05. Keputusan

1630 Words
Sejak tadi malam, Aafia belum juga keluar dari kamar. Dan kini matahari sudah menyapa bumi membuatnya mau tak mau harus keluar kamar dan pergi kuliah karena ia ada kelas pagi ini. "Aafia, Mama mau bicara," ujar Irene, menghentikan langkah Aafia yang hendak keluar rumah. Aafia berbalik dan menatap Mamanya malas, "Fia ada kelas pagi ini, bicaranya nanti aja, Ma," tolak gadis itu lalu memaksakan senyumnya. Irene menghela napas kemudian mengangguk. "Baiklah, belajar yang benar dan hati-hati bawa mobilnya, Fi." Aafia mengangguk, ia mencium pipi Irene dan kemudian melangkahkan kakinya keluar. Walaupun ia masih marah akan kejadian tadi malam, namun tidak membuatnya lupa akan kebiasaannya yang selalu pamit dengan mencium pipi Mamanya. Aafia sudah keluar dari pekarangan rumahnya, dan kini ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Drrttt... Drttt... Aafia melirik handphone nya di jok sebelahnya, matanya memicing saat melihat pesan dari Syakila. Gadis itu pun menepikan mobilnya dan segera membuka pesan dari sahabatnya itu. S. Aurora. Bu Nining ga datang, kelas hari ini kosong. Tapi ada tugas dan deadline-nya dua hari lagi . Aafia berdecak sebal, hari ini kelasnya hanya bersama Bu Nining, tapi dosennya itu tidak datang. Kalau tau begini ia pasti melanjutkan tidurnya. Gadis yang merasa sedikit kesal itu pun mengetikkan balasan untuk Syakila. Aafia G. Sullivan. Hm, okay. Saat Aafia hendak melajukan mobilnya kembali, satu pesan kembali muncul di layar handphone nya. Bukan dari Syakila, melainkan Farrel. Kening Aafia mengernyit melihat isi pesan Farrel. Farrel. Mumpung hari ini ga ada kls, jalan kuy? Aafia G. Sullivan. Kemana? Farrel. Hm ga tau, tapi ntar lo yang pilih deh mau ke mana. Gue lagi bosan. Aafia menimbang-nimbang ajakan Farrel, hari ini ia lagi malas bicara dengan Mamanya dan lebih baik ia jalan bersama Farrel hingga sore. Ah ide yang bagus. Aafia G. Sullivan. Oke, kamu sekarang di mana? Farrel. Di depan kampus, biar gue jemput lo, Fi. Aafia menggeleng, lebih baik ia pergi ke kampus daripada harus putar balik. Aafia G. Sullivan. Aku otw ke kampus, kamu tunggu sebentar. Dan Farrel pun hanya membalas dengan emot jempol. Aafia meletakkan kembali handphone nya dan melajukan kembali mobilnya menuju kampus. *** Ucapan Papa dan Mamanya kemarin menghantui Rasi hingga pagi ini, sehingga membuat pekerjaannya sedikit berantakan hari ini. Sekarang semua telah terjawab, alasan mengapa Papanya mempercepat pengangkatannya menjadi pimpinan di perusahaan keluarganya ini. Itu karena dia harus menghasilkan uang agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya kelak. "Lo kenapa sih? Daritadi gue liat lo nggak fokus, mikirin apa si?" tanya Aldino beruntun dengan kesal. "Berisik!" Aldino hanya bisa mengelus d**a. Sabar, sabar, orang sabar disayang Im Yoona, Din! ㅡbatin Aldino menyabarkan dirinya. "Serius, Si! Kalau kerja lo kayak gini terus lo mau bikin nih perusahaan bangkrut?!" pekik Aldino, sok memakai nada marah. "Gue dijodohin," gumam Rasi pelan tapi bisa di dengar oleh Aldino. "Sumpah lo, demi apa?!" pekik Aldino lebay. Seperkian detik raut wajah Aldino berubah menyeringai. "Bagus dong, biar ada yang lebih merhatiin lo. Dan lo nggak bisa nyakitin diri lo sendiri nanti karena ada bini lo," ujarnya dengan semangat. Kekehan geli pun keluar dari mulut Aldino, membayangkan Rasi yang menikah. "Gue nggak pernah nyakitin diri," bantah Rasi menatap Aldino tajam. Aldino mencibir. "Nggak pernah lo bilang? Terus hobi lo yang nyayat tangan itu apa kalau nggak nyakitin diri namanya?!" Rasi diam, ia memang sering melakukan self injury akibat trauma dan depresi yang mendalam akibat kejadian itu. Baginya menyayat lengan sangat enak dan menyenangkan, karena dengan itu ia menjadi sedikit lebih bahagia dan sedikit melupakan masalahnya. "Keluar!" usir Rasi sambil melirik Aldino dan pintu keluar gantian. Aldino berdecak. "Lo harus terima perjodohan itu, gue yakin orangtua lo mau yang terbaik untuk lo walaupun usia lo masih dua puluh tiga tahun." Lagi-lagi Rasi hanya diam, kemudian matanya kembali fokus pada kertas laporan yang tadi diantar oleh Aldino, menganggap Aldino tidak ada di depannya. "Udah gue tanda tangan, sekarang lo keluar," usir Rasi, menyerahkan laporan yang baru saja ia tanda tangani. Aldino mendesah tapi menurut, ia pergi keluar dari ruangan Rasi. Drrttt... Drrttt... Rasi mengalihkan pandangannya ke ponselnya yang terletak di pinggir meja. Mama. Malam ini kamu ke rumah, jangan ke apartemen. Rasi tidak membalas, ia hanya membaca pesan dari Malika setelah itu ia kembali fokus pada laptopnya lagi. *** Kini Aafia dan Farrel telah sampai di salah satu taman mini yang menyediakan berbagai permainan. "Pertama kita akan bermain apa?" tanya Farrel. "Memanah," sahut Aafia, gadis itu berjalan ke stan permainan panahan. Rulesnya sangat mudah, jika dapat membidik di angka 9 dan 10 akan mendapatkan satu cup ice cream ukuran medium atau boneka beruang yang berukuran sedang. Farrel mengikuti langkah Aafia, dari sekian banyak permainan gadis itu memilih mamanah. Baiklah, Farrel akan melihat bagaimana kemampuan memanah Aafia. Setelah membayar, Aafia mendapatkan tiga buah anak panah. Gadis itu bersiap-siap akan meluncurkan anak panah pertama, sedangkan Farrel melihatnya dari samping. Aafia menutup matanya sebelah, dan menghembuskan napasnya pelan. Tangannya melepaskan anak panah pertama. "Yahh." Gadis itu mendesah kecewa saat melihat anak panah itu tertancap di nomor delapan. Farrel terkekeh geli melihat ekspresi kecewa Aafia. "Coba lagi, masih ada dua anak panah, Fi!" Aafia mengangguk, mengambil anak panah kedua. Ia menghembuskan napasnya pelan, kemudian melepaskan anak panah itu. "Yess, kamu liat itu? Tertancap di angka sepuluh!" seru Aafia senang. Ya, Farrel melihat itu. Hanya senyum kecil yang dapat Farrel balas karena ia fokus melihat Aafia yang terlihat sangat bahagia dan tersenyum lebar. Gadis itu sungguh sangat cantik. "Maaf nona, anak panahnya dominan jatuh di angka sembilan. Tapi anda tetap bisa memilih hadiah," ujar Mas-Mas yang pemilik stan memanah itu. Tersenyum malu, Aafia pun mengangguk. Ah, ternyata poinnya hanya sembilan, rasanya sangat malu mengingat ia bersorak mendapatkan poin sepuluh. Astaga, benar-benar memalukan! "Aku ingin ice cream Vanilla," ujar Aafia. Mas-mas itu pun mengangguk dan mengambilkan sebuah ice cream vanilla di kulkas kecil yang ada di balik meja pembatas jarak memanah dan si pemanah. "Ini, nona." Aafia mengambil ice creamnya dan kemudian menghampiri Farrel yang sejak tadi hanya diam dan senyum. "Ah, rasanya malu sekali bersorak mendapatkan poin tinggi padahal hanya dapat sembilan," keluh Aafia pada Farrel. Farrel tersenyum dan mengacak rambut Aafia gemas. "Yang penting udah dapat ice cream." Aafia tertawa kecil dan mengangguk. "Kamu mau?" Gadis itu menyodorkan sesendok ice cream ke Farrel. Farrel menggeleng. "Makan aja, gue kurang suka ice cream." Aafia mengangguk dan kembali memakan ice cream nya. "Siap ini mau main apa?" "Roller coaster!" seru Aafia antusias. Farrel mengangguk, "Habiskan ice nya cepat, antriannya lumayan panjang." Lagi-lagi Aafia mengangguk. Sisa hari mereka pun dihabiskan dengan bermain di taman bermain itu hingga sore, tidak hanya Aafia yang senang tapi Farrel pun juga senang dapat bermain dengan Aafia. Mereka berdua tidak sadar jika salah satu diantara mereka mulai memiliki rasa. Rasa yang baru timbul setelah menghabiskan waktu berdua hingga berjam-jam. *** "Kamu udah makan, Si?" tanya Malika pada Rasi. Rasi malam ini memang berada di rumah seperti yang Mamanya minta, dan ia yakin tujuan Mamanya menyuruhnya pulang tak lain adalah mengenai keputusannya. "Tadi ud-" "FARREL PULANGG!" teriakan membahana itu menggelegar di seluruh penjuru rumah. Rasi mendengus mendengar teriakan adiknya itu. Farrel sudah besar, tidak seharusnya ia berteriak sepertu itu. "Eh ada lo ternyata, bang," cengir Farrel menatap Rasi malu karena ia habis berteriak. C'mon, pasti Rasi ilfeel melihatnya. "Katanya cuma ada satu kelas, kenapa pulangnya malam?" interogasi Malika, menatap putra keduanya. "Tadi main, Ma," jawab Farrel santai. "Main kemana? Kenapa lama?" tanya Malika, tak puas dengan jawaban yang Farrel berikan. "Ke taman bermain, sama doi hehe," cengir Farrel, tersenyum malu. Alis Malika terangkat naik, "Siapa?" Farrel mengangkat bahunya, "Jangan ditanya lah, Ma, malu," sahutnya dengan malu-malu. "Halah, malu-malu, sejak kapan lo punya urat malu?" cibir Rasi dengan pedas. "Yaelah, baru juga lo pulang udah sepedas cabe aja tuh mulut," decak Farrel memberenggut sebal menatap Rasi. Rasi hanya mengangkat bahu acuh sedangkan Malika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cepat bersihkan badan kamu, kita makan bersama. Kalian pasti sudah lapar," ujar Malika. Wanita berumur empat puluhan tahun itu berdiri dan berjalan ke dapur menyiapkan makan malam. "Tumben lo pulang, bang," komentar Farrel. "Mandi sana," usir Rasi, pria itu membaringkan tubuhnya di sofa dan menutup matanya. Farrel bedecak kecil, dengan langkah gontai ia naik ke lantai atas, menuju kamarnya. "Rasi, Farrel, ayo ke sini, makan malam sudah siap!" seru Malika dengan suara yang cukup keras. Rasi yang sejak tadi hanya memejamkan mata pun kembali membuka matanya saat mendengar seruan Mamanya, dengan malas ia berdiri dan berjalan ke ruang makan di mana sudah ada Papa nya, Ryan. Rasi mengambil tempat duduk tepat di sebelah kiri Papanya, sedangkan Malika di sebelah kanan Ryan. Tak berapa lama kemudian Farrel datang dengan kondisi yang lebih segar. "Jadi Rasi, kamu setuju kan?" tanya Ryan menatap Rasi yang hendak menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Gerakan tangan Rasi berhenti di udara, sedetik kemudian ia menaruh kembali sendoknya di piring. Lain halnya dengan Farrel yang tetap makan, dan sesekali menyimak pembicaraan. Dahi Farrel mengernyit tidak mengerti dengan pertanyaan sang ayah yang ditujukan pada Abangnya. "Tidak ada pilihan lain bukan? Rasi nggak bisa menolak," jawab Rasi acuh tak acuh. Malika tersenyum lebar, akhirnya Rasi setuju. Dan saatnya memberi kabar pada Irene bahwa Rasi sudah setuju. "Emang ada apa sih?" celetuk Farrel penasaran. "Rasi akan segera menikah," sahut Malika. "Hah?" respon Farrel cengo. Malika terkekeh geli melihat Farrel yang kebingungan. "Benaran, bang? Lo mau nikah? Cepet banget buset, umur lo juga baru dua dua," komentar Farrel dengan nada tidak percaya. "Sama siapa, Ma?" tanya Farrel penasaran dengan calon kakak iparnya. "Manusia," tukas Rasi, ia kembali malahap makanannya dengan cepat. Farrel berdecak mendengar jawaban Rasi yang unfaedah. "Ya pasti manusia lah, nggak mungkin sama setan!" sewotnya. "Siapa sih Ma?" tanya Farrel sekali lagi, menatap Malika serius. "Udah, kamu lihat aja nanti." Malika tersenyum misterius. Lagi-lagi Farrel berdecak karena tidak mendapat jawaban yang sesuai dari Malika. Ah, Farrel jadi penasaran siapa calon istri Rasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD