2. Sinis

1596 Words
Ayu memulas lipstick berwarna merah muda ke bibir tipisnya. Ia menatap dirinya beberapa saat di depan cermin. Ayu yang ia lihat sekarang sangat berbeda dengan Ayu tujuh tahun lalu saat kebahagiaan masih menjadi miliknya  dan sebelum kenistaan serta penderitaan itu mendera. Ia meletakan jari-jari lentiknya di cermin meraba bayangan wajahnya sendiri. Wajah yang pernah dikagumi seseorang yang kini sangat membencinya. Angannya melayang kembali pada sebuah kenangan yang terpatri abadi di hatinya. Danial mengarahkan kamera dalam genggamannya ke Ayu remaja dan beberapa teman sebayanya yang sedang bermain pasir sambil mengumpulkan cangkang kerang untuk mereka jual ke pengrajin hiasan. Tanpa memedulikan teman perempuannya yang sejak tadi mengikutinya, Danial kian asyik memotret kegiatan gadis pantai tersebut. "Ayu, Indah!" seru Danial pada dua gadis remaja yang sedang duduk berhadapan sambil mengeruk pasir. Kedua gadis itu menoleh. Danial tersenyum sangat manis—senyuman yang tidak akan pernah Ayu lupakan—lalu mengambil potret mereka berdua. "Ayu, kau bisa bergeser sedikit. Boleh aku mengambil fotomu sendirian?" pinta Danial. Ayu tersenyum malu-malu. Ia menyembunyikan pandangannya dengan menunduk.  Indah menyenggol lengan Ayu dengan sikunya. "Ayu, si Aa ganteng itu mau memfotomu. Ayo, jangan malu-malu. Senyum yang manis ya." Ayu bergeser beberapa langkah dari Indah. Ia mengangkat wajahnya lalu tersenyum. Tanpa mengarahkan gaya, Danial langsung mengambil potret Ayu. Potret yang sangat alami. Tak puas mengambil gambar wajah Ayu dari jarak beberapa meter, Danial mendekat. Lebih dekat lagi hingga jarak mereka hanya sekitar satu meter saja. "Kau tahu, Yu. Kau gadis pertama yang aku potret tanpa riasan sedikit pun. Kau sangat alami dan kau sangat...." Danial menatap dalam ke mata gelap Ayu. "Cantik." Kalimat itu masih terngiang di telinga Ayu sampai sekarang. "Wajah polos itu sudah tidak ada lagi, Dan. Kau yang menghancurkan semuanya." Ayu mengerjap-ngerjapkan mata menahan air mata yang menggenang tidak terjatuh dan menghapus riasan yang baru saja dipulaskan ke wajahnya. Ia beranjak dari kursi rias berjalan ke ruang makan. Disertai perasaan was-was yang menyelimuti diri, Ayu melangkah dengan hati-hati menuruni anak tangga. Seorang wanita berusia lima puluhan yang mengenakan gamis berwarna hijau daun dan menutupi rambutnya dengan hijab berwarna senada sudah menantinya di sana. Wanita itu sedang menata piring-piring di atas meja makan. "Pagi, Bu Ayu," ucap wanita itu dengan ramah lalu melemparkan senyumannya ke arah Ayu. Ayu mendekat pada wanita itu lalu melingkarkan tangannya ke pundak wanita itu dan menggelendot dengan manja. "Bi Dedeh jangan panggil Ayu 'ibu', ah. Ayu yang harus panggil Bi Dedeh 'ibu'. " "Mungkin Nyonya Rumah ini hanya ingin dipanggil 'nyonya', Bi. Agar strata sosialnya terlihat lebih jelas." Sebuah sindiran tajam terlontar dari mulut Danial yang tiba-tiba masuk ke ruang makan dan sukses membuat Ayu meradang dan segera menurunkan tangannya dari pundak Dedeh. Dedeh terkejut pada pemilik kalimat yang menyengat itu. Wanita paruh baya itu menatap Danial beberapa saat. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Den Danial? Ya Allah, ini beneran Den Danial?" Danial tersenyum manis pada wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya itu. Hati Ayu terenyuh melihat transformasi sikap Danial pada Dedeh. Dedeh berjalan menghampiri Danial lalu memeluk tuan mudanya dengan penuh kasih sayang. "Den Danial ke mana saja? Bibi sangat rindu. Kapan tiba? Kok Bibi tidak dikasih tahu? Kalau Bibi tahu, Bibi, kan, bisa menyambut kedatangan Aden." Dedeh memandang Danial dari atas ke bawah. Semuanya tidak berubah hanya saja Danial terlihat lebih dewasa saat ini. "Semalam, Bi. Bibi tidak perlu menyambut kedatangan Danial. Sudah ada Nyonya Rumah yang menyambut Danial, Bi." Danial melirik Ayu dengan sinis dan membuat Ayu sedikit salah tingkah. Pria itu berhasil mengacam posisinya di dalam rumahnya sendiri. "Oh, bagus kalau begitu. Sekarang kita sarapan bersama ya. Kalian kan sudah berkenalan semalam." Dedeh menarik punggung kursi makan untuk Danial duduki. Wanita itu masih saja memperlakukan Danial seperti anak kecil yang perlu dimanja. "Terima kasih, Bi." Danial duduk sambil melirik Ayu sekilas. Ayu tak bisa menolak untuk sarapan bersama dengan Danial. Semua penghuni rumah itu tidak ada yang mengetahui cerita masa lalu mereka berdua. Ayu yakin akan hal itu. Ia duduk dengan anggun di kursi yang biasa  ia duduki tepat di seberang Danial. Ia tidak punya pilihan untuk memilih kursi   Meskipun Dedeh hanya seorang kepala pelayan sekaligus pengasuh Danial dan Rachel saat mereka masih kecil, Anthony dan Maria—mendiang istri Athony—selalu menganggap Dedeh seperti keluarga mereka sendiri. Mereka selalu mengajak Dedeh untuk makan di meja yang sama dengan mereka. Danial melahap roti lapis selai kacang yang sudah dibuatkan oleh Dedeh. Seperti sedang menyiksa perlahan ibu tirinya, Danial sesekali mengarahkan tatapan sinisnya pada Ayu. Ayu hanya bisa menahan sesak di dada dengan sikap arogan yang Danial tunjukkan. "Di mana Rachel, Bi?" Danial memecah keheningan di antara mereka. "Dia sedang berdandan. Sebentar lagi teman-temannya akan menjemputnya untuk berangkat sekolah bersama," balas Dedeh. Danial menyipitkan mata. Sejumput perasaan heran tersirat dalam tatapannya. "Teman-teman? Sejak kapan Rachel punya teman?" "Sejak masuk SMP," sela Ayu. "Rachel sudah remaja. Dia bukan gadis intovert dan rapuh lagi. Dia lebih kuat sekarang. Hanya saja emosinya masih sedikit labil. Dia masih belum bisa menerima kesakitan luar biasa seperti saat ibumu meninggal. Tapi, siapa pun yang ditinggalkan akan sangat merasa tersakiti. Hal itu tidak akan mudah dilupakan bahkan cenderung tidak bisa untuk dilupakan." Danial menatap tajam Ayu sambil mengelap bibirnya dengan tisu. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Ayu. Danial melempar tisu bekas itu ke piringnya. "Apa maksud ucapanmu?!" "Den Danial, jangan berlaku tidak sopan begitu. Bibi dan Mama Aden tidak pernah mengajarkan hal yang tidak baik begitu. Bagaimanapun, Bu Ayu itu istri papa Aden." Dedeh terkejut melihat sikap bermusuhan Danial terhadap Ayu. Dedeh mendorong tubuhnya jauh ke belakang agar bisa melongok ke arah tangga. Pandangannya mendapati seorang gadis remaja berambut cokelat sebahu dengan seragam putih abu-abu sedang menuruni anak tangga. "Den, Non Rachel turun. Tolong, jangan buat keributan. Bibi tidak pernah melihat Non Rachel sebahagia sekarang ini sejak Mama Aden meninggal." Dedeh memberi peringatan pada Danial. Rachel tiba di ruang makan. Gadis remaja berusia 17 tahun itu terdiam beberapa saat mengamati suasana yang berbeda di sana. Lalu, gadis itu tersenyum lebar dan matanya berbinar terang memancarkan sinar kebahagiaan.  "Kakak!" teriak Rachel Danial berdiri lalu menangkap hamburan Rachel ke dalam pelukannya. "Kakak, Kakak ke mana saja? Kenapa Kakak baru pulang sekarang? Rachel tidak mau Kakak pergi lagi," rengek Rachel dengan manja. "Kakak tidak akan pergi lagi. Kakak janji." Danial mengusap kepala adiknya dengan lembut. Pembicaraan kakak beradik itu tidak berlangsung lama karena teman-teman Rachel keburu menjemputnya. Seperti biasanya, Rachel selalu memberi kecupan sayangnya di pipi Ayu sebelum berangkat. Remaja itu tampak bahagia seakan tidak pernah kehilangan ibu.  Danial melihat keakraban Rachel dan Ayu. Jauh di dalam hatinya, Danial memuji Ayu bahwa wanita itu wanita yang hebat, mampu menghipnotis seluruh anggota keluarganya. Emosinya semakin menggulung menjadi kumparan kebencian yang semakin dalam pada Ayu. "Dan, bisa kah kau menemui Ayahmu hari ini di rumah sakit?" tanya Ayu hati-hati. Wanita itu tidak ingin  berselisih lagi dengan Danial. Danial hanya menatap tajam Ayu sesaat. Tanpa menjawab, ia berlalu begitu saja meninggalkan Ayu. Ayu kembali ke kamarnya dengan goresan luka baru yang disematkan Danial. Tergesa-gesa ia menuju kamar mandi. Setelah bertahan beberapa puluh menit di bawah tadi, akhirnya tangisnya meledak. Puas menangis, Ayu membasuh wajahnya dengan air dingin. Dia harus segera memulas make up lagi sebelum pergi ke rumah sakit untuk menemui Anthony. Ayu membuka pintu kamar mandi dan dibuat terkejut setengah mati oleh Danial yang sudah berada di hadapannya. "Sejak kapan kau di sini, Dan?" tanya Ayu dengan suara serak. Danial melirik arlojinya. "Beberapa menit." Tatapan Danial tak lepas dari Ayu. Pandangan pria itu menjelajahi wajah cantik Ayu selama beberapa detik dan berakhir di bibir wanita itu. Ada dorongan yang sangat kuat saat Danial menatap bibir yang pernah dan selalu membuatnya bergairah, begitupun dengan Ayu.  Ayu tidak bisa membohongi dirinya jika tatapan Danial selalu bisa membangkitkan hasrat liarnya. Detak jantungnya mulai kencang. Andaikan Danial berdiri lebih mendekat pada Ayu, dia pasti bisa dengan jelas mendengar debaran jantung wanita itu. "Jangan menatapku seperti itu, Dan," pinta Ayu. "Apa itu mengganggumu? Dulu kau suka saat aku menatapmu seperti itu," tutur Danial dengan nada mengejek. "Danial, semua sudah berbeda sekarang. Aku istri papamu. Jangan membuat hidupku menderita lagi." Ayu melangkah melewati tubuh atletis Danial. Danial meraih lengan Ayu. Ia mendorongnya dengan kasar ke dinding kamar dan mengunci gerak wanita itu. Kini, tubuh Ayu sudah berada di antara tangan kuat Danial. "Kau pikir selama tujuh tahun ini hidupku senang?! Aku bahagia?! Aku bahkan sulit memejamkan mata setiap kali aku ingin tidur nyenyak, melupakan semuanya. Semua tentang kita!" Danial menyurukkan wajahnya ke leher Ayu. Ayu mendorong kuat tubuh Danial. Tangisan Ayu kembali meledak. "Kau yang meninggalkanku! Kau yang mengkhianatiku, Dan. Keluar dari kamarku. Keluar!" Danial kembali merapatkan tubuhnya ke tubuh Ayu. Ia menangkup kedua sisi wajah Ayu lalu melumat bibir Ayu dengan kasar. Ayu merasa sangat dilecehkan oleh Danial, meskipun sebagian dirinya sangat mendamba sentuhan itu. Wanita itu kembali meronta dan mencoba mendorong kembali tubuh Danial. Namun, Danial terlalu kuat untuknya. Untuk beberapa saat Danial berhasil menikmati bibir ibu tirinya lalu melepaskan ciuman dengan mendadak. Ia menatap Ayu dengan tatapan mencemooh.  Refleks, Ayu melayangkan tamparannya ke wajah tampan Danial. Danial mengusap pipinya yang terasa panas dan sedikit perih. Tatapan penuh amarah dan bencinya terarah pada Ayu.  "Kalau kau berani menamparku lagi, aku akan membalas semua perbuatanmu." Danial mengancam. "Apa yang akan kau lakukan? Balas menamparku?" tantang Ayu. Danial tersenyum sinis. "Menampar perempuan bukan gayaku." Danial berjalan ke luar dari kamar Ayu dengan kemarahan yang menyesakkan dan memenuhi isi kepalanya. Dari kamarnya, Ayu hanya bisa menatap punggung Danial yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu. Tubuh Ayu melorot sesaat kemudian. Wanita itu duduk dengan lutut terlipat di depan dada sambil menangis. Sepertinya penderitaan masih enggan menjauh darinya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD