Chapter 2

1597 Words
“Melupakanmu adalah pekerjaan paling melelahkan.”   Dua tahun yang lalu Zeroun "Sejak kapan Flo dekat dengannya?" Suaraku tertahan di tenggorokan agar tetap terdengar tenang. Gosip kedekatan Flo dengan seorang bankir menyentak sisi tenangku. Dadaku bergemuruh dan luapan emosi mulai merayap ke punggung dan seluruh tubuhku. Tiba-tiba saja aku ingin membunuh seseorang. Gila!!! "Masih peduli sama dia? Gue pikir dia cuma bahan grepe-an lu doang, Ze." Kenzo, salah satu “partners in crime”-ku, menempatkan bokongnya di ujung meja kerjaku sambil bersedekap. "Oh, no. Absolutely not!" tegasku, "gue cuma heran, masih ada cowok bego yang mau maenan bekas gue." "Biar kata bekas, si Flo itu kece, Bro. Body-nya juga lumayan biar gak bohay-bohay amat. Gue aja mau, kok, kalau dikasih," sela Kenzo. Aku melempar pena yang kupegang ke arahnya dan mengenai lengannya. "Taek, lu! Dia yang bakalan gak mau sama lu." Pintu ruangan kerjaku terbuka. Surya,  “partners in crime”-ku yang lain, melangkah masuk dengan wajah semringah. "Let's go, Guys! Gue udah bikin surprise buat kalian berdua. Dijamin kalian bakal merem melek malam ini. Udah lama kita gak seneng-seneng sejak Ze dikarantina bokapnya. Malam ini kita abisin semua!" tutur Surya semangat 45. Aku menegakkan badan. Mataku menyipit diiringi pikiran menyelidik. "Jangan bilang lu mau ngajak kita ngubas berjamaah." Surya tertawa. "Enggak. Ada yang laen. Tapi, kalau lu sakaw, gue ada stock." *** Kuhentikan mobilku di pelataran parkir basemen sebuah kelab malam ternama di kawasan Sudirman. Bersama Kenzo dan Surya, kami menyusuri lorong yang menyerupai gua untuk masuk ke kelab tersebut. Baru pukul 22:30, tapi kelab sudah mulai ramai. Aku sengaja mematikan ponselku karena tidak mau ada gangguan apa pun. Aku ingin melepas lelah dan bersenang-senang malam ini.  Surya, yang merupakan manajer kelab tersebut dengan leluasa memberikan tempat terbaik untuk kami. Seperti biasanya, minuman terbaik tersaji di meja kami. Pun, dengan pramusaji tercantik dan terbohay yang membuat mata melotot dan celana menyempit. "Gue kira lu udah insyaf, Ze. Kelamaan sembunyi dalam kandang, karatan lo, Ze," ledek Surya dengan kekehan pelan. Kuturunkan gelas berisi martell cohiba yang hampir menyentuh bibirku. "Sialan, lu! Bisa mampus gue kalau gue kelamaan enggak nyelupin si junior gue ke lubang buaya cewek bohay." Dari sudut lain sofa tempat kami duduk, Kenzo tertawa. "Gila lu, Ze! Hampir satu bulan lu puasa, dong, ya? Ngapain aja lu selama itu?" Aku meneguk minumanku lalu membalas pertanyaan tidak penting Kenzo. "Gue dikarantina bokap gue. Lu tau, 'kan, bokap gue kalau udah punya mau kayak gimana? Dia maksa gue belajar caranya jalanin perusahaan, belajar jadi CEO yang baik, dan ngatur keuangan. Gue diawasi hampir 24 jam tiap hari. Males banget, 'kan?" "Kejam bener bokap lu. Perusahaan bokap lu tuh banyak. Duit yang didapet juga gak keitung, cukup, bahkan lebih dari cukup buat ngidupin sepuluh keluarga sekaligus sampai tujuh turunan. Dia masih aja ngedikte anak satu-satunya. Tapi bagus juga, sih, biar lu cepet insaf," cetus Surya sembari tersenyum meledek. Aku melempar Surya dengan irisan lemon yang nangkring manis di gelas brandy-ku. "Sialan, lu! Lu gak tau rasanya nahan sange selama itu! Kepala gue rasanya mau pecah." "Lu bilang ada cewek cakep magang di perusahaan lu. Kenapa lu enggak pepet dia aja?" celetuk Kenzo. Huh! Celetukan Kenzo mengingatkan aku pada Florenza, bukan pada gadis baru yang magang di perusahaanku. Beberapa bulan kemarin, Florenza juga magang di perusahaanku. Cewek rumahan, anak bungsu asisten pribadi papa. Dia cantik. Meskipun, tubuhnya tidak terlalu seksi, tapi lumayan juga untuk melepas hasrat sesaatku. Satu bulan PDKT-an, aku baru berhasil menidurinya meski dengan sedikit paksaan. Terbilang pendekatan yang sangat lama. Dalam kamusku, aku hanya memerlukan waktu paling lama tiga hari untuk bisa meniduri gadis yang kuinginkan. "Cantik, sih, tapi enggak menarik. Enggak menarik buat gue masukin!" Ucapanku memicu Surya dan Kenzo untuk tertawa. Sepertinya mereka puas banget menertawai deritaku. Sialan! Surya meneenggak vodka langsung dari botolnya. "Enggak menarik atau lu enggak bisa buat dia bertekuk lutut? Payah lu, Man! Reputasi seorang Zeroun tenggelam, dong." Aku menyugar rambutku dan mengembus napas setengah frustrasi. "Enggak tahulah. Sejak Flo menghindari gue, hasrat gue melemah. Libido gue anjlok drastis." "Jangan-jangan lu cinta beneran sama si Flo," sela Kenzo. Aku mengerutkan dahi dan melebarkan mataku. "No way!!! Sorry, ya. Enggak ada yang namanya cinta dalam kamus gue. Cinta itu bikin ribet." Surya duduk mendekat padaku. Ia merangkulku. "Tenang aja, Ze. Gue bocorin kejutan gue. Gue udah booking cewek-cewek Uzbek. Dijamin lo bakal konak semaleman." Malam ini aku habiskan di sebuah suite hotel berbintang lima dengan dua gadis bule sekaligus. Aku rasa, aku bisa mengimbangi permainan threesome malam ini dengan mudah. Tubuh atletisku yang terbilang cukup sehat dan kuat masih sanggup membuat kedua gadis panggilan kelas atas yang seksi dan menawan itu klepek-klepek tak berdaya. Namun, aku salah. Aku bahkan tidak bisa fokus ke salah satunya. Bayangan wajah cantik Florenza selalu merusak keinginanku untuk menggauli gadis-gadis itu. Saat bibirku mencecap bibir salah satunya, seketika rasa bibir Florenza yang manis meresap dalam jiwaku. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari Florenza dengan mengumbar gairah primitifku pada mereka. Tetap saja yang ada di benakku hanya Florenza. How dumb!!! Kenapa yang ada di otakku selalu dia? Tidak! Jangan! Jangan sampai yang dikatakan Kenzo benar. Tidaaaak! AKU TIDAK AKAN PERNAH JATUH CINTA PADA FLORENZA!!! Tapi, Florenza sudah berhasil memenuhi isi kepalaku dengan senyumannya. Ia sukses menyesakkan dadaku tiap kali aku membayangkan wajah imutnya. Ia membuatku stres tingkat tinggi. Membuatku positif sinting! Tidak mau lebih lama tersiksa, aku meninggalkan permainan yang belum selesai dengan gadis-gadis itu. Aku melajukan mobilku menuju apartemen sederhana Ririe, kakaknya Florenza, yang ditempati Florenza saat ini. Aku tahu gadis itu sangat marah padaku karena perlakuan kurang ajarku padanya. Semua perlakuan itu juga yang membuatnya terus menghindariku akhir-akhir ini. Florenza masih berbaik hati membukakan pintu untukku. Thank God. Setidaknya dia masih peduli padaku barang sedikit saja. "Kau mau apa malam-malam ke sini?" Sumpah demi Tuhan, aku sangat merindukan suara lembut yang keluar dari mulutnya. Tatapanku menjelajah wajahnya. Rambut panjangnya yang terlihat sedikit berantakan tak mengurangi rasaku untuk tetap menilainya sebagai gadis paling memikat dalam deretan gadis-gadis yang pernah menghangatkan ranjangku. "Kalau tidak ada keperluan sebaiknya kau pergi saja. Aku mau tidur." Florenza mencoba mengusirku. "Flo, aku mau kamu," ucapku lolos begitu saja. Florenza mengunci tatapannya padaku. "Mau aku untuk apa? Untuk memuaskan hasratmu? Untuk jadi mainanmu saat kau kesepian?" "Flo ...." Ucapanku mengambang. Semua yang dikatakannya tidak salah. Tapi, perasaan ini begitu kuat dan dorongan ini begitu menggebu. "Aku tahu kau berengsek, Ze. Aku tahu kau pencinta wanita. Kupikir dengan bersamaku, dengan aku mencintaimu, kau akan berubah. Tapi, ternyata tidak."  Ucapan Florenza membuatku sedikit gemetar karena rasa bersalah. Apa seharusnya aku merasa demikian? Tidak. Aku tidak boleh merasa seperti ini. Semua wanita bisa aku taklukan, begitu juga Florenza. Malam ini aku harus berhasil mendapatkannya lagi. "Flo, aku datang ke sini mau minta maaf. Aku tidak bisa menunggu sampai besok karena aku tidak mau dihantui rasa bersalah ini terus-terusan," kilahku. "Memang sudah seharusnya." Aku mengembus napas panjang. Otakku kupaksakan bekerja dengan cepat untuk merangkai kata-kata rayuan berupa kalimat permintaan maaf. Merendah sedikit tidak masalah. Yang penting tujuanku berhasil. "Maafkan aku. Aku tidak pernah berpikir jika ada gadis cantik, baik, dan pengertian yang sangat mencintaiku. Maafkan aku yang terlambat menyadari. Kau juga harus tahu, Flo, aku tidak bisa melupakanmu." Kalimat terakhir aku ucapkan dengan tulus.  Florenza menggigiti bibirnya. Aku tahu dia sedikit tersanjung dengan rayuan gombalku.  "Sudah selesai minta maafnya? Sekarang pergilah," usir Florenza dengan nada dingin. What?!!! Dia mengusirku? Setelah kata maaf yang dengan susah payah aku rangkai dan  ucapkan, dia mengusirku?  "Belum selesai," balasku dengan geram. "Apa lagi?" Nada tanyanya menantangku. Aku tidak peduli jika ia akan menolakku. Aku sudah tidak tahan dengan hasrat yang hampir membludak ini. Aku menahan kedua sisi wajahnya dengan tanganku, lalu melumat bibirnya sedikit kasar. Aku merasakan penolakannya, keteganggan di bibirnya, dan tangannya yang mencoba menepis tanganku. Namun, lambat laun ketegangan itu melembut. Aku terus menjelajahi setiap sudut bibirnya dengan mencecap, menghisap dan menguasai seluruh bagian mulutnya.  Akhirnya, dia pasrah dalam pelukanku. Menjadi kebanggan tersendiri bisa menaklukan kembali Florenza malam ini. Kami berbagi luapan hasrat yang bergejolak di sofa ruang tamu apartemen ini. Bukan tempat yang aku inginkan untuk bercinta, namun tidak begitu buruk saat aku bisa bercinta dengan Florenza di sini.  Napas kami terengah, tubuh kami menyatu, dan irama gairah ini semakin membubung tinggi. Tiga kata krusial lolos dari mulutku saat aku berhasil mencapai puncak kenikmatan ini. "I love you." Florenza tak banyak bicara setelah percintaan yang memakan waktu tidak lebih dari setengah jam tersebut. Jujur, aku bahagia bisa melakukan ini dengan Florenza. Namun, aku sama sekali tidak melihat itu di matanya. Aku melihat gurat penyesalan dan sedih yang mendalam di wajahnya. Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. "Aku sungguh-sungguh dengan yang aku katakan, Flo," bisikku sambil mengecup keningnya. Akhirnya, aku menyerah pada rasa ini. Florenza bergeming. "Kau sudah mendapat yang kau mau. Sekarang pergilah," ucap Florenza beberapa saat kemudian. Sialan! Kupikir Florenza akan menyambut hangat semua kata sesal dan cintaku.  Tenang, Ze. Mungkin Florenza hanya butuh waktu untuk ini semua. Mungkin dia hanya kaget karena kau tiba-tiba menjadi pria romantis. Aku menenangkan diriku sendiri. "Aku mencintaimu, Flo. Aku janji akan jadi lelakimu yang paling setia. Aku tidak akan menyakitimu lagi." Aku terpaksa... tidak, aku tulus mengatakannya. "Pergilah, Ze. Aku mohon pergi." Aku melihat air bening jatuh dari ujung matanya. Aku menuruti ucapan Florenza. Aku pergi meninggalkannya. Tapi, aku sempat memberikan satu kecupan manis sebelum aku melangkah ke luar dari apartemen itu.  Entah kenapa, pertemuan dan percintaanku dengan Florenza semalam membuatku lebih bersemangat siang ini. Semua pekerjaanku berjalan lancar. Aku tak lagi mengeluh saat Papa memintaku untuk memeriksa seluruh laporan keuangan perusahaan.  Apa, sih, yang aku rasakan ini? Kenapa memikirkan Florenza sama dengan memicu mood booster-ku? Aku sepertinya benar-benar jatuh cinta pada Florenza. Lanny, sekretarisku, melongok dari balik pintu. "Pak Ze, Pak Lukman memberi undangan." Aku mengerutkan dahi. "Om Lukman? Om Lukman asistennya Papa?" Lanny meletakan undangan berwarna cokelat di atas mejaku. "Iya, Pak. Katanya mau menikahkan anaknya." Aku melebarkan mataku. Tanpa dikomando, jantungku berdetak lima kali lebih kencang dari detak jantung orang normal. Tidak mungkin Ririe. Ririe kan sudah menikah.  Tidak. Jangan dia! Jangan Flo-ku!  Aku mengambil undangan itu dengan hati was-was. Mensejajarkan bagian depan undangan itu dengan mataku.  Anj*ng!!! Nama Florenza Wardhani dan Matteo Hamilton yang terukir dengan tinta emas menyengat tubuhku dan mematikan sistem kerja otakku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD