Jeder!
Ini bukan Cuma sekedar kilat atau petir yang menyambar pohon kelapa. Ini sudah mirip seperti dua kekuatan yang beradu, lalu kilatan itu merusak semua yang berada di sekitarnya. Termasuk mental Gantan yang kini terasa aneh, hancur, bingung dan nggak ngerti harus gimana.
Dia memegang kedua lengan Weiwei dengan tatapan tajam. “Weiwei, katakan sekali lagi.” Pintanya lirih.
Kedua pipi gadis itu telah dilelehi olah air mata. “Yang mulia, saya benar-benar telah hamil.”
Gantan melemah, melapaskan cengkraman tangan dikedua lengan Weiwei. Dia melangkah tanpa arah, berkacak pinggang untuk solusi ini. Bercocok tanam aja belum pernah, gimana dia harus tanggung jawab coba?
Tujuan utamanya sekarang Cuma harus menemukan cara untuk bisa kembali ke Indonesia.
“Weiwei,” dia mengenggam lengan Weiwei, lalu membawanya ke tepi tempat tidur. Gadis itu bersimpuh tepat di depannya, mendongak, menatap wajah Gantan yang memang begitu tampan. “Dengarkan aku.” Menarik nafas dalam lebih dulu.
“Yang mulia, yang mulia dulu pernah bilang, jika akan membawaku pergi dari sini, demi kita tetap bisa hidup bersama. Saya sangat berharap padamu, yang mulia.” Suara serak karna isakan tangis itu membuat Gantan sangat tak tega.
“Dengarkan aku.” Ucapnya lagi. “Ada yang perlu kau tau.” Ia menatap Weiwei dengan sangat serius. “Aku, aku bukan Zhao Gantang. Tapi aku ini adalah Gantan Riyadi.”
Alis Weiwei berlipat dengan wajah bingung dan tentu tak percaya. “Yang mulia ….”
“Aku benar-benar tak tau seperti apa hubunganmu dan Zhao Gantang dahulu. Ini, raga ini memang milik Zhao Gantang, tapi … jiwaku, aku ini. Aku bukan Zhao Gantang-mu. Aku adalah Gantan Riyadi. Aku berasal dari negri lain, dan aku tersesat disini.”
Weiwei menggeleng pelan, sungguh ia sangat bingung dengan penuturan ini.
“Aku tidak berbohong, Weiwei. Aku benar-benar tak mengenalmu. Jadi, tunggulah sampai aku bisa pergi dari raga ini, dan mengembalikan Zhao Gantang-mu. Bukan aku tak mau menikahimu, membawamu pergi untuk sebuah kebahagiaan. Namun, aku benar-benar tak mengenalmu.”
Wu weiwei meneguk ludah dengan sedikit kesusahan, mengusap lelehan air mata yang mengaliri kedua pipi. Ingatan kembali disaat Gantan bangun dari koma, berbicara aneh, bahkan dengan begitu terang-terangan tak mengenalnya. Sama sekali tak menginginkannya untuk berada disampingnya.
“Yang mulia … anda … anda ….”
Gantan mengangguk. “Aku bukan Zhao Gantang.”
Wu Weiwei mencengkram baju Gantan. “Lalu … lalu bagaimana dengan anak yang saya kandung, yang mulia. Saya bisa diusir dari sini jika ketahuan hamil tanpa suami.” Tangisnya kembali tak terbendung. “Saya harus bagaimana, yang mulia ….”
Gantan menatap wajah Weiwei dengan iba. Gadis mana pun, mungkin akan merasa sedih seperti ini jika kehilangan orang yang ia cintai, terlebih, dia ditinggalkan dalam kondisi berbadan dua.
“Weiwei, berhentilah menangis. Aku akan bicarakan ini dengan kaisar.”
Kedua mata yang basah itu menggeleng dengan cepat. “Jangan! Jangan katakan ini pada yang mulia Kaisar. Jangan, yang mulia. Saya tidak siap jika harus mati dipasung.”
“Hah?! Dipasung?!” kini kedua mata Gantan melotot dengan sangat terkejut. Sungguh ia tak tau tentang hukum di dunia barunya ini.
Wu Weiwei ngangguk dengan tangan yang mengusap pipi pelan. “Saya adalah seorang pelayan rendahan, yang mulia. Saya bisa dibilang menggoda putra mahkota, calon kaisar dimasa mendatang. Dan hukumannya adalah pasung, karna Yang mulia tidak bersedia menikahi saya.”
**
Buah tak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya.
Begitulah pepatah mengatakannya. Seperti berita yang kini ia dapatkan langsung dari Gantan. Kaisar tetap menikahkan Gantan dengan Wu Weiwei, tapi bukan pernikahan yang akan menjadikan Weiwei sebagai permaisuri. Weiwei menikah sendiri, menjadi selir dari pangeran Zhao Gantang. Lalu menempatkan Wu Weiwei di Green Luse Huayuan, rumah yang ia bangun tepat di dekat kuil.
Untuk menghukum pasung Weiwei, dia tak akan melakukan itu. Karna kehadiran Zhao Gantang sendiri berasal dari dia yang juga tergoda dengan seorang pelayan rendahan, sama seperti Wu Weiwei.
Untuk menghormati Wu Weiwei, Gantan terpaksa pindah rumah beberapa hari. Ia tak ikut hadir dalam acara pertemuan pilitik yang kaisar dan para mentri diskusikan. Hanya berdiam di rumah dengan Wu Weiwei dan beberapa pelayan yang lainnya.
Gantan diam melamun menatap beberapa ikan hias yang berenang didalam kolam kecil yang ada dihalaman istananya. Beberapa kali tangannya menaburkan makanan ikan kedalam kolam itu. Ingatan tentang ibuknya yang selalu marah saat dia membuat ulah, kembali terlintas begitu saja. Tangannya yang selalu menengadah meminta uang untuk membeli apa pun yang dia mau. Dia yang dengan seenak jidat mengambil roti, rokok dan makanan yang lain. Lalu bapaknya yang dengan begitu sabar mendengarkan kemarahannya saat tak diberi uang, saat motor bututnya rusak.
“Cckk, gue kangen.” Gumamnya lirih.
“Yang mulia,”
Panggilan yang membuat lamunan Gantan buyar. Ia menoleh, menegakkan duduk saat tau jika itu adalah Yang Jin. “Ada kabar?”
“Pembuat pedang itu bernama Ying hecong, dia berasal dari kota Lingling.” Terang Yang Jin.
Kedua mata Gantan berbinar, ada secercah harapan disana. “Bawa aku menemui pembuat pedang itu.”
Yang jin mengerjab beberapa kali. “Yang mulia, jarak dari istana ke Lingling sangat jauh. Kita membutuhkan waktu tiga hari untuk bisa sampai kesana. Dengan keadaan yang mulia saat ini, ada banyak bahaya diluar sana yang mengancam.”
“Aku tak peduli seberapa lama kita akan sampai kesana. Yang terpenting, aku harus sampai disana dan bertemu dengan pembuat pedang itu.” Tegas Gantan, yang tentu menginginkan sebuah penjelasan tentang apa yang ia alami sekarang.
Yang Jin melebarkan mata, tapi detik berikutnya ia membungkuk dengan begitu yakin. “Baik, yang mulia.”
Saat mendengar jika putra mahkota meminta ijin untuk pergi ke kota Lingling, kaisar tentu tak mengijinkannya. Karna itu adalah perjalanan yang mengundang bahaya. Namun, demi bisa tau rahasia dibalik tertukarnya jiwa sang anak, kaisar tetap mengijinkan Gantan pergi menemui si pemandai besi.
Gantan menatap kuda yang sekarang ada didepan mata. Dia menggaruk kening, membuang nafas cukup kasar. Naik kuda? Itu belum pernah ia lakukan. Jika itu andong, dia bisa naik, tapi kalau kuda, aaghh!
“Yang Jin, sepertinya aku harus belajar menaiki kuda lebih dulu.” Gumam Gantan, bersedekap tanpa beralih tatap dari kuda di depannya.
Yang jin menahan untuk tak tertawa. “Tidak perlu lakukan itu, yang mulia, kita bisa menggunakan kereta.”
Satu alis Gantan terangkat. “Baiklah.”
Tak banyak yang dibawa, hanya beberapa makanan dan minuman saja. Yang Jin memimpin di depan dengan beberapa prajurit pilihannya. Sementara Gantan berada didalam kereta dengan dua kuda yang menariknya, lalu satu orang kusir duduk di depannya. Perjalanan mereka tentu tak akan mulus, sesuai dengan apa yang sudah diperkirakan oleh Yang Jin yang paling berpengalaman.
Mereka bertemu dengan beberapa bandit dan perampok. Beruntung, karna ada Yang Jin dan beberapa murid andalan. Karna sudah larut, mereka terpaksa membuat tenda di pinggir hutan, lalu kembali melakukan perjalanan setelah pagi datang.
Begitu banyak pelajaran yang Gantan ambil dari semua kejadian ini. Ia masih ingat, seperti apa ibuknya dulu akan mengomel saat dia tak mandi dari pagi hingga sore. Seperti apa ibunya akan berteriak kala ia hanya bisa meminta uang tanpa mau berusaha untuk mendapatkan uang itu dengan hasil keringatnya sendiri. Terhitung tiga bulan ia hidup dalam dunia yang berbeda. Kedua mata mengembun dengan tiba-tiba. Lalu ia mengusapnya cepat.
‘Di sini, nggak mandi pun, nggak bauk.’ Gumamnya dalam hati sambil mengendus tubuhnya sendiri.
Ssreet!
Dua buah anak panah terlepas, terarah tepat di kepala Pangeran Zhao Gantang yang berada didalam kereta.