"Sarah?"
Sarah mendengar suara Ana di kejauhan. Cepat-cepat, dia menyeka mata dan pipinya. Untung saja dia membawa sapu tangan di salah satu saku celananya. Meski yakin pipinya sudah kering, tapi Sarah tidak yakin matanya tidak merah. Dia takut Ana melihat jejak-jejak kesedihannya. Sarah menggigit bibirnya.
Bagaimana ini? Sarah tidak ingin Ana tahu. Selama ini, dia sudah menutup rapat perasaannya untuk Alex. Di depan semua orang, dia memasang tampang acuh. Tidak ada tatapan memuja atau lirikan manja. Semuanya tertutup rapi. Itu semua karena sifat Alex yang sangat dingin.
Alex adalah pria tampan paling dingin dan cuek yang pernah Sarah kenal. Walaupun dia memiliki mata indah berwarna keemasan, tapi berbanding terbalik dengan sorotan matanya yang tajam. Alisnya tidak begitu tebal, tapi memiliki bentuk runcing yang pas. Tulang hidungnya tinggi dan memiliki ujung yang lancip.
Tidak banyak ekspresi yang dimiliki olehnya. Sarah hanya bisa melihat rasa acuh atau terkadang datar tanpa ekspresi. Namun, itulah yang menjadi daya tariknya.
Sarah mengenal Ana karena hubungan baik keluarga. Papa Ana, Tuan Darren, adalah teman bisnis daddy-nya. Saat remaja, mereka berempat, Sarah, Sean, Alex, dan Ana pergi ke sekolah yang sama. Saat itulah Sarah semakin dekat dengan Ana. Berbeda dengan Sean. Karena sifat Sean yang bertolak belakang dengan Alex, hubungan mereka tidak terlalu dekat.
Setiap kali Sarah mengunjunginya, Alex tidak pernah repot menyapa apalagi mengajaknya berbicara seolah mereka tidak saling mengenal. Pria itu seakan memiliki tembok yang sangat tinggi di hatinya. Namun, justru karena sifat acuhnya itu, Sarah jadi mulai memperhatikannya.
Di sekolah, tidak hanya satu atau dua gadis yang mencoba menarik perhatiannya. Setiap hari, selalu saja ada yang menitipkan surat atau cokelat untuk Alex lewat Ana.
"Buat kalian." Begitu yang selalu dikatakan Alex.
Jadilah surat-surat itu selalu berakhir di tempat sampah setelah mereka baca. Sering kali, mereka tertawa dan terharu dengan kata-kata romantis dan puitis yang ditulis sementara mulut mereka penuh dengan cokelat.
Seiring dengan berjalannya waktu, perlahan rasa penasaran Sarah berubah menjadi kekaguman. Saat pergi ke rumah Ana dan melihat motor sport yang biasa dipakai Alex, jantungnya mulai berulah. Hanya dengan melihat tas sekolahnya tergeletak di atas sofa di depan televisi, Sarah menjadi gugup. Semua yang berhubungan dengan Alex berhasil membuat jantungnya bermasalah.
Diam-diam, Sarah mengarahkan kameranya ke arah Alex. Entah itu saat di rumah atau sekolah. Wajah tampan dan tatapan matanya yang tajam membuat hatinya menjerit tertahan. Namun, kedatangan seorang gadis kecil saat mereka sudah di bangku kuliah menghancurkan seluruh mimpi Sarah.
"Sarah!!"
Suara Ana terdengar semakin mendekat. Sarah tidak bisa lagi bersembunyi. Setelah mengatur emosinya, diapun keluar dari tempat persembunyiannya.
"Ana, aku di sini!" Sarah melambaikan tangannya.
Ana menoleh lalu berjalan dengan cepat menghampiri sahabatnya. "Ya ampun, kamu ngapain di sana? Mau ke pantai? Besok saja. Aku akan menemanimu berenang dan berjemur. Ayo! mama sudah menyiapkan makan malam."
"Iya, baiklah Princess Ana, ayo kita kembali." Sarah mencoba tersenyum di balik rasa sakitnya.
"Ayo!" Ana mengulurkan tangannya. Sebelum melangkah terlalu jauh, dia sempat menoleh ke belakang, ingin tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sini sedari tadi. Matanya memicing melihat dekorasi mini di bibir pantai. Sontak, dia menoleh. Matanya memindai wajah Sarah, mencari sesuatu yang salah di sana. Samar-samar, Ana menemukan jejak merah di sudut matanya.
Ana mengernyit. Apa mungkin Sarah mengintip kencan Alex dan Sera?
Sarah dan Ana berjalan bersama menuju vila milik Darren. Mereka sedang berlibur untuk menikmati libur akhir tahun bersama keluarganya di pulau pribadi.
Vila itu berada di salah satu kepulauan Seribu. Mereka menggunakan yacht untuk mencapai pulau. Sebuah villa besar dibangun di sana, terdiri dari sepuluh kamar tidur, dua kamar mandi luar, dapur ruang baca, ruang hiburan, juga ruang keluarga. Darren sengaja membangunnya untuk berlibur sambil mengajak beberapa orang. Kali ini, Ana mengajak Sarah.
Amber sedang menata meja saat dua gadis itu memasuki vila. Wangi masakan tercium, menggoda indera mereka untuk mencicipinya.
"Hmm, Tante masak apa? Baunya harum sekali."
Amber tertawa mendengar pujian Sarah. "Kamu selalu bisa membuat hati ini terbang. Ayo sini! Kita makan bersama. Ana, panggil papamu!"
"Aku di sini, Honey." Darren datang dengan aura kuat memancar dari tubuhnya. Pria enam puluh tahun itu masih tampak bugar. Langkah kakinya kuat dan mantap. Rambutnya sudah memutih, tapi pesonanya tidak bisa dihiraukan begitu saja. Meskipun begitu, tatapan tajam dan intimidasinya tidak berkurang. Terkadang, Sarah menjadi takut karenanya.
Meja sudah penuh dengan berbagai masakan yang sia disantap.
Darren segera duduk di kursi paling ujung. Sebelah kanannya Amber dan sebelah kiri Ana. Sarah duduk di sebelah Ana.
Amber mengambil piring dan mengisinya dengan makanan kesukaan Darren sebelum dia mengisi piringnya sendiri, diikuti oleh Ana dan Sarah.
Darren mengedarkan pasangan, mencari dua orang lagi yang belum tampak. "Di mana Alex dan Sera?" Darren penasaran karena putranya itu tidak kunjung bergabung.
"Tidak perlu menunggu mereka," jawab Amber.
"Sepertinya, mereka berkencan," sahut Ana cuek lalu melirik Sarah. Dia masih penasaran dengan tingkah sahabatnya di dekat pantai tadi.
"Jadi, mereka sudah resmi berkencan?" Darren menatap istrinya tidak percaya.
"Mereka tidak hanya berkencan, Honey. Tapi, Alex sudah melamarnya dan Sera menjawab iya." Senyum lebar Amber menghiasi wajahnya. Mama Alex itu tampak ikut berbahagia untuk putranya.
"Benarkah???" Ana mendelik sempurna. "Jadi, Alex benar-benar akan menikahi Sera?"
"Tentu saja! Apa kamu kira perasaan saudaramu hanya main-main? Alex sudah menyukai Sera sejak lama. Dia sudah sangat bersabar menunggu Sera cukup umur untuk dia lamar."
"Wah, aku sama sekali tidak menyangka! Aku kira Alex hanya sebatas menyukainya saja. Jadi, Sera akan menjadi saudara iparku. Om Edwin dan Tante Elena akan menjadi mertua Alex?" Ana sangat bahagia hingga dia lupa tentang kejadian di pinggir pantai tadi.
Amber mengangguk. "Mama sudah tidak sabar untuk menghubungi WO. Hari-hariku akan melelahkan beberapa Minggu ke depan." Dia berkata dengan dengan mata berbinar cerah.
Kedua sudut bibir Darren tertarik ke atas. Mata hitam sekelam malam itu kini tampak menyimpan emosi. Ini adalah sesuatu yang langka.
Sarah bisa membayangkan betapa bahagia keluarga Ana menyambut Sera. Sedari tadi, dia hanya menunduk dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hatinya semakin hancur. Luka yang masih basah itu seakan disiram cuka. Perih. Matanya kembali memanas, tapi Dia berjuang sekuat tenaga mencegah air matanya kembali menetes.
"Sarah, bagaimana jika kamu menjadi Bridesmaids juga? Kita bisa memilih baju kita sendiri. Benar 'kan, Ma?"
Suara Ana mengagetkan Sarah hingga saudari kembar Sean itu tersedak.
"Ya ampun, maaf. Ini minumlah dulu!"
Sarah meraih gelas yang diberikan Ana dan meminumnya.
"Kamu tadi ngomong apa? Maaf, aku terlalu fokus makan," tanya Sarah setelah yakin batuknya hilang.
"Ini lho, Sarah. Alex dan Sera sudah resmi bertunangan. Tidak lama lagi, akan ada resepsi. Ana inginnya kamu jadi Bridesmaids menemani Ana. Bagaimana?" Amber menatap Sarah dalam-dalam. Tatapannya penuh dengan harapan. Sarah sontak meneguk ludahnya dengan kasar. Dia Kesulitan menolak permintaan mama Alex dan Ana ini.
"Tentu saja! Kita bisa bersenang-senang di sana. Siapa tahu kita bertemu jodoh di pesta itu." Sarah sengaja membuat lelucon. Tidak ingin siapa pun merasakan hatinya yang hancur.
"Benar apa kata Sarah. Kalian berdua ini sudah sangat cukup umur untuk menikah. Apa perlu jamuan dijodohkan dengan salah satu anak teman bisnis?"
"Jangan!!"
"Tidak!!"
Ana dan sarah menjawab bersamaan.
Suasana makan malam kali itu tampak hidup. Semua berkat kabar bahagia yang disampaikan Alex. Amber, Darren, dan Ana, mereka bersemangat menyiapkan hari baik untuk menyambut bergabungnya Sera ke dalam keluarga mereka.
"Honey, Kita harus memberi tahu Edwin dan Elena!" kata Amber setelah menghabiskan isi piringnya dan mengelap mulutnya.
"Tidak usah terburu-buru, Ma, Pa." Alex dan Sera tiba-tiba saja sudah berjalan mendekati meja makan.
"Ciyee, yang barusan resmi." Ana bertepuk tangan dengan heboh.
Amber dan Darren juga menatap keduanya dengan mata bahagia. Senyum lebar menghiasi wajah semua orang.
Sarah yang masih berpura-pura bahagia, juga tidak luput ikut bertepuk tangan dan mengucapkan selamat kepada Sera. Dia mati-matian menjaga senyumnya tidak hilang.
Wajah Sera memerah. Refleks, dia menggenggam tangan Alex karena malu.
"Tidak apa-apa. Ana akan menjadi saudaramu juga."
Alex menatap Sera penuh kelembutan. Mata kuning keemasan bagai madu yang biasa hanya datar dan acuh, kini menjadi lembut karena Sera di sampingnya.
Sarah merasakan dadanya menjadi sesak. Rasa hati, ingin dia pergi dari ruangan ini. Sarah sudah tidak sanggup lagi. Tapi itu tidak mungkin. Mereka pasti menganggapnya aneh. Sarah tidak menginginkan itu. Jadi, yang bisa dia lakukan adalah tersenyum, sementara hatinya menangis darah.