"KAU sepertinya tengah memikirkan sesuatu," ujar Bian dengan tatapan lurus menghadap depan.
Kami berada di pusat perbelanjaan. Aku berkata padanya ingin bersenang-senang dan Bian menyetujuinya dengan syarat, ia harus ikut pergi bersamaku ke manapun.
Dan di sinilah kami berdua, berdiri berdampingan seperti sepasang kekasih. Bian dengan jaket hitam yang sengaja dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaos putih polos di dalamnya, dan celana jin panjang yang agak longgar berwarna hitam.
Aku baru menyadari ia sangat menyukai warna hitam dan putih, atau terkadang abu-abu. Tidak ada warna lain yang bisa menggambarkan dirinya selain tiga warna itu.
Sedangkan aku sendiri menggunakan rok pendek selutut dan kaos berwarna merah. Penampilan kami biasa saja dan cenderung mencegah agar tidak terlalu menarik perhatian orang-orang di sekitar kami yang sibuk berlalu-lalang dengan urusannya masing-masing Bian yang menyarankan hal ini, karena ia takut ada orang yang sengaja mengincarku di tempat seperti ini.
Walau kurasa ia terlalu berlebihan. Orang gila mana yang ingin menyerang orang lain di keramaian?
"Aku hanya memikirkanmu. Apa kau tidak merasakan lelah sama sekali? Kau belum tidur seminggu."
Aku memandangi wajahnya. Kantung matanya terlihat lebih parah dari pertama kali kami bertemu. Matanya pun terlihat berwarna merah dan aku bisa melihat, ia seperti mencegah dirinya menguap ketika bertugas di sebelahku.
"Kau bisa beristirahat setelah ini, aku tidak akan pergi ke manapun nanti. Kau butuh istirahat Bian, ini sudah seminggu. Kau bisa saja sakit jika memforsir tenagamu terus-menerus."
"Kurasa kau benar," Ia mengeluarkan tangannya yang sejak tadi bersembunyi di kedua sisi saku jaketnya, "aku memerlukan istirahat," katanya dengan tangan memegangi mata dan kepalanya. Ia mendesah kasar sebelum kembali memandangiku. "Apa kau bisa menemaniku tidur nanti?"
Aku menatapnya tajam. "Apa maksud dari ucapanmu?"
Apa ia bermaksud mengajakku b******a?
Tidur bersama setelah ia melakukan tugasnya selama satu minggu penuh? Jika memang hal itu benar, aku tak menyangkanya. Ia sama sekali tak terlihat tertarik dengan fisikku. Namun ini....
"Yah ... kupikir kau bisa menjagaku selama aku tertidur. Anggap saja ini sebagai imbalan, karena aku telah menjagamu seminggu penuh tanpa tidur."
Aku memandanginya tak percaya. "Aku tidak pernah menyuruhmu melakukannya. Kau sendiri yang bekerja padaku, kan? Kenapa aku harus memberikan imbalan padamu juga? Memangnya uang yang Axa dan Papa berikan untukmu masih kurang?"
Ia mendengkus dan membuang tatapannya ke arah lain. "Aku tidak terlalu membutuhkan uang."
"Lalu kenapa kau mau-mau saja bekerja selama ini, kalau kau tidak membutuhkannya?"
"Aku mau, karena aku hanya ingin membantu sahabat baikku yang tengah kesusahan. Jangan berpikiran buruk tentangku ataupun Axa, dia memang tidak berlaku baik padamu, tapi dia juga tidak mau terjadi apa-apa padamu. Terlebih, setelah aku mendengar tiga kasus yang menimpa sopir-sopirmu sebelum ini," jelasnya yang membuatku mengerutkan dahi.
"Kau mengetahuinya?"
"Alasan yang membuatku menerima pekerjaan ini selain karena paksaan Axa, juga karena aku kasihan padanya. Ia cukup takut kau tidur dengan sopir-sopirmu-"
"Kau pun baru saja menawariku untuk tidur bersamamu, kan?"
Bian mendengkus. Ia beralih menatapku. "Aku berniat memintamu menjagaku untuk beberapa jam ke depan. Kau pikir, hanya dirimu saja yang berada dalam bahaya? Aku juga."
Aku memandanginya tajam. "Bagaimana bisa?"
Bian memperhatikan sekeliling kami dan menggelengkan kepalanya. "Ini bukan tempat yang tepat. Akan kuceritakan beberapa hal yang perlu kau ketahui tentang pekerjaanku selama ini, tapi bukan di sini."
"Lalu di mana?"
"Di apartemenku."
"Apa kau bisa kupercaya? Bisa saja kau menghabisiku di sana?" Aku menantangnya dengan tatapan berani, tetapi ketenangan Bian sama sekali tak terusik.
"Percaya saja padaku. Aku tidak akan membunuh siapa pun di rumahku sendiri. Tempat itu terlalu menyayangkan untuk dikotori dengan darah," katanya yang berhasil membuatku menyentuh sebuah belati yang berada di pahaku.
Aku memang membawa belati yang terikat manis di paha kananku. Belati yang kuinginkan menjadi perisai terakhirku, jika Bian tak lagi mampu melindungiku nantinya. Mengingat wajah lelahnya itu, aku ragu ia bisa menolongku saat waktunya tiba.
"Terlalu menyanyangkan dikotori dengan darah, bukan berarti sayang juga dikotori dengan cairan cinta, benar kan?"
Bian menatapku dengan senyuman tipis. "Lama-lama, aku ingin mencium mulutmu yang berani itu."
Kupelototi dirinya sebelum menjawab, "Dan setelah itu akan kupastikan kau mati di tanganku."
Bian tergelak untuk pertama kalinya. "Kau bahkan belum tentu bisa menjatuhkanku, Putri. Namun kau berani mengancam akan menghabisiku." Ia tersenyum lebar. "Akui saja, kalau kau dan aku memiliki perbedaan yang cukup berarti."
Aku mendengkus dan mengalihkan perhatianku ke arah lain. Manusia berlalu-lalang, jumlahnya cukup banyak dan beberapa dari mereka cukup mencurigakan.
Aku bahkan harus mendekat ke tubuh Bian saat salah satunya menoleh dan menatap tepat ke bola mataku. Bian yang melihatku mendekatinya, langsung menarik pinggangku, dan membawaku segera menjauh dari sana.
Matanya berkilat waspada, seperti apa yang kulakukan sekarang. Beberapa kali Bian pun mengumpat, sebelum membawa tubuh kami berhenti tepat di pojokan ruangan. Ia mengunci tubuhku dengan bantuan tembok di belakangku. Matanya menatap tepat ke manik mataku.
"Siapa mereka?" tanyaku.
"Pembunuh bayaran, mereka mengincar orang lain yang berada di tempat ini."
Aku menatapnya terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu kalau mereka-"
"Aromanya. Bubuk mesiu bercampur gas. Aku khawatir mereka membawa peledak dan dengan sengaja mau meledakkan tempat ini."
Aku memandanginya khawatir. "Apa tidak sebaiknya kita keluar saja dari sini?"
"Mereka akan curiga. Lebih baik kita sembunyi terlebih dahulu dan...," ucapan Bian, membuatku menunggu cukup lama.
"Dan apa?" Aku melihat orang yang tadi sempat bertatapan mata denganku mendekat kemari.
Aku bisa melihat Bian menggeram tertahan. "Maaf!" bisiknya sebelum menempelkan bibirnya tepat di atas bibirku. Ia menciumku.
Mataku membelalak. Aku berusaha berontak dengan menjauhkan tubuhnya dariku. Namun, ia menekan tubuhku semakin erat ke tembok di belakangku dan terus menciumku dengan liar.
Ciuman kasar, brutal, dan cenderung menyimpan nafsu yang besar. Aku tak bisa melawan, karena kini aku mulai membalas ciumannya. Toh aku pernah berciuman berulang kali selama ini dan tak pernah lebih dari itu.
Karena aku takut ... takut pada diriku sendiri yang mungkin luluh pada pesona laki-laki lain saat sumpahku pada orang tak dikenal itu belum kulaksanakan.
Mataku terpejam, menikmati setiap dentuhan kasarnya di atas bibirku dengan gigitan dan beberapa lumatan yang membuatku terlena. Aku ingin meminta lebih darinya, tapi aku tahu, aku harus menahan diriku karena ini bukan tempat dan saat-saat yang tepat.
Bukan saat yang tepat....
Aku kembali memberontak dan berusaha bersuara dengan sisa-sisa usahaku. "Bi, tidak seharusnya kita melakukannya di sini!" seruku cukup panik, karena sepertinya Bian kehilangan kendali dirinya.
"Hm... aku tahu...."
Ada suara decakan yang menyusul suara langkah kaki menjauh. Bian tidak menyerangku lagi, ia mulai menjauhkan tubuhnya dan hidungnya beberapa kali menarik napas panjang lalu bibirnya mengumpat tertahan.
"Aromamu meracuni indra penciumanku," katanya yang membuatku menatapnya tajam.
"Apa maksudmu, ha!"
"Ssttt... jangan sampai mereka kembali kemari. Kita pergi dari sini, lewat pintu belakang."
Ia menarik tanganku menjauh begitu saja. Meninggalkan beberapa tanda tanya besar di kepala?
Ke mana orang-orang itu? Kenapa Bian bertindak seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan kami?
Dan apa maksud dari ucapan permintaan maafnya, sebelum ia menciumku tadi?
>