Tujuh

1500 Words
“Perdebatan adalah hal biasa sebelum pernikahan. Akan tetapi, kamu harus tahu, semua itu tidak akan menghentikanku untuk menjadikanmu milikku.” _ Ana Khairunnisa_ Hari ini, aku dan Fuad memutuskan untuk bertemu di salah satu kafe. Kami sedang berdiskusi mengenai rencana pernikahan kami. Dia terlihat tidak antusias seperti dulu, sebelum aku mengetahui fakta kalau sebenarnya dia sudah memiliki istri dan anak. Aku tak ingin membuat masalah, jadi, aku tak begitu membahas perihal sikapnya atau terlihat mengeluh di depannya. Aku ingin dia merasa aman dan nyaman saat berada di sampingku, tak perlu dibebani masalah atau keluh-kesah. Sebaliknya, aku ingin dia mencurahkan semua isi hatinya padaku, menjadikanku satu-satunya teman bicara, sama seperti dulu, saat hubungan kami laksana pasangan baru yang tak akan terpisah meskipun dunia ini terbelah atau kiamat sekali pun. Menggenggam tangan satu sama lain, tak perlu memikirkan banyak hal, terutama soal orang lain dalam hubungan kami. Oh tidak, aku bukan orang ketiga. Sebab, sejak awal, di kisahku, hanya ada aku dan Fuad. Inayah dan anaknya hanyalah variable tidak terduga dalam hubungan ini. Itu saja. Sebagai seorang perempuan yang hidup sebatang kara di dunia yang kejam ini, aku tak memiliki sanak saudara ataupun kerabat, aku bebas dengan hidupku. Pernikahanku dan Fuad, akan dihadiri oleh beberapa orang terdekat kami saja. Pernikahan itu hanya akan dilaksanakan secara agama alias siri. Namun, kami masih harus melengkapi beberapa persyaratan untuk hal itu. Walau pernikahan ini berlangsung secara agama, saat aku datang ke KUA untuk meminta bantuan wali hakim untuk menikahkan kami, ada banyak pertanyaan diajukan. Salah satunya, perihal keluargaku selaku calon mempelai perempuan. KTP dan KK-ku dicek. Setelahnya, aku juga ditanya menjadi istri keberapa. Aku mengatakan sebagai istri pertama. Aku tak berbohong. Sebab, KTP Fuad menunjukkan kekasihku itu masih berstatus lajang, belum kawin. Saat aku tanya mengapa bisa begitu. Dia bilang, KTP lamanya memang sengaja tak diberikan saat mengganti KTP dulu, dengan alasan hilang. Aku juga tertipu karena dia melakukan pergantian KTP seumur hidup sebelum menikah sehingga KTP lamanya juga berlaku seumur hidup. Meskipun nomer NIK-nya sama, aku yang tak menyelidikinya lebih lanjut tentang dirinya, bisa tertipu mentah-mentah. Karena pernikahan init ak dicatat secara hokum, tak ada detail pertanyaan lanjutan, hanya hal-hal yang menjadi persyaratan umum pernikahan, seperti mahar, wali nikah dan keluarga mempelai. Pernikahan ini dilarang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya, aku dan Fuad, pada akhirnya memutuskan untuk mengundang beberapa teman dekat kami, anggap saja pengganti resepsi. Aku tak butuh pesta, status nikah sudah cukup untukku. Meskipun harus siri. Cepat atau lambat, aku akan menjadi istri sah Fuad. Bagaimanapun caranya. Yang jelas, tujuan utamaku sekarang adalah mengambil apa yang tak bisa aku berikan ; anak. Di darahnya mengalir darah istri pertama Fuad pun tak masalah, asalkan di sana juga ada darah calon suamiku, Fuad, aku bersedia merawat dan membesarkannya seperti anak sendiri. Pasti. Ini bukan sekadar basa-basi atau janji manis belaka. Aku bisa menjamin hal itu. “Soal mahar, kalung 5 gram sudah cukup kan?” Fuad memecah keheningan di antara kami. Aku mengangguk kecil, “Cukup, kok.” Untuk saat ini, lanjutku dalam hati.Senyumanku terbit, menegaskan padanya kalau aku tak keberatan dengan mahar kecil begitu. "Aku akan memberikan uang sebesar sepuluh juta padamu, untuk mempersiapkan gaun pernikahan, dekorasi kecil-kecilan, catering dan lainnya. Bisa dicukup-cukup kan? Dana kita sedikit. Aku juga tidak bisa mengeluarkan banyak uang, tak mau istriku curiga." Fuad berkata dengan sengaja memelankan nada di beberapa kata terakhir. Aku hanya mengangguk kecil, "Iya, jangan khawatir," kataku mencoba untuk menenangkannya dan berhenti khawatir soal biaya nikah kami. Aku juga tak akan tinggal diam. Aku juga akan menyumbang. Biaya pernikahan kami harus ditanggung berdua, jangan dia sendiri.  Sebagai calon istri yang baik, aku ingin ikut berpartisipasi, setidaknya mengambil bagian meskipun kecil daripada tidak sama sekali. Sejujurnya itu adalah jumlah uang yang sedikit, tapi aku tak bisa mengeluhkannya. Kami memang hanya akan menikah secara kecil-kecilan saja, sehingga bagaimanapun caranya aku harus bisa untuk menekan pengeluaran dan memprioriskan hal-hal yang penting saja. Saat ini, aku tak harus memikirkan ego atau tanggapan orang lain terhadap pernikahan pertamaku. Yang penting sah secara agama dan aku bisa leluasa memanggil Fuad dengan sebutan "suami". Aku ingin menjadi istri, bukan pacar atau tunangan semata. Aku sudah lelah menyandang status itu selama dua tahun. Harus ada perkembangan yang besar di dalam hubungan kami. Pada awalnya, aku berharap dapat menikah dengan orang yang aku cintai, seorang lelaki lajang, mapan dan sanggup membuatku menjadi princess saat resepsi pernikahan kami nanti. Sayangnya, impian itu sudah kandas. Fuad memang mapan, tapi dia sudah menikah dengan orang lain lebih dulu dibanding denganku sehingga aku harus merelakan impian masa kecil itu. Kini, aku hanya perlu bersabar sebelum kebahagian sejati benar-benar aku raih dalam hidup ini. Aku memilih Fuad dan membuang impianku. “Oh ya, An, kamu tahu kan, kamu adalah istri kedua. Jadi, aku berharap, kamu tak gegabah dengan menyebarkan pernikahan kita ke orang-orang. Aku hanya berharap kamu mengundnag orang terdekat dan bisa kamu percaya. Bagaimanapun caranya, tolong yakinkan mereka untuk tidak menyebarkan perihal pernikahan kita ya? Bisa kan?” Fuad terlihat mengiba. “Akan aku usahakan.” Aku tak bisa berjanji. Namun, mengusahakannya, mungkin bisa. Selama aku bisa di sisi Fuad, aku tidak keberatan menjadi istri kedua. “Oh ya, Yang. Aku hanya ingin memastikan, bisa kamu jawab pertanyaanku?” tanyaku dengan sedikit ragu. Rasanya, ingin akan sedikit membuatnya emosi. “Ya, kenapa?” tanyanya waspada. “Apa saat kamu menikah dengan Inayah, dia sudah hamil duluan sehingga kamu terpaksa menikah dengannya?” Ini bukan merajuk atau menjudge, aku hanya penasaran saja. Bagaimanapun, aku perlu mengkonfirmasi apakah dia benar-benar pernah mencintai Inayah atau tidak. Aku bukannya cemburu, hanya memastikan kalau semua yang diucapkannya padaku dulu, semuanya benar, termasuk, perkataan kalau dia sudah tak lagi mencintai istrinya. Aku tak mau dikalahkan oleh perempuan kampungan seperti dia. Itu akan meruntuhkan dinding harga diriku sebagai perempuan kota yang mandiri dan menawan luar-dalam. Aku tak sudi dikalahkan. Never “Tidak. Aku menikahinya karena kami ditunangkan orang tua. Saat kami pacaran, aku hanya bermain-main dengannya, tetapi orang tuaku sangat menyukainya. Jadi, aku terpaksa bersamanya.” Fuad menjelaskan. “Jadi, kamu