Bab 2 – Bad Boy for Bad Luncheon

2481 Words
Menjelang pagi, Bella terjaga dari tidurnya karena merasa perutnya sangat sakit. Buru – buru ia berjalan ke kamar mandi walau kepalanya terasa berputar. Setelah menyelesaikan hajatnya, Bella keluar dari dalam kamar mandi dan kembali berbaring di ranjang. Ia menangis karena kepalanya masih saja berputar. Tangisannya berhasil membangunkan Venita dari tidur nyenyaknya. Sebenarnya, Venita maasih sangat mengantuk, tetapi ia tahu saat ini Bella sangat membutuhkannya. Diambilnya minyak kayu putih dari dalam tasnya kemudian ia balurkan minyak putih itu ke punggung dan perut Bella. “Makanya jangan bandel dong. Mentang – mentang gratis, wine segentong lu abisin.” Bella memukul Venita dengan tangannya yang tentunya tidak berhasil karena ia asal saja menggerakkan tangannya. Venita tertawa kecil melihat temannya dalam keadaan hangover seperti itu kemudian ia segera memasak air panas di teko listrik yang disediakan di pantry kamar hotel mereka untuk menyeduh teh. Setelah teh berhasil dihidangkan, ia memberikan cangkir teh pada Bella. “Minum dulu, Bel. Siapa tau bisa ngurangin pengar lo.” Bella menguatkan diri untuk bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk bersandar pada sandaran ranjang, lalu ia pun meminum secangkir teh hangat yang benar – benar menyegarkan tubuh dan pikirannya. “Makasih ya, Ven.” “Sama – sama, Sayangku. Bentar lagi pagi nih. Lo mau sarapan dulu gak? Kita sarapan di kamar aja.” Bella menganggukkan kepalanya dan Venita pun tersenyum. Venita menyalakan televisi untuk menonton film selama menunggu jam sarapan hotel dimulai. “Bel.” “Hmm?” “Are you ok?” “Better.” “Bukan mabok lu. Hati lo.” “Oh. Baik – baik aja, Ven. Gue udah bisa terima kok kalau adik gue emang lebih segala – galanya daripada gue.” “Lo cantik, Bel.” “Adik gue lebih cantik.” “Lo pinter.” “Adik gue lebih pinter.” “Lo.. baik.” “Adik gue lebih baik di mata keluarga gue.” “Lo punya calon suami yang lebih ganteng daripada suami adik lo.” Bella tampak menyeringai memandangi Venita. Ia pun menganggukkan kepalanya. Ucapan Venita yang terakhir itu tak dapat dibantah olehnya. Gavin memang lebih tampan daripada Wisnu. Setidaknya itu menurutnya. Selama orang – orang tidak mengetahui betapa kaya rayanya Wisnu, Gavin akan terlihat sangat mewah. “Nah, gitu dong. Senyum. Lo cantik banget kalau lagi senyum.” “Gombal!”, balas Bella yang membuat Venita cekikikan. Mereka pun mengobrol menghabiskan waktu sampai jam sarapan dimulai tanpa sedikit pun menaruh perhatian pada film yang sedang ditayangkan oleh televisi di kamar hotel mereka. Saat jam sarapan dimulai, Venita meminta layanan kamar untuk dibawakan sarapan ke kamar hotel mereka. Bella pun menyantap sarapan paginya dengan lahap sampai membuat Venita terheran – heran melihat Bella. “Bel, kayaknya lo bukan hangover deh. Lo laper!” Bella hanya terkekeh saja. Ia tidak tahu pasti apakah ia mabuk atau lapar, ia hanya tahu bahwa saat ini ia bahagia setelah menerima kenyataan bahwa ia kalah telak dibandingkan adiknya. Bella sadar bahwa menerima kenyataan memang berat, tetapi akan lebih berat lagi jika dirinya berpura – pura bahwa pertarungan belum usai karena orang yang tidak menerima kenyataan pada akhirnya ia bersaing dengan hati nuraninya sendiri yang mengakui bahwa ia telah kalah.   ***   Setelah menghabiskan sarapannya, Bella memutuskan untuk kembali tidur. Ia tidak jadi berenang seperti yang telah ia dan Venita janjikan di hari – hari sebelumnya bahwa mereka akan berenang di kolam renang hotel sebelum pulang dari hotel. Namun, Venita yang memiliki kualitas tidur lebih baik daripada Bella tadi malam, hanya tertidur sebentar. Ia terjaga di saat Bella masih tertidur lelap. Ia tidak mau membangunkan Bella karena ia tahu betapa tersiksanya temannya itu yang muntah dan buang-air-besar semalaman hingga tak bisa tertidur. Setelah mandi pagi dan berpakaian rapi, Venita memutuskan untuk membaca novel di balkon kamar hotelnya sambil menunggu Bella terjaga dari tidurnya. Namun, baru saja ia membuka pintu balkon, seseorang mengetuk pintu dan memanggil nama Bella. Dari suaranya, Venita dapat menebak pemilik suara itu dengan tepat. “Bella.” “Ya, sebentar.”, balas Venita yang bergegas menuju pintu unit kamar hotelnya. “Pagi, Tante.” “Pagi, Ven. Bella mana?” “Bella masih tidur, Tante.” “Apa?!” Meira segera masuk ke dalam kamar hotel itu dan mendapati Bella yang masih berada di dalam selimut seraya memeluk boneka panda kesayangannya. “Bella! Bangun!” Bukannya bangun, Bella malah semakin erat memeluk paman pandanya. Meira pun menarik selimut yang dipakai oleh Bella secara paksa dan merebut boneka panda Bella yang lucu. “Mama, Bella ngantuk.”, keluh Bella seraya sedikit membuka kedua kelopak matanya dengan enggan. “Bangun, Bella! Ini sudah jam sepuluh! Sebentar lagi kita check out. Kita juga ada janji makan siang sama keluarganya Wisnu sebelum Gisel dan Wisnu berangkat ke bandara.” Bella menghela napasnya. Mungkin hanya dalam khayalannya saja ia bisa pergi berbulan madu ke benua yang dipenuhi negara – negara terkenal di dunia seperti bulan madu yang akan dijalani oleh Gisel dan Wisnu. “Mandi!” “Tante, maaf, Bella gak tidur semalaman makanya Bella masih ngantuk.”, ujar Venita yang berusaha menyelamatkan Bella dari amukan sang ibu. “Kenapa gak tidur? Kalian pergi dugem?”, tanya Meira seraya berkacak pinggang. “Enggak, Tante. Kita cuma ikut after party nikahannya Gisel.” “Lah, terus?” “Bella kebanyakan minum wine, jadi tadi malam dia hangover.” “Bella.. Bella!! Gimana kamu mau dapat jodoh kalau begini?!”, sindir Meira seraya geleng – geleng kepala dan memandangi Bella yang rambutnya acak adul. “Apa hubungannya sama jodoh?!”, ujar Bella seraya merengut memandangi ibunya. “Ya mana ada cowok yang mau sama kamu! Patah hati gara – gara dilangkahin adiknya menikah duluan. Makanya, kamu contoh dong adik kamu, jadinya karir kamu bagus dan dapat pasangan yang oke. Gak kayak kamu, gak berhasil di karir, gak berhasil pula di percintaan.” Bella dan Venita sama – sama tercengang dengan apa yang diucapkan Meira. Bella tidak menyangka ibunya akan tega berbicara seperti itu di depan Venita. Venita pun tidak menyangka Meira akan berbicara seperti itu. Gadis itu bersyukur karena tidak ada orang lain di tempat itu yang mendengarkan pembicaraan Bella versus Meira, kecuali dirinya. Ia tidak yakin jika ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan itu, orang tersebut tidak akan menyebarkan berita perihal keretakan hubungan Bella dengan keluarganya karena sahabatnya itu dinilai gagal pada karirnya dan percintaannya. “Bangun! Mandi! Jangan sampai keluarga Wisnu tau Gisel punya kakak pemalas dan urakan kayak kamu!” Bella mendesah pelan dan bangkit dari ranjangnya untuk bergegas menuju kamar mandi. “Oh ya, Bel, kamu udah packing, kan?”, tanya Meira setelah meletakkan kembali boneka panda Bella di atas ranjang. Bella pun ternganga di bawah pancuran air hangat shower kamar mandi. Ia lupa bahwa ia harus merapikan seluruh barang – barangnya karena sebentar lagi mereka harus check out dari hotel apabila tidak mau menanggung biaya menginap semalam lagi jika ia berada di dalam kamar itu sampai batas waktu menginap tiba. “Veni udah rapikan barang – barangnya Bella kok, Tante.”, ujar Venita yang lagi – lagi menjadi penyelamat hidup Bella. “Ya ampun, Veni. Kamu gak perlu repot – repot begitu. Kalau Bella gak bisa atau memang malas merapikan barang – barangnya kan kamu tinggal bilang ke Tante.” “Tinggal masukin barang ke dalam tas apa repotnya sih, Tante? Santai aja. Itung – itung sebagai ucapan terima kasih Veni. Berkat Bella, Veni jadi punya pengalaman nginep di hotel bintang lima di tengah kota Jakarta.” “Gak usah berlebihan gitu, Ven. Ini semua berkat Gisel dan Wisnu kok. Bukan Bella yang bayar.” Di bawah pancuran air hangat shower kamar mandi hotel, lagi – lagi Bella memanyunkan bibirnya. Mengapa ia tidak ada bagus – bagusnya di mata keluarganya. Setelah Meira keluar dari dalam unit kamar hotel itu, Venita segera menggedor pintu kamar mandi. “Bel, lo belum packing, ya?” “Ya belumlah.” “Aduh, Bellaaa!!!” Venita pun segera mengambil barang – barang Bella yang berserakan di atas meja tulis, meja pantry, nakas dan sofa yang berada di kamar hotel tersebut kemudian ia memasukkan seuruh barang yang diambilnya ke dalam koper Bella. Setelah Bella menyelesaikan ritual mandi paginya dengan secepat kilat dan keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk, ia mendapati Venita sibuk memasukkan barang – barang ke dalam kopernya. Ia yakin pasti Venita bingung harus memasukkan benda ini ke mana dan benda itu ke mana. “Ven.” “Ya?”, tanya Venita tanpa menoleh pada Bella. Ia masih sibuk merapikan koper Bella. “Thanks, ya.” “Iya, sama – sama.” “Bukan cuma untuk koper.” Venita pun menghentikan kegiatannya dan menoleh pada Bella yang hanya terbalut handuk dari dada sampai ke pertengahan paha. “Thanks buat semuanya. Dari jaman kuliah kan lo yang paling baik sama gue. Nyelamatin gue pas gue bingung sama gedung dan ruang kelas kita. Nyelamatin gue dari tugas – tugas kuliah. Dan lo gak penah ninggalin gue kalau lagi ada tugas kelompok.” “Ya elah, Bel. Ini bukan saatnya curhat. Keluarga lo udah nungguin lo di lobby.” Bella menghela napasnya setelah mendapati Venita yang tidak peka pada ucapannya. “Peluk dulu bisa kali, Ven.” Venita tersenyum dan bangkit dari posisi berjongkoknya kemudian ia merentangkan kedua tangannya. Bella ikut tersenyum dan segera menghampiri Venita. Mereka pun saling berpelukan. “Udah ya, jangan sedih terus. Lo jelek kalau nangis. Nanti kalau Gavin gak mau sama lo, gimana?”, tanya Venita seraya menepuk – nepuk punggung Bella. “Kan ada lo.” “Iya juga sih.” Mereka pun terkekeh dan saling mengeratkan pelukannya.   ***   “Bella, kok pakai gaun hitam sih, Nak?”, tanya Meira saat melihat Bella menghampiri keluarga besar mereka setelah anak gadisnya itu check out. “Gaun ini kan bagus. Seksi.”, balas Bella seraya berputar di hadapan Meira dan memegangi ujung gaunnya agar terlihat mengembang. “Terlalu pendek. Gak pantes kamu pakai rok sependek itu! Kamu udah tua!” “Biasanya Gisel pakai rok yang lebih pendek lho, Ma.” “Ya bedalah. Gisel masih muda. Lah kamu udah bangkotan!” “Ish!” Meira kembali duduk di samping suaminya. Sementara itu, Venita tertawa cekikikan melihat Bella yang masih saja tidak akur dengan ibunya. Bella dan Venita pun memilih duduk di sofa lobby yang jaraknya cukup jauh dari sofa yang ditempati orang tua Bella. “Kenapa sih lo? Seneng banget lihat gue diomelin nyokap!” “Bukan begitu, Bel. Heran aja sih keluarga lo bisa sesayang itu sama adik lo.” “Makanya! Gue udah muak! Gue mau keluar aja dari rumah.” “Tinggal di kosan sama gue aja, yuk.” “Gue gak sanggup, Ven. Gaji gue minimalis banget. Gue kan masih staff biasa. Mana sanggup gue ngekos di kost eksekutif kayak yang lo tempatin itu. Harga kosan lo sebulan aja udah setengah gaji gue.” “Ya kan kita tinggalnya berdua, Bel. Lebih hemat biaya.” “Enggak deh, Ven. Kalau gue satu kosan sama lo, yang ada juga lo bakal rugi bandar. Pasti nanti lo yang beli kebutuhan ini itu. Lagipula, orang tua gue gak ngizinin anak – anaknya untuk ngekos. Mereka curiga gue bakal jadi anak nakal kalau gak tinggal sama mereka.” “Nakal apaan sih? Pacaran aja gak pernah!” “Ya tetap aja mereka khawatir gue akan masukin cowok ke dalam kamar atau khawatir gue dijahatin orang.” “Itu artinya orang tua lo sayang sama lo, Bel. Mereka gak mau lo kenapa – kenapa.” “Iya, gue ngerti kok. Mungkin emang guenya aja yang terlalu perasa dan iri hati sama adik gue.” “Tapi kan lo punya Gavin.” “Ya, doain aja deh Ven.” Tiba – tiba terdengar suara riuh rendah menyambut kedatangan sang pengantin baru di lobby hotel. Terlihat Gisel yang wajahnya memancarkan rona merah sedang berjalan bergandengan tangan dengan Wisnu. “Ciye, pengantin baru.”, celetuk Andika, adik Wisnu. “Gimana tadi malem? Seru gak?”, ujar Revano, adik sepupu Wisnu. “Seru dong!”, jawab Wisnu yang membuat semua orang kembali bersorak – sorai, kecuali Bella dan Venita yang saling berpadangan dan menghela napas. Kedua gadis itu sudah muak dengan candaan itu. Sekali lagi Bella memeluk Venita dengan erat sebelum bergabung dengan keluarganya untuk pergi ke restoran milik ibunya Wisnu yang berada di daerah Senopati sebelum sang pengantin baru pergi ke bandara untuk naik pesawat yang akan membawa mereka ke benua Eropa. Entah bagaimana Bella membalas kebaikan Venita. Karena sahabatnya itulah, ia kuat menghadapi pernikahan adiknya yang digelar dengan sangat mewah itu. “Thanks ya, Ven.” “Sama – sama, Belski. Have fun, ya.” Bella tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Venita pun segera menaiki taksi yang akan membawanya pulang ke rumah kostnya. Sedangkan, Bella kembali mencoba mengatur napasnya dengan sangat baik sebelum menghadapi makan siang bersama orang tua dan keluarga baru adiknya.   ***   Sepanjang acara makan siang mewah itu, Bella menyantap makanannya dengan malas – malasan. Ia tidak peduli dengan perbincangan ringan yang sepertinya penuh canda itu karena sering kali terdengar suara tawa mereka. “Oh ya, Bella udah punya pacar?”, tanya Lilis, ibu mertua Gisella. Namun, Bella tidak menyadari pertanyaan itu. Ia terus menusuk – nusuk tenderloin steak miliknya dengan garpu seraya memandangi layar ponselnya. Meira pun tersenyum kecut lalu menyenggol tangan putri sulungnya itu agar gadis itu tersadar dari lamunannya. “Eh, kenapa?”, tanya Bella gelagapan. “Bella udah punya pacar?”, tanya Lilis lagi. “Belum, Tante.” “Keponakan Tante juga belum punya pacar lho.”, balas Lilis seraya menunjukkan senyum manisnya pada Bella lalu ia mengalihkan pandangannya pada sang keponakan yang duduk tepat di sampingnya. “Ya kan, Rev?”, ujar Lilis seraya tersenyum dan mengedipkan matanya pada si keponakan. “Revano ini baru pulang ke Indonesia beberapa bulan lalu lho. Kemarin dia kerja di Amerika.” “Oh, begitu.”, balas Bella seraya tersenyum mencoba bersikap ramah pada Lilis dan keluarganya walau sebenarnya ia tidak peduli sama sekali dengan pria itu. Revano berdecih memandangi Bella. Pria itu tidak suka pada sikap tantenya yang bisa – bisanya menganggap gadis jelek itu pantas mendampinginya. Sementara itu, di tempatnya, Bella mendengus kesal memandangi Revano. ‘Sok banget itu cowok! Dia pikir gue sudi apa jadi pacar dia? Amit – amit!’, ujar Bella membatin seraya memotong steak-nya dengan ganas. ‘Wah, keponakannya mbak Lilis oke punya tuh, tapi masa iya dia mau sama si Bella?’, ujar Meira membatin seraya memandangi Bella dan Revano secara bergantian. ‘Ajaib banget deh kalau Bella bisa nikah sama si Revano itu.’, ujar Rama, ayah Bella, dalam hatinya seraya berpura – pura fokus pada makan siangnya. Diam – diam, Gisella, Wisnu dan Andika, serta beberapa orang keluarga mereka yang sedang ikut dalam perjamuan makan siang itu terkekeh seraya memandangi Bella dan Revano.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD