Chapter 5 : Cannes

1596 Words
"Hey! Mau kemana kau? Hah?"teriak Julia, menghadang Lucia dengan merentangkan kedua tangannya. Lucia tersenyum, memeluk sahabatnya itu lekat. "Ceritakan! Bagaimana perasaan mu? Kalian sangat serasi, tau?" "Kau berlebihan,"sanggah Lucia dengan wajah merah. "No. Aku serius, dan aku sangat senang melihat mu. Kau cantik!"puji Julia. "Thanks,"Lucia mengulum bibir, mencoba menjaga diri untuk tetap terlihat anggun di hadapan tamu. Ia tidak ingin merusak citranya. "Cie... Nanti malam mau unboxing!"goda Julia. "Ditunggu keponakannya, Lo,"celetuk Carmela dari lawan arah, tersenyum puas sambil menyuap ice cream ke dalam mulut mungil nya. "Unboxing apa? Kado?"tanya Lucia penasaran. "Ya ampun. Mulai deh ini anak, lemot nya bikin rusak persahabatan,"tukas Julia gemas. "Ya lagian. Ngomong nya kurang jelas,"tuding Lucia. "Itu loh Lu, aktivitas suami istri kalau udah sah,"tutur Julia. "Apaan sih? Makan?" "Astaga. Pantas aja sering juara satu dari belakang ini anak, otaknya di makan rayap,"sarkas Julia mulai geram. Meremas kedua tangan nya, ingin menjitak kepala Lucia. "Ya. Mau gimana lagi? Tuhan ngasih nya jatah terakhir, masa mau request IQ, mending request uang, Lah,"gemas Lucia. "Gak gitu juga konsepnya Lucia. Ih!" "Mending kasih tahu yang benar deh Jul, daripada makin pusing,"pinta Carmela, melirik ke arah Justin— Julia brother, tengah menggoda George Savalas di pinggir sajian makanan. "Sini dekat-dekat! Aku bisikin,"pinta Julia, membuat Lucia maju selangkah. "Itu. Malam pertama. Bikin dedek bayi,"bisik Julia pelan. Seketika, Lucia menelan ludah. Terdiam kaku dengan wajah pucat lalu melirik ke arah Matteo, pria gagah dengan setelah pakaian serba hitam itu terlihat asyik. Mengobrol dengan para tamu undangan, beberapa di antara nya mantan klien Matteo. Lantas, seakan menyadari bahwa ia tengah menjadi bahan pembicaraan, Matteo menoleh, tepat ke arah Lucia. "Nah. Si Om udah lirik-lirik 'kan? Nanti malam kau pasti di terkam, Lu. Nyaww!"sentak Julia, membuat sahabatnya itu terkejut. Lucia memalingkan wajah, merinding takut dan memukul lengan Julia keras. "Kalian terlalu berisik. Aku pergi, bye!" "Cie. Malu-malu kucing. Nanti kalau udah tanam benih telpon kita ya. Awas kalo ngak!"goda Julia, sedikit meninggikan suara, melihat Lucia menutup telinga tanpa menghentikan langkah. Sungguh, Lucia tidak bisa membayangkan semua perkataan Julia. Ia takut, merasa tidak yakin. Mengingat bagaimana sentuhan Matteo kemarin saja berhasil membuatnya merinding. Apalagi lebih dari itu, Lucia belum cukup memahaminya. "Belum selesai juga kau makan ice cream?"tanya Julia pada Carmela. "Ini udah mau habis. Makan nya sambil lihatin Justin. Ganteng banget,"puji Carmela tersenyum simpul. "Apa? Ganteng? Periksa mata deh sana! Muka kaya panci meledak di bilang ganteng,"cebik Julia, menatap Justin, brother-nya dari kejauhan. "Sirik amat. Kaya gak bisa liat temennya senang. Jodohin kek,"pinta Carmela. "Ish. Amit-amit,"tukas Julia. Lantas, menyenggol lengan Carmela, melihat Matteo berjalan mendekati Lucia. ______________ Lucia sengaja, menaruh ujung kakinya di pinggir pantai. Merasakan kehangatan ombak mengenainya tipis. Ia tersenyum, sesekali menenggak Tequila dari botolnya langsung. Gadis itu melamun jauh, memikirkan ribuan hal yang membahagiakan dirinya. "Lucia,"sontak, mendengar suara serak yang sangat ia kenali. Khas, begitu nyaman di telinga. "Eh. Om... Kenapa? Mau ikut main air juga?"tanya Lucia santai, melebarkan bibir. Matteo berkedip, memasukkan kedua tangan di dalam saku celana. "Dua jam lagi kita berangkat ke Cannes, bersiap-siaplah!"tutur Matteo dingin, mengedarkan mata ke seluruh tempat. Menatap beberapa tamu undangan yang ber-swafoto di garis pantai. "Cannes? Om ngapain ke Perancis? Istrinya di ajak lagi,"ucap Lucia gemas. Membuat bibir Matteo sedikit miring ke kanan. "Duh. Suami ganteng banget sih. Pengen cium tapi takut,"batin Lucia memegang d**a. Menahan senyuman dengan menggigit-gigit bibir bawahnya. "Kau istriku! Tidak mungkin aku membawa orang lain untuk pergi honeymoon,"sebut Matteo detail. Tahu, bahwa gadis itu tidak akan paham jika penjelasan nya kurang. Lucia bukan gadis yang pintar. "Honeymoon? Kita berdua?"tanya Lucia penasaran. Menunjuk Matteo dan dirinya bergantian. "Terserah kau ingin berdua atau bertiga,"sebut Matteo asal. "Bertiga? Satu lagi Om bawa siapa?" "Setan!"celetuk Matteo cepat, menyambar botol Tequila dari tangan Lucia dan menenggak nya habis. "Jangan minum ini. Kau masih di bawah umur!"jelas Matteo, lantas, berputar arah dan berjalan tegap meninggalkan Lucia. Gadis itu menggigit ujung jari, menahan malu. Sungguh, ia benar-benar tengah kasmaran. ________________ Martinez Hotel, Cannes, Riviera.,Perancis. Bugh! Lucia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, merentangkan kedua tangan. Menarik napas sejenak, melepas penat setelah menempuh belasan jam di udara. Kebosanan yang tercipta sebelumnya, terbayar dengan pemandangan diluar hotel yang menakjubkan. Cannes luar biasa. Matteo menarik sisi pintu kaca. Lalu keluar, menuju balkon kamar yang luas, serta sajian hamparan laut biru. Pria itu menghirup udara segar, mencium aromanya dalam. Ia tidak pernah merasa sebebas ini sebelumnya. Meski Sofia masih terus memenuhi otaknya, Matteo ingin perjalanan nya bersama Lucia baik. "Om. Kita tidur sekamar?"tanya Lucia, mengangkat tubuhnya penatnya. Matteo sedikit memutar badan, mengangguk pelan tanpa ingin menjawab. Lucia menelan ludah. Memikirkan percakapan antaranya dan Julia. "Aku mau membasuh wajah,"ucap Lucia habis kata-kata. Beranjak turun dari ranjang dan berlari kecil menuju toilet. Matteo mengabaikan Lucia, lebih memilih memeriksa ponsel. Menekan benda itu dan membuka sebuah pesan yang berpapasan masuk, dari Sofia. Matteo mengangkat kepala, mengarah ke dalam kamar untuk melihat situasi. Lantas, membuka pesan tersebut. "Selamat atas pernikahan mu. Aku turut senang untuk mu dan Lucia." Matteo menekan nama Sofia, mencoba menghubungi wanita itu. Namun, hasilnya nihil, Sofia sengaja tidak mengangkat, bahkan langsung mematikan ponsel. "f**k!"umpat Matteo, sambil mengetik sesuatu di layar. "Kita harus bicara. Hubungi aku!" Matteo berjalan ke sisi ranjang, menarik kunci mobil yang ia sewa untuk memudahkan perjalanan. Tanpa mengatakan sepatah katapun pada Lucia. Matteo keluar, mencari tempat mencari ketenangannya sendiri. Mungkin ia akan kembali dini hari nanti. Lucia menatap kosong, mencari Matteo di tengah ruang kamarnya. Sepi, tanpa seorang pun. "Om...!!"panggil Lucia pelan, mengedarkan mata ke tiap tempat. "Om kemana sih?"pikir gadis itu lagi. Meraih ponsel, mencoba mengirimkan pesan singkat. Namun, berjam-jam Lucia menunggu, tidak ada satupun pesan balasan yang ia peroleh. Padahal, hari semakin gelap. Mulai larut. Lucia lapar. "Aku juga mau jalan-jalan dan mencari makanan,"Lucia bergegas, mengemasi diri sebaik mungkin,  memoles bibirnya dengan sedikit lipstik berwarna gelap. Merasa siap dengan tampilan pilihannya, Lucia pun meninggalkan kamar. Sendiri, berbekal keberanian seadanya. Berharap menemukan Matteo atau seseorang yang bisa ia anggap teman. __________________ Lucia memesan menu favorit di sebuah restauran mewah yang ia temukan tidak jauh dari Martinez, padat dengan turis asing dari berbagai mancanegara, sama sepertinya. Ia memakan lahap makanan nya, ditemani ratusan chat yang tidak berhenti dari Julia dan Carmela di dalam sebuah group chat. "Kau sendiri?"tegur seorang pria. Muda, tidak jauh darinya. Membawa tray berisi beberapa makanan, pria itu menggunakan bahasa yang di pahami Lucia. Bahasa kesehariannya, Spanyol. "Ya,"jawab Lucia singkat. "Boleh aku duduk di sini? Tempat yang lain penuh,"ucap pria itu lagi. Lucia mengulum bibir, berhenti mengunyah sambil mengedarkan mata. Turut memastikan keadaan. Memang penuh. Padat. "Ya. Duduklah!" "Thanks."Pria itu duduk, menyusun makanan di meja dan menyingkirkan tray dari hadapannya. Berperilaku sopan agar meja mereka tetap luas. "Untunglah kau memahami bahasa Spanyol. Aku frustasi seharian di sini karena tidak memahami orang-orang di sini,"ucap pria itu, tersenyum ke arah Lucia ramah. "Aku dari Bogota,"celetuk Lucia. "Benarkah? Aku juga. Kita sama. Ah. Kenalkan namaku Oxcaz Verwood. Namamu?" "Lucia dos santos,"sebutnya, menyandingkan nama baru yang ia dapatkan dari Matteo. "Nama yang bagus. Ini, makanlah. Onion ring di sini enak,"geser Oxcaz lebih dekat pada Lucia. Gadis itu tersenyum, merasa menemukan teman yang ia cari. "Thanks,"tutur Lucia, mencicip onion ring itu. "Hmm. Kau benar, ini enak,"soraknya senang, kembali mengambil camilan lagi. "Habiskan jika kau suka,"ucap Oxcaz menaruh makanan di piring Lucia. Gadis itu tidak ragu, mengambilnya dan melahapnya habis. Keduanya terlihat akrab, larut dalam suasana. Menceritakan hal yang terdengar menyenangkan beberapa menit. "Aku akan mencari mu jika pulang ke Bogota,"sebut Oxcaz, menatap senyuman di wajah Lucia. Cantik, terlihat begitu polos namun penuh ketakutan. Hingga detik ini, Oxcaz belum berani menanyakan alasan gadis itu sendiri di meja makan. Ia tidak ingin merusak suasana. "Ah. Aku harus kembali ke Hotel. Ini sudah malam. Om pasti....." "Mau ku antar?"tawar Oxcaz menghentikan kalimat Lucia seketika. "Tidak. Aku bisa. Tenang saja!"tutur Lucia, melebarkan senyuman. Oxcaz mengangguk, tidak ingin memaksa. "Baiklah. Biar aku yang bayar semua ini,"tunjuk Oxcaz ketika Lucia hendak mengeluarkan dompet berwarna biru dari dalam tas branded nya. "Kau yakin?"tanya Lucia. "Ya. Dengan catatan, jika kita bertemu lagi nanti, gantian. Kau yang traktir." Lucia menggeleng kepala. Tersenyum bebas, lalu mengangguk pelan. "Okay. Kalau begitu aku pergi, see you!" "Bye..." Lucia bangun, berangsur menjauh, meletakan tas kecilnya di bahu dan pergi. Oxcaz tersenyum, menatap punggung gadis itu hingga hilang. Namun, tatapan nya terganggu, saat seorang pria tinggi dengan wajah datar menatapnya dari jarak dekat, sengaja berhenti di depan meja nya. "What?"tanya Oxcaz penasaran. Pria itu tidak menjawab, melirik ke arah hilangnya Lucia. Lantas berjalan pelan mengikuti langkah gadis itu. "Aneh,"tutur Oxcaz pelan, lantas memanggil bill untuk membayar makanan yang ada. ________________ Sesampainya di hotel, Lucia melepas pakaian. Meletakkan nya asal. Mateo belum kembali. Membuat gadis itu berani naked di sekitar kamar, berjalan tanpa sehelai benangpun dan masuk ke toilet. Ia ingin mandi, gerah. Lucia tidak terbiasa tidur dalam keadaan berkeringat.  Gadis itu menghidupkan shower, menyesuaikan panas yang pas untuk membasahi tubuhnya. Lucia ingin berlama-lama di bawah sana, sekaligus menunggu Matteo. Tubuh naked Lucia mulai basah, di penuhi busa sabun. Aroma Lavender dari buih itu membuat keadaan terasa begitu nyaman. Beberapa saat di bawah sana membuat Lucia merasa segar bukan main. Sungguh, gadis itu tidak ingin mengakhirinya dengan cepat. "Lucia..." Deg! Lucia ingin berputar secepatnya. Ketika mendengar suara serak Matteo yang ia kagumi. Gadis itu terkejut. Namun, tangan Matteo yang begitu kuat menahannya. Mendorong ke tembok tanpa memberinya izin bergerak sedikitpun. "Don't move!"ucap Matteo, sekaligus mencium punggung gadis itu. Sungguh, Lucia ingin berontak, namun takut. Ia mendongak, menelan air yang penuh di kerongkongan. Matteo meremas kedua dadanya erat, dan Lucia sadar bahwa mereka sama-sama tel4njang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD