"Saya kecewa sama kamu, Deva. Masa kamu cuma ada ide ini aja? Ide kamu tuh enggak cocok buat ulang tahun Fakultas kita. Ingat ya, Deva ini tuh acara Fakultas bukan acara anak SMA. Masa kamu cuma bisa bikin acara sekelas PENSI doang. Cepat kamu ganti sama acara lain yang lebih bermutu dan berbobot.” Pria bernama Rizki Adhitama itu melempar lembaran kertas konsep acara ulang tahun Fakultas Psikologi di sebuah kampus negeri ke mejanya. Dia merasa kesal karena apa yang dia katakan sebelumnya tidak dipahami oleh perwakilan BEM.
Perempuan yang duduk di hadapan Rizki adalah Deva Putri Adiwilaga, mahasiswi Fakultas Psikologi semester 5 yang baru tiga bulan menjabat sebagai ketua BEM Fakultas Psikologi. Pihak Fakultas melalui kabag kemahasiswaan mengajak anggota BEM bekerja sama untuk memeriahkan ulang tahun Fakultas dengan berbagai acara. Mereka minta anggota BEM mencurahkan semua ide dan pikirannya pada acara ini. Nantinya mereka akan membentuk panitia acara sendiri.
“Pak, bukannya kami cuma disuruh bikin acara pendukung aja ya? Lainnya kan sudah ditentukan sama pihak Fakultas acaranya mau kayak gimana?” Deva mencoba meluruskan apa yang dia pahami dari ucapan kabag kemahasiswaan saat mereka bertemu pekan kemarin.
“Siapa bilang begitu? Enggak deh. Kan saya sudah minta tolong bikin acara seminar, workshop, terus acara pengenalan jurusan ke siswa SMA sama acara puncak. Kamu yang lupa kali?”
Seingat Deva, Rizki tidak pernah mengatakan itu. Dia hanya mengatakan agar BEM mengadakan acara puncak untuk ulang tahun Fakultas sehingga dia dan teman-teman BEM mengusulkan acara panggung musik dan itu pun sudah ditolak mentah-mentah oleh sang kabag kemahasiswaan.
Deva menarik napas panjang untuk meredakan emosi yang terpancing karena ucapan dari Rizki. Dia masih tetap menghormati pria yang ada di hadapannya ini. “Jadi, diganti semua, Pak?”
“Iya. Saya mau secepatnya. Sebentar lagi saya akan mengajar sampai jam lima sore. Jadi, kamu temui saya jam lima sore di sini. Kamu bisa, kan?”
“Bisa sih, Pak. Ya sudah kalau gitu saya kembali ke ruangan BEM dulu buat membicarakan ini sama teman-teman yang lain. Nanti sore saya datang lagi.”
Deva pamit pada sang dosen untuk menuju ke ruangan BEM. Di sana teman-teman pengurus BEM menunggu sambil harap-harap cemas apakah ide mereka akan diterima oleh kabag kemahasiswaan atau tidak. Ide itu bukan dari Deva sendiri, melainkan dari pengurus yang lain.
“Jadi, gimana, Dev? Diterima enggak usulan kita?”
Jika melihat dari wajah lesunya Deva, jawabannya sudah jelas ditolak.
“Ditolak ya, Dev? Yah ….” Erna kecewa.
“Pak Rizki minta kita bikin acara seminar, workshop dan acara lainnya. Emang kemarin Pak Rizki bilang gitu ya? Apa aku yang salah dengar atau salah tangkap?”
“Hah? Pak Rizki minta acara lain? Yang aku dengar sama dengan yang kamu dengar kok, Dev. Pak Rizki minta kita bikin acara puncaknya aja. Terus kenapa sekarang dia berubah?” Rani merasa ada yang aneh dengan dosennya itu.
“Hm … aku tahu pasti Pak Rizki lagi kesel karena dia kan baru putus sama pacarnya.” Lena berasumsi sendiri.
“Tahu dari mana kamu Pak Rizki putus sama pacarnya, Len? Emang ada hubungannya dengan ide kita yang dia tolak? Perasaan dia emang selalu menyalahkan semua ide dari pengurus BEM. Ingat enggak waktu kita selesai raker terus kita laporan rencana program kita selama satu tahun semua dia tolak dan minta direvisi. Aneh emang Pak Rizki tuh. Untung mukanya ganteng. Jadi, masih enak dilihat lah.”
Deva terdiam. Apa yang dikatakan Erna barusan memang ada benarnya. Jika bertemu dan membahas program kerja BEM bersama Rizki selalu saja pria itu menolak dan mengatur program kerja BEM sesuai dengan kemauannya.
“Aku tahu dari IG-nya Pak Rizki tuh, foto-foto sama pacarnya kan sudah dihapus semua. Enggak ada yang tersisa satu pun.” Lena berkata dengan yakin.
“Sudah-sudah enggak usah ngomongin Pak Rizki lagi, mending kita susun lagi rencana acara yang akan kita buat sesuai permintaan Pak Rizki karena diminta cepat. Nanti sore aku disuruh balik lagi ke ruangannya.” Deva membuka laptop dan buku catatannya untuk mencatat pembahasan siang ini. “Kita masuk jam dua kan? Ayo bahas sekarang. Lebih cepat lebih baik.”
Empat pengurus inti BEM itu pun fokus pada pembahasan mereka. Erna adalah wakil ketua BEM, Lena menjabat sekretaris BEM dan Rani sebagai bendahara BEM.
“Gini deh, acara pertama Seminar, tapi belum ada idenya sih aku. Terus workshop,nanti kamu tanya sama pak Rizki ya, Dev maunya berapa hari, terus acara pengenalan Fakultas itu kita adakan acara yang mengundang anak SMA dengan lomba-lomba sekaligus sebagai acara puncak, diakhiri dengan acara musik lah. Kita undang band atau apa gitu.” Erna mengungkapkan idenya lebih dulu.
“Sebenarnya dari pihak Fakultas sendiri ada permintaan enggak sih soal tema seminar sama workshopnya mau apa gitu? Nanti kalau kita yang tentukan salah lagi?” Lena tampak ragu.
“Aku sih setuju dengan idenya Erna, Dev. Nanti kamu minta aja sama pak Rizki soal tema. Terus ide kita soal acara puncak itu tetap harus jadi.” Rani menambahkan.
Mereka terus membahas soal konsep acara ulang tahun Fakultas sampai mendekati jam dua siang lalu membubarkan diri karena ada kelas. Selesai kelas jam empat sore. Masih ada satu jam lagi dari jadwal Deva bertemu dengan Rizki nanti. Deva pun menunggu di sekretariat BEM bersama Erna.
“Dev, kamu masih sanggup buat ketemu sama pak Rizki lagi sore ini? Emang kamu enggak capek tadi siang udah emosi terus sore ini harus siap-siap lagi dimarahin pak Rizki kalau ide kamu ditolak lagi?”
Deva mengedikkan bahu. “Ya harus siap lah, Na. Namanya tugas jadi pengurus BEM, ketua pula. Enggak mungkin mundur, kan? Bukannya kita selama tiga bulan terakhir ini memang sering diomelin pak Rizki? Walaupun kadang ada perasaan pengen berhenti gitu dari jabatan ketua BEM.” Deva memaksakan sebuah senyuman karena sesungguhnya dia malas sekali bertemu dengan Rizki sore ini.
“Semangat ya, Dev. Anggap aja lagi ujian skripsi. Biar terbiasa. Maaf ya aku enggak bisa nemenin kamu.”
“Enggak apa-apa. Udah jam lima nih. Doain ya ide yang kita susun siang ini disetujui Pak Rizki.”
Dengan berat hati, Deva bangkit dari duduknya menuju ruangan fakultas untuk menemui Rizki. Perempuan itu mengetuk pintu ruangan lalu menuju meja sang dosen lalu berdiri di hadapannya.
“Ayo, Dev, ikut saya ke kafe dekat depan! Kita bahas di sana saja soal konsep acara ulang tahun fakultas.”
“Tunggu, Pak, tapi kenapa jadi di kafe depan? “
“Saya lapar habis ngajar. Kamu temani saya makan sekaligus bahas soal rencana itu.”
Deva cuma bisa berharap Rizki bisa melunak sedikit saja jika mereka membicarakan soal rencana acara itu di kafe.