sama sekali tak pernah mencintainya, ya kan?” Aku menyimpulkan. Fuad terlihat bimbang, “Apa itu penting untuk dibahas sekarang?” Nada suaranya terdengar sebal. Aku ingin mundur, seperti yang biasa aku lakukan. Namun, untuk kali ini, aku ingin jawaban pasti. Bukan keras kepala, hanya ingin lebih memotivasi diri saja. “An, tak penting apakah aku mencintainya atau tidak. Bagiku, kamu adalah yang nomer satu dan utama. Aku lebih memilih untuk menikah denganmu, disbanding menjaga kesetiaanku padanya. Bukankah itu bukti kalau aku sangat mencintaimu? Kamu tidak puas hanya dengan hal itu saja?” Fuad emosi. “Aku tak bermaksud begitu ya? Tolong kecilkan volume suaramu. Aku tak mau orang-orang mendengar perkataanmu, malu.” Untuk pertama kalinya, selama kami berhubungan, aku menegurnya. Fuad mendesah kasar, kesal kuadrat, tapi hatiku masih terus menagih sebuah jawaban. Aku tak bisa puas hanya dengan mendapatkan jawaban ambigu dan tidak bertanggung jawab begitu. Dia harus tegas, sebab selanjutnya, dia akan menjadi pemimpin bagi dua perempuan. Aku tidak bisa jika dia terus-menerus plin-plan. Sebab, suatu saat nanti, mungkin dia akan berubah pikiran. Aku tak mau hal buruk itu sampai terjadi. Amit-amit, dah! Ogah! “Bagiku itu penting, Yang!” Aku bersikukus. Sengaja aku menekankan setiap kata, meskipun dengan suara pelan, tak berani berteriak atau meninggikan suara. Hal itu hanya akan merugikan diriku sendiri. “Terserah!” Fuad berdiri dari duduknya. Lantas pergi sembari meninggalkanku meskipun berulang kali aku menyebut namanya. Dia mengabaikanku dengan sengaja. Jadi, aku mengejarnya, berusaha meraih tangannya untuk menahan dirinya agar tetap di sana. Namun, lelaki itu tak bisa teraih. Dia keburu masuk ke dalam mobilnya meskipun aku sudah berusaha untuk mengejarnya. Tanganku terkepal kuat. Seumur hidupku, aku pernah dicampakan, dua kali. Namun, tidak ada untuk yang ketiga kali. Setan-setan mungkin akan menertawakanku jika hal itu sampai terjadi. Tidak boleh! Bagaimanapun caranya, Fuad harus menjawabku, bukan malah marah dan pergi. Itu sebuah sikap dari seorang pecundang dan aku tak mau dia bersikap payah begitu. Aku meraih ponselku, menelponnya. Dia mengangkatnya, mengatakan, kalau dia berada tak jauh dari sana. Aku buru-buru menyusul ke tempat dia berada, lantas masuk ke dalam mobilnya. “Sorry,” ucapku saat mata kami beradu. “Aku hanya ingin tahu, bukan cemburu atau memaksamu hanya mencintaiku.” Penjelasan yang cukup masuk akal menurutku. Fuad tak menjawab, hanya mengangguk pelan, “Aku mencintaimu, hanya kamu. Dulu, aku pernah mencintai Inayah, sekarang tidak lagi. Hanya kamu di hatiku.” Ia memberikan jawaban memuaskan, meskipun sempat marah dan meninggalkanku sendiri. Akan tetapi, jawaban itu membuatku melupakan apa yang baru saja terjadi. Aku maju, memberinya kecupan. Akan tetapi, dia menarik leherku dengan tangannya, secara lembut dan penuh hasrat. Kami berciuman cukup panas. Setelahnya, seperti biasa, kami menuju hotel terdekat, meredakan emosi di d**a dengan membakar tubuh ini dalam bara cinta dan cumbu mesra. Ah, aku sangat menikmati bercintaa degan suami orang. Maafkan aku, Inayah. Karena aku, tak menyesal sama sekali melakukan ini padamu. Bagaimanapun, kamu hanya istri pajangan, bukan istri pujaan. Sebab, akulah yang nomer satu di hati Fuad. Hanya aku. Ana Khairunnisa. Ingat itu. Haha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD