungkapan dari suaminya. Beberapa detik tak ada lagi pembahasan, Monika pun memejamkan matanya dan untuk beristirahat. Nico masih pacaran dengan laptop-nya. Sesekali Nico melirik arah samping ranjang. Seorang wanita yang tengah tidur terlelap begitu tenang. Ia menyingkirkan laptopnya kemudian ikut menyusul tidur memandang wajah cantik istrinya. **** LOVE DONG! KALAU RAMAI....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD