“Ada pasien gawat?” Haris, dokter jaga UGD sekaligus teman dekat Luna sejak kuliah itu mendekat. Ia baru saja tiba untuk menggantikan shift Luna.
“Tadi ada, tapi udah dipindah ke ruangan.” Luna menoleh sekilas, kemudian meneruskan kegiatannya. Mencatat kondisi dan tindakan pasien di rekam medis.
Haris mengangguk kemudian duduk di sebelah Luna.
“Oh ya, Ummi titip salam buat kamu,” ucap Luna sembari merapikan rekam medis dan barang-barang bawaannya.
“Ummi Nur telepon?”
Luna mengangguk.
“Kenapa? Nyuruh pulang lagi?” tebak Haris.
“Tepat sekali.” Luna menjentikkan jarinya.
“Terus kamu jawab apa?”
“Apa? Ya sibuk, nggak bisa pulang.” Gadis berkerudung cokelat muda itu mengedikkan bahu, tak peduli.
Haris mendesah pelan. “Kenapa nggak dituruti aja, sih, Lun? Abi sama Ummi pasti kangen banget sama kamu.”
“Terus kerjaanku di sini gimana?”
“Kamu ‘kan bisa ngajuin cuti beberapa hari. Dari awal kerja kamu sama sekali nggak pernah ngambil libur kecuali libur jaga.”
Luna memutar bola matanya, malas diceramahi lagi. “Kamu aja sana yang pulang ketemu Abi sama Ummi.”
“Loh? Kok aku?”
“Ya lagian!” Luna mendengus sebal.
Hening sejenak. Hanya ada suara hiruk pikuk petugas UGD, pasien, dan keluarga pasien yang diselingi bunyi mesin dari alat kesehatan yang digunakan.
“Sebenernya, tadi Abi Jamal juga telepon aku.” Haris kembali bersuara. Dan sukses membuat Luna menoleh.
“Nyuruh aku pulang juga?”
Haris mengangguk.
“Terus kamu jawab apa?”
“Ya nanti Haris bilangin ke Luna, Bi. Gitu doang. Gimana lagi?”
“Bagus. Males banget pulang. Nanti nggak boleh begini, nggak boleh begitu. Harus ini, harus itu. Belum lagi dibanding-bandingin sama Mbak Nia. Hadeeeh, capek banget.” Luna menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, kemudian mendengus kasar.
“Abi Jamal masih begitu?”
“Mana pernah Abi nggak begitu?” Luna mendelik. “Gini nih nasib anak terakhir yang punya kakak-kakak super nurut. Maunya aku juga kayak mereka. Manut, nurut, nggak membantah sama sekali. Aku ‘kan juga punya kepala buat mikir, punya hati buat ngerasain.”
Haris tersenyum tipis. Menurutnya, Luna selalu terlihat lucu saat mengomel. Meski saat ini sebagian dari wajah cantik itu tertutup oleh masker medis.
***
Luna baru saja menyelesaikan catatannya di rekam medis, kemudian beranjak hendak menghampiri pasien yang tadi ia periksa.
“Dok, pasien baru!” Seorang satpam menghampiri Luna.
Luna melotot, kemudian segera melirik seorang wanita lewat paruh baya yang sedang menggendong balita.
“Oh, tidurkan di sini, Bu,” Luna segera menunjuk sebuah bed yang kosong.
Wanita itu tergopoh-gopoh menghampiri bed yang dimaksud Luna, menggendong balita yang tampak lebih besar dari tubuh ringkihnya.
“Sebentar, ya, Bu.”
Luna kembali ke tujuan awalnya, mendatangi bed lain yang pasiennya sedang ditangani oleh seorang perawat.
“Mas, ini tinggal rawat luka aja ‘kan? Saya tinggal meriksa pasien lain, ya?” ucapnya.
“Siap, Dok!” Perawat itu mengangguk tanpa menoleh. Kedua tangannya sedang sibuk membersihkan luka tergores aspal jalanan yang masih basah.
Luna kembali pada balita bongsor tadi.
“Jadi, kenapa anaknya, Bu?” tanya Luna ramah. Kini, balita itu sudah direbahkan di atas bed. Wajahnya merah, bibirnya tampak kering.
“Eh, saya bukan ibunya, Dok. Saya neneknya,”
“Ibunya ke mana?” tanya Luna sembari mendekati balita itu. Menyentuh keningnya yang panas.
“Anu… ibunya udah lama pergi.”
“Meninggal?” balas Luna sembari mendekatkan termometer inframerah ke kening si balita.
“Bukan. Gimana bilangnya, ya….” Wanita itu menatap cucunya gelisah. “Ibunya pergi, Dok. Nggak pulang-pulang. Sampai sekarang nenek juga nggak tahu dia di mana.”
“Eh?” Tentu saja Luna terkejut. Tapi ia segera memperbaiki raut wajahnya. Ini bukan ranahnya untuk mencari tahu. “Wah, ini panas banget, Bu,” lanjutnya. Ia menunjukkan layar termometer yang menyala merah.
“Iya, Dok. Sudah tiga hari ini panas. Sudah dibawa ke mantri dekat rumah nenek, tapi belum sembuh juga,” jelas nenek itu khawatir. “Kira-kira kenapa, ya, Dok?”
“Saya periksa dulu, ya, Nek. Nenek boleh nunggu di sini,” ucap Luna lembut, mencoba menenangkan.
Hampir satu jam berlalu, jam dinding di tengah ruangan UGD sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Para petugas kesehatan yang mendapat jadwal shift pagi sudah siap melanjutkan tugas menangani pasien.
“Sudah selesai, Lun?” Haris mendekati Luna yang masih menyelesaikan menulis rekam medis.
“Hampir. Bentar, ya.”
“Oke.”
Haris duduk di sebelah Luna. Semua pekerjaannya sudah selesai. Ia juga sudah mengalihkan tanggung jawab pasien-pasien yang ia tangani pada rekannya yang bertugas di shift pagi.
“Aku tinggal bentar, ya?” Luna sudah beranjak. Merapikan jasnya, lalu meluncur menghampiri pasien terakhir yang ia tangani.
“Bagaimana, Dok?” Wanita lewat paruh baya itu menyambut Luna.
“Nenek sama dek Abian di sini, ya. Hasil laboratnya belum keluar. Nanti kalau hasilnya sudah keluar, temen saya ngabarin. Saya mau pulang dulu, Nek. Dari semalam belum tidur,” jelas Luna sambil terkekeh pelan.
“Oh, iya iya. Tidur yang banyak, Dok. Duh, kasiannya masih muda udah kerja keras.” Nenek mengusap lengan Luna lembut. Tatapannya teduh, mirip seperti Ummi Nur.
“Eh? Bukannya kalau masih muda justru harus kerja keras, ya, Nek?”
“Iya, betul. Waktu muda dulu nenek juga kerja keras. Tiap hari ke sawah, kalau malam bikin kripik singkong buat dijual ke warung-warung. Sekarang sudah tua, sudah banyak capeknya.” Tatapan nenek itu menerawang, ada air yang menggenang di sana.
Hati Luna mencelos. Tiba-tiba, ia merindukan ibunya. Mungkin nenek di hadapannya ini seumuran dengan Ummi Nur.
Luna mendekat, mengusap punggung tangan nenek yang keriput.
“Kalau dek Abian sudah sembuh, nanti saya ajak makan enak. Jadi nenek harus semangat sampai dek Abian sembuh, ya?” ujar Luna dengan senyum terkembang.
“Waduh, kok jadi ngerepotin, Dok. Nggak usah. Nenek nggak usah dibeliin makan segala. Apa namanya? Ditraktir, ya? Nggak usah, nggak usah. Nanti bu dokter malu loh kalau bawa nenek yang kayak gini ke tempat makan mahal.”
“Eh? Kata siapa? Nenek suudzon ah! Nggak, saya nggak malu. Pokoknya saya udah janji, nenek harus bantu saya nepatin janji.”
Nenek Abian itu terdiam, kemudian tertawa pelan. “Bu dokter baik sekali. Semoga dapet jodoh yang baik juga.”
“Aamiin,” balas Luna mengaminkan.
“Betulan belum nikah, Dok? Belum ada tunangan juga?” mata nenek membulat, penasaran.
Luna menggeleng. “Saya pulang dulu, ya, Nek.”
“Iya, hati-hati.”
Luna berbalik meninggalkan sepasang nenek dan cucu itu.
“Kenapa nenek itu?” Jihan menyambut Luna yang hendak kembali ke meja. Ia bertugas shift pagi hari ini. Harusnya, Jihan dan Luna bertugas bersama. Tapi kemarin, tiba-tiba Luna menukar jadwalnya dengan dokter jaga lain.
“Cucunya demam udah 3 hari. Udah di-lab, tinggal tunggu hasil,” jawab Luna sembari merapikan barang-barangnya. “Gue pulang, ya? Ngantuk.”
“Nggak tidur semalaman?” Jihan ikut beranjak.
“Enggak. Haris bau banget! Masa nggak dikasi merem sama sekali,” keluh Luna.
“Kenapa namaku disebut-sebut?” tanya Haris yang sudah bergabung di sebelah Luna. Membawa barang bawaannya juga.
“Hahaha, Haris ‘kan emang bau dari jaman co-ass. Makanya nggak ada yang mau satu shift sama dia.”
“Nyesel gue satu shift sama si Haris.” Luna melirik Haris sinis.
“Enak sama gue ‘kan? Gue wangi, nggak mengundang pasien. Hahaha.” Jihan masih tergelak. Mereka sudah tiba di ujung ruang UGD, siap berpisah jalan.
“Ya udah, selamat bertugas, Ji. Gue pulang dulu.” Luna melambaikan tangan.
“Siap!” Jihan membalas dengan acungan jempol.
Detik berikutnya, tiga dokter itu berpisah. Jihan meneruskan langkahnya ke barisan bed pasien, sementara Luna dan Haris terus berjalan keluar gedung.
“Lun, mau sarapan dulu nggak?” tanya Haris ketika mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir.
“Boleh. Di mana?”
“Sarapan bubur ayam aja, mau?”
“Oke.”
***
Udara pagi terasa sangat segar menerpa pipi Luna. Beban di pundaknya pun terasa lebih ringan setelah keluar dari ruang UGD tadi. Kini, senyumnya bahkan tampak merekah lebar hanya karena pesanan bubur ayam dan SMJ-nya tiba.
“Terima kasih, Mas,” ucap Luna dan Haris bersamaan.
“Kamu tim bubur diaduk atau enggak?” tanya Luna membuka obrolan.
“Enggak,” jawab Haris yang langsung menyendokkan bubur ke mulutnya. Benar-benar tanpa diaduk.
“Wah, kita sama!” pekik Luna girang. Kemudian ikut menyendok buburnya sendiri.
“Apaan, sih?” Haris menunduk, pura-pura kesal dengan pekikan Luna. Padahal jantungnya berdegup kencang.
“Soalnya kalau Jihan sukanya diaduk. Aneh banget. ‘Kan jadi nggak estetik buburnya.” Luna berbicara dengan mulut penuh bubur ayam.
“Jangan bicara sambil makan, ditelen dulu.” Haris mengingatkan, senyum tipis terpatri di bibirnya saat melihat pipi Luna penuh oleh makanan.
“Eh, Ris…” Luna bicara lagi setelah mulutnya kosong.
“Hm?”
“Kayaknya aku jadi pulang, deh.”
“Hm? Tiba-tiba?”
“Nggak, nggak tiba-tiba. Katamu dari kemarin Abi nelponin mulu nyuruh aku pulang?”
“Iya, sih. Tapi ‘kan kemarin kamu masih belum mau?”
“Hehehe, iya.”
“Terus?”
“Apanya terus?” Luna balas bertanya.
“Kenapa tiba-tiba mau pulang?”
Luna yang hendak menyendok bubur jadi urung. “Semalam Mbak Nia telepon, katanya Ummi sakit. Tapi kayaknya nggak parah, sih. Terus tadi pagi ketemu nenek itu, jadi keinget Ummi di rumah. Sedih liat nenek itu sendirian ngerawat cucunya padahal udah tua. Mungkin Ummi Nur juga begitu sedihnya karena aku nggak pulang-pulang.”
“Alhamdulillah, akhirnya nyadar juga.”
Luna melotot. “Dasar!”
“Hahaha. Lagian kamu dua tahun banget loh nggak pulang sama sekali. Jelas kangen banget lah Ummi Nur itu. Kamu ‘kan anak kesayangan.”
“Mana ada? Mbak Nia tuh anak kesayangan. Yang paling nurut dan sopan.”
Haris terkekeh, kemudian lanjut menikmati bubur ayamnya.
Benar, tidak ada alasan lagi untuk Luna menunda kepulangan. Sebenarnya ia juga merindukan rumah. Rindu masakan Ummi Nur, nasihat-nasihat Abi Jamal, curhat bareng Mbak Nia, jalan-jalan di sekitar pesantren yang sejuk dan teduh.
Luna kembali ke mangkuk bubur ayamnya. Menghabiskannya dalam diam. Membiarkan memori masa kecilnya berputar di kepala. Membangkitkan rindu yang kian membuncah.