Bab 10. Rencana Hardiyanto

1171 Words
Pria bertubuh tinggi besar itu menggeram di belakang meja. Ia baru saja memutus panggilan dari orang kepercayaannya. Menerima laporan bahwa perintahnya untuk menghabisi Arista gagal. Bahkan pion yang dikirim untuk tugas itu tertangkap polisi. Dan sekarang, anak buahnya tidak bisa melacak keberadaan Arista. “Papi? Papi ada di dalam?” Suara ceria putri bungsunya terdengar dari balik pintu. Hardi segera memperbaiki ekspresi wajahnya. “Kenapa, Sayang?” Serunya, masih di balik meja. Memasang kacamata dan mulai membaca buku. Pintu ruang kerjanya terbuka, kepala Lia menyembul dari sana. Wanita itu tersenyum lebar saat mendapati papinya juga melempar senyum padanya. “Papi ngapain masih di ruang kerja jam segini?” tanyanya sambil menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di dalam ruangan itu. “Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Kamu sendiri kenapa nyari Papi jam segini?” Hardi balik bertanya. “Besok Lia mau mulai kerja lagi.” Sejak berita pembatalan perjodohan itu rilis, Lia yang bekerja sebagai model sekaligus aktris kerap dikejar-kejar oleh wartawan. Karena itu, selama beberapa hari ini ia memilih untuk membatalkan semua jadwalnya dan berdiam diri di rumah. “Oh ya? Memangnya nggak apa-apa? Jangan memaksakan diri, Nak.” “Nggak apa-apa, Pi. Lagian bentar lagi Lia harus datang ke premiere film Lia,” ucapnya sambil tersenyum. Wajahnya yang beberapa hari ini terlihat murung kini tampak sedikit lebih baik. “Kapan itu?” “Sekitar dua minggu lagi.” Hardi mengangguk-angguk. “Terus gimana? Kamu nggak masalah kalau ada wartawan masih ngejar-ngejar kamu?” “Kalau soal itu biar diberesin sama Kak Manajer.” Lia nyengir. “Syukurlah kalau manajermu bisa bertindak tegas,” sahut Hardi lega. "Bilang sama Papi kalau kerjanya nggak becus, biar Papi cariin yang lebih baik." "Ih, enggak, Papi. Kakak manajer Lia tuh baik banget. Cuma kemarin dia juga bingung karena berita itu kan menyangkut nama orang besar juga. Tapi karena sekarang sudah surut nih beritanya, jadi kayaknya Lia bisa keluar kandang." Lia terkekeh di belakang kalimatnya. Menertawakan diksi yang ia pilih. “Oh iya,” tiba-tiba Hardi teringat ucapan Arka. “Kamu pernah ketemu Arya? Anak bungsu Pak Yaksa?” “Arya?” Lia mengernyit. “Oh, si Nanda!” “Kok Nanda?” “Iya, Pi! Nama dia tuh Arya Ananda. Tapi temen-temen SMA Lia dulu pada manggil dia Nanda. Jadi sampai sekarang Lia ingetnya nama dia Nanda,” jelas Lia. “Oh, dia temen SMA kamu?” Lia mengangguk mantap. “Kok Papi nggak pernah tahu?” “Anaknya introvert parah, Pi. Makanya Lia males temenan sama dia,” tutur Lia dengan wajah sedikit kesal mengingat betapa membosankannya sosok Nanda itu. “Eh, tapi kenapa Papi nanya Lia kenal atau enggak?” Hardi meletakkan buku di tangannya. Menatap putrinya lekat. “Kalau disuruh milih, kamu pilih siapa antara Arka atau Arya?” tanyanya serius. “Jelas Kak Arka, Pi! Ih, Papi pake nanya segala. Nanda itu nyebelin, nggak seru anaknya, Pi. Ngebosenin yang ada,” keluhnya sambil manyun. Hardi tersenyum, mengangguk-angguk. “Ya sudah kalau itu mau kamu.” “Kenapa, Pi? Kak Arka udah mau tunangan sama Lia?” cecar Lia antusias. “Kita lihat aja nanti,” jawab Hardi sembari melempar senyum misterius. Lia segera beranjak, memukul lengan papinya kesal. “Ih, Papi! Jangan jadi nyebelin kayak Nanda, deh!” Hardi tertawa, mengusap lengannya. “Ya udah, Lia cuma mau bilang itu. Papi sampai jam berapa kerjanya?” “Bentar lagi Papi tidur.” “Jangan terlalu malam, ya, Pi. Jaga kesehatan, Pi. Lia masih mau lebih lama jadi anak Papi,” ucap Lia tulus. Hardi tersenyum. “Iya. Sudah, sana tidur!” “Dadah, Papi!” Lia melambaikan tangan sebelum benar-benar menutup pintu ruang kerja papinya. Meninggalkan Hardi yang kembali sibuk dengan ponsel. Menempelkannya ke telinga, menelepon seseorang. “Halo?” “Iya, Pak. Ada apa?” “Target kita berubah,” ucap Hardi dingin. “Maksudnya, Pak?” “Jatuhkan Hotel Sunflower, buat citra mereka buruk sampai tidak ada lagi orang yang mau menginap di sana.” Suara Hardi terdengar mantap dan penuh dendam. Tekadnya sudah bulat. Arka harus diberi pelajaran. Bahwa keluarga Maheswara masih sangat membutuhkan uluran tangannya. “Baik, Pak!” *** Sesuai tugas dari Arka, hari ini adalah tenggat waktu pengumpulan draft konsep pemasaran untuk mengatasi penurunan penjualan di restoran hotel. Maka siang ini Arista langsung mendatangi ruang kerja tim pemasaran. Beruntung, rupanya mereka sudah menyiapkan beberapa konsep. “Ini bagus, nih! Culinary voyage. Pasti pelanggan suka berinteraksi langsung dengan chef yang memasak hidangan mereka,” komentar Arista begitu melihat salah satu konsep dari tim pemasaran. “Tapi, tata letak restoran jadi harus diubah. Kita juga jadi perlu keluar biaya untuk alat-alat ‘kan? Terutama untuk safety pelanggan.” “Bener, Mbak. Makanya kita perlu meeting sama tim lain,” ujar salah satu anggota tim. “Oke. Nanti saya bawa dulu ke Pak Arka, ya? Kalau Pak Arka ACC, kita adain meeting secepatnya. Kalian siapin aja bahannya.” Semua orang di ruangan itu mengangguk setuju. “Kamu ikut saya ketemu Pak Arka, ya?” Arista menunjuk sang ketua tim. Pria berpenampilan rapih itu mengangguk. Lantas beranjak dan mengekor Arista keluar ruangan. Namun, langkah mereka dihadang oleh seorang wanita yang datang dengan wajah pucat pasi. Dilihat dari penampilannya, sepertinya wanita itu adalah staf housekeeping. “Mas, Mbak, tolongin!” pintanya panik, bahkan hampir menangis. “Kenapa, Bu?” “Itu… di sana… di lantai 3…” wanita itu ngos-ngosan, bicaranya berantakan. Jelas ia berlari untuk datang ke sini. “Pelan-pelan, Bu. Tarik nafas dulu. Ada apa?” Arista memegang lengan wanita itu, mencoba membuatnya fokus. Wanita itu menurut. Beberapa kali menghembuskan nafas panjang, lalu kembali berujar. “Di lantai 3, ada yang b*nuh diri, Mbak!” Kalimat itu menyambar pendengaran Arista seperti petir. Membuatnya mematung seketika. “Ibu yang bener kalau bicara! Ibu nggak salah lihat?!” pria di samping Arista lebih dulu bereaksi. “Be-betulan, Mas. Pas saya… mau bersihin kamar, mereka tiduran di atas kasur. Saya kira… saya kira betulan tidur. Ternyata… ternyata udah jadi m*yat, Mas!” Sekarang wanita itu sudah menangis. Tentu saja ia kaget sekali. Menemukan tubuh yang sudah tak bernyawa tentu bukan hal yang menyenangkan. “Mereka?” Arista mengernyit. “Iya, Mbak. Sepasang. Laki-laki sama perempuan!” Arista menegang. Ini berita yang sangat buruk dan bisa mengancam reputasi hotel mereka. “Ibu duduk dulu, ya? Minum dulu. Ibu di sini aja sampe tenang habis itu pulang aja, nggak apa-apa. Soal apa yang ibu lihat, saya minta jangan bilang siapa-siapa dulu,” Arista bertindak cepat, meminta petugas housekeeping itu duduk di dalam ruangan. Berita ini tidak boleh didengar siapapun. Apalagi sampai ke telinga tamu hotel lain. “Ibu masih ingat nomor kamarnya?” tanya Arista lagi. Wanita itu sudah duduk, sudah meneguk air mineral, lalu mengangguk. “Kamar 305, Mbak.” “Kamu ke resepsionis sekarang, tanya identitas penyewa kamar 305. Saya ke lantai 3 sama sekuriti,” ucap Arista pada ketua tim pemasaran. “Jangan panik, jangan mengundang perhatian orang-orang. Jaga berita ini tetap di sini,” lanjutnya memberi pesan pada semua orang yang mendengar berita mengejutkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD