Selamat membaca!
Tangisan Amanda semakin terisak-isak saat wanita itu bertanya pada Tama tentang kehidupannya yang terasa jauh dari kata bahagia.
"Kenapa harus aku yang mengalami semua ini sih, Tama? Kenapa harus aku? Aku sangat mencintai Stefan begitupun dengan dia, tapi sekarang semuanya harus berakhir karena perjodohan sialan itu. Apa wanita sepertiku tidak pantas bahagia? Tapi kenapa?" tanya Amanda dengan tersedu-sedu sambil sesekali memukul punggung belakang tubuh Tama untuk melampiaskan kekesalannya.
"Manda, tenanglah. Tidak hanya kamu yang mengalami kegagalan cinta seperti ini, ada banyak wanita yang hatinya patah karena hubungannya bersama pasangan harus berakhir di tengah jalan, mereka terluka, frustasi dan selalu menghabiskan hari-harinya untuk menangisi pria yang telah meninggalkannya, perlahan tapi pasti Tuhan pasti akan menggantikan kesedihan mereka dengan kebahagiaan yang sesungguhnya, Tuhan menjodohkan mereka dengan pria yang lebih baik dari pasangan sebelumnya. Dan bisa jadi Tuhan sengaja mematahkan hatimu karena menurut-Nya Stefan bukanlah yang terbaik untuk kamu. Yakinlah, suatu hari nanti Tuhan akan mengganti kesedihanmu hari ini dengan kebahagiaan yang pantas kamu dapatkan." Dengan sabar dan penuh kelembutan, Tama mencoba menenangkan kesedihan Amanda yang begitu larut karena perpisahan yang terjadi.
Begitu Amanda merasa lebih tenang dari sebelumnya, ia pun mulai mengurai pelukan yang begitu erat melingkar di tubuhnya, wanita itu segera menghapus wajahnya yang basah karena bulir-bulir kesedihan.
Seulas senyuman mulai terbit dari kedua sudut bibirnya yang mengembang. "Tama, terima kasih ya karena kamu sudah mau mendengar ceritaku. Maaf kalau bajumu jadi basah karena air mataku."
Tama menangkup kedua sisi wajah Amanda, lalu jemarinya mulai mengusap wajah wanita itu untuk membantunya menghapus air mata kesedihan. "Ini bukan masalah besar, Manda. Hei, kamu tahu tidak? Melihat kamu menangis seperti tadi membuatku jadi bertekad untuk menghadirkan senyum bahagia di raut wajahmu. Amanda, mulai sekarang kamu boleh menganggapku sebagai sahabatmu, aku siap mendengarkan setiap ceritamu, tapi berjanjilah untuk belajar melupakan semua tentang Stefan, mulailah kehidupanmu yang baru di Jakarta tanpa bayang-bayang tentangnya karena kamu juga berhak bahagia."
Perkataan Pratama membuat Amanda tertegun beberapa saat, hingga akhirnya ia kembali menghamburkan tubuhnya dalam pelukan pria itu yang telah mampu menenangkannya karena kehangatan yang tercipta.
"Terima kasih, Tama. Aku senang bisa memiliki sahabat sepertimu dan aku akan belajar untuk melupakan Stefan." Amanda mengungkapkan kebahagiaannya karena bisa menemukan sosok sahabat baik seperti Tama yang sabar mendengarkan cerita-ceritanya.
Sesaat kemudian Amanda kembali mengurai pelukannya dengan semburat bahagia yang menghiasi wajahnya.
"Sekarang antar aku pulang yuk, pasti Mommy dan Daddy-ku khawatir banget karena sejak aku pergi dari kemarin sampai saat ini masih belum pulang ke rumah. Mana ponselku juga lowbat, untungnya semalam pas di klub aku sempat kabarin mereka walau harus sedikit berbohong, aku mengatakan pada mereka kalau aku bertemu dengan teman kuliahku sewaktu London jadi mereka mengizinkanku untuk jalan bersama." Ajak Amanda sambil menarik tangan Tama.
"Ah, dasar wanita pembohong. Tadi kamu bilang akan mengatakan pada Daddy-mu kalau kamu bekerja di perusahaanku karena melamar lalu diterima, ternyata semalam kamu bisa datang ke klub itu karena berbohong pada mereka juga!" umpat Tama yang tak menolak saat wanita itu menarik lengannya untuk pergi meninggalkan kamar tempat mereka semalam menginap.
"Aku tidak punya cara lain, Tama. Kalau aku tidak berbohong mana mungkin aku bisa pergi ke klub dan bertemu orang menyebalkan sepertimu!" ledek Amanda sambil terus melangkah hingga ia keluar dari kamar.
"Apa katamu, aku menyebalkan? Kalau begitu kenapa kamu menggenggam tangan orang yang bagimu menyebalkan?" tanya Tama yang tengah mengajukan protes.
Amanda menatap ke arah Tama dengan kedua mata yang membulat sempurna. "Hei, aku ini hanya bercanda. Lagipula walau pada kenyataannya kamu memang sangat menyebalkan, tapi kamu begitu baik dan aku menyukaimu."
Perkataan Amanda entah mengapa bisa meluluhkan sikap Tama yang semula begitu kesal mendengar pengakuan wanita yang mengatakan dirinya begitu menyebalkan.
"Maksud Amanda apa ya mengatakan aku baik dan dia menyukaiku?" batin Tama yang hanya mampu bertanya dalam hati dengan sikapnya yang kini mulai salah tingkah. Bahkan saat ini wajahnya tampak memerah karena pujian yang terlontar dari mulut Amanda.
Begitu tiba di lobi hotel, terlihat sebuah mobil mewah milik Pratama yang dikendarai oleh Michael telah terparkir di depan lobi. Sang asisten pun bergegas keluar dari mobil begitu kedua matanya melihat kemunculan sosok Pratama bersama seorang wanita yang semalam menginap dengannya di sana. Michael segera membukakan pintu untuk mempersilahkan keduanya masuk.
"Selamat siang, Tuan."
Michael yang hanya menyapa Pratama tanpa menyapa Amanda juga, membuat Tama berdesis kesal dan menatap tajam wajah asistennya yang seolah mengisyaratkan agar Michael dapat menghargai wanita yang berada di sampingnya.
"Selamat siang juga, Nona. Mari silakan masuk!" sapa Michael setelah mengerti dengan perintah Tama melalui sorot mata pria itu saat menatap ke arahnya.
"Selamat siang juga, Tuan. Terima kasih ya karena kamu sudah repot-repot sampai membukakan pintu untukku." Amanda menjawab dengan ramah sambil menampilkan seulas senyumannya yang terlihat begitu manis. Setelah itu, Amanda pun mulai masuk ke dalam lebih dulu sebelum Tama menyusulnya.
Begitu Tama hanya tinggal berdua dengan Michael yang masih berdiri di hadapannya, pria itu mulai memberikan ultimatum pada asistennya. "Mike, dia adalah sahabat saya. Namanya Amanda, jadi kau harus bersikap sopan saat berada di hadapannya. Kau mengerti itu?"
"Baik Tuan, saya mengerti. Mohon maaf atas kejadian tadi." Michael mengakui kesalahannya dan segera meminta maaf sambil membungkuk hormat.
"Ya sudah, cepat masuk ke dalam dan kita antarkan Amanda pulang ke rumahnya dulu di Pondok Indah!" titah Tama dengan suaranya yang tegas.
"Baik Tuan. Oh ya, saya ingin menyampaikan pesan dari Nyonya Rosie yang meminta Anda untuk segera pulang karena Nona Nathalie bersama kedua orang tuanya datang sejak semalam saat Tuan sedang berada di klub."
Seketika Pratama mengusap pelipisnya dengan perlahan setelah ia teringat akan janji yang telah ia lupakan, janjinya pada Nathalie yang sudah mengatakan akan sampai di Jakarta kemarin malam.
"Oh my God. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan janjiku pada Nathalie untuk menjemputnya di bandara semalam. Pasti sekarang dia sangat marah padaku, karena begitu sampai di rumah dia tidak menemukan keberadaanku!" umpat Tama di dalam hatinya untuk merutuki dirinya sendiri.
"Baiklah, aku harus segera pulang dengan membawa sesuatu yang dapat membuatnya mudah untuk memaafkanku!" batin Tama memutuskan, setelah ia menemukan sebuah cara agar calon istrinya yang sudah menunggu di rumah tidak marah terlalu lama ketika dirinya pulang nanti.
Pratama pun bergegas masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Amanda, lalu pintu pun ditutup oleh Michael yang kemudian segera duduk di bangku kemudi untuk mulai mengendari mobil sesuai tujuan yang tuannya perintahkan.
Seketika mobil pun melesat pergi meninggalkan pelataran lobi hotel yang berlokasi di Senopati menuju Pondok Indah. Tama sudah merencanakan akan mampir ke mall setelah ia mengantarkan Amanda pulang untuk membeli kado spesial khusus tunangannya yang sudah jauh-jauh datang dari London.
"Manda, persiapkan dirimu untuk mulai bekerja besok ya. Ini kartu namaku, begitu ponselmu sudah aktif jangan lupa untuk hubungi aku," ucap Tama sambil menyodorkan sebuah kertas berukuran kecil ke hadapan Amanda.
"Oke, terima kasih. Aku pasti akan menghubungimu." Amanda menjawab dengan senyuman semringah yang terkesan bahagia.
Ya, ia bahagia karena Pratama mampu mengalihkan kesedihannya. Amanda tak dapat membayangkan jika ia tidak bertemu dengan sosok pria yang saat ini berada di sampingnya, entah kepada siapa Amanda harus menumpahkan beban yang begitu menyesakkan dadanya setelah putus dengan Stefan, karena wanita itu tak mungkin menceritakan kesedihannya pada Ayah dan Ibu tirinya.
"Ya Tuhan, aku merasa beruntung sekali memiliki sahabat se-perfect Tama. Terima kasih Tuhan karena Kau sudah mempertemukan aku dengannya semalam, aku percaya dia orang yang sangat baik karena dia begitu menunjukkan perhatiannya ketika aku menangisi Stefan. Tolong jagalah selalu hubungan baik kita berdua, Tuhan." Batin Amanda di kedalaman hatinya sambil menatap ke arah Pratama dan menatap wajahnya lekat-lekat.
"Hei, kenapa menatapku seperti itu?" tanya Tama sambil mengusap wajah Amanda yang terasa hangat dengan telapak tangannya. Pria itu jadi salah tingkah saat Amanda terus menatap wajahnya dalam-dalam.
Amanda tertawa renyah saat Tama menyapu wajahnya dengan seenaknya. "Enggak apa-apa kok, cuma pengen lihatin aja. Jangan pegang-pegang wajahku dong, aku paling enggak suka tau kalau ada orang yang menyentuh wajahku!" protes wanita itu sambil meninju pelan lengan Pratama.
"Berhenti menatapku seperti itu dong, Man, jantungku terasa mau copot tahu!" ucap Pratama yang hanya berani mengatakan hal itu di dalam batinnya. Lalu sebelah tangannya mulai mengusap d**a untuk menenangkan jantungnya yang terus berdebar tak beraturan.
Amanda pun mulai mengalihkan pandangannya dari wajah Tama dan menatap ke arah kaca mobil untuk melihat area luar yang menunjukkan jalanan yang macet.
"Tama, kalau dari rumahku ke perusahaanmu jaraknya berapa jam? Apakah aku akan terjebak macet seperti sekarang ini kalau mau berangkat kerja?" tanya Amanda yang mulai mempelajari jalanan Jakarta yang sangat padat tanpa spasi di setiap harinya.
"Hmm, begitulah Amanda. Jalanan di Jakarta memang tidak pernah sepi, apalagi saat jam berangkat dan pulang kerja. Mungkin dari rumahmu ke perusahaanku butuh waktu satu sampai satu setengah jam kalau macet seperti ini." Tama menjawab sambil memperhatikan wajah wanita itu dari samping karena asik melihat jalanan.
"Ya ampun, dulu waktu di London perjalanan dari rumahku ke tempat kerja hanya 15 menit. Berarti aku harus bangun pagi-pagi sekali dan berangkat kerja sepagi mungkin selama bekerja di Jakarta? Oh my God! PR banget sih!" umpat Amanda lalu mendengus kesal.
Mendengar Amanda mengeluh sebelum mencoba, membuat Tama tidak tega bila sampai melihat wanita itu kelelahan karena bekerja di perusahaannya.
"Michael, tolong nanti kau cek ketersediaan unit di apartemen South Hills . Jika ada yang kosong, urus pembeliannya untuk Amanda karena apartemen itu tepat sekali berhadapan dengan perusahaan dan akan memudahkan Amanda pulang-pergi selama bekerja!" titah Pratama pada asistennya yang fokus menatap ke depan selama berada dalam perjalanan.
Michael terkesiap mendengar perintah tuannya yang berniat membelikan unit apartemen mewah yang berada di tengah-tengah pusat kota untuk seorang wanita yang baru semalam dikenalnya. Namun, ia tak memiliki pilihan untuk menolak segala perintah yang terlontar dari mulut Pratama Wirayuda. "Baik Tuan, saya akan cek sesegera mungkin."
Amanda merasa hal yang Tama lakukan untuknya begitu berlebihan, ia pun segera menolak dengan keras untuk tidak menerima apapun pemberian dari pria itu.
"Tama, aku enggak mau ya kamu beliin apartemen untukku! Aku sudah punya tempat tinggal di rumah Daddy! Pokoknya kalau kamu sampai tidak mendengarkan perkataanku, maka aku tidak akan mau bekerja menjadi sekretarismu, tidak akan pernah!" ancam Amanda sambil memukul lengan kekar Pratama.
Mendengar ancaman yang terlontar dari mulut wanita itu, membuat Pratama berdesis dan akhirnya mengalah. "Baiklah. Michael, kau dengar apa yang Amanda katakan? Tidak perlu jadi beli apartemen karena dia akan tetap tinggal bersama orang tuanya!" tanya pria itu pada asistennya yang sedari tadi hanya menjadi pendengar baik tentang obrolan keduanya yang duduk di belakang.
"Baik Tuan, saya mengerti!" jawab Michael dengan lugas.
"Ternyata Nona Amanda bukan tipekal wanita matre, buktinya dia menolak pemberian dari Tuan Pratama. Padahal kalau dia mau, seharusnya dia terima saja apartemen mewah yang Tuan Tama tawarkan untuknya secara cuma-cuma." Michael bergumam di dalam hati atas penilaiannya terhadap sosok Amanda.
"Lebih baik saat ini aku menuruti keinginan Amanda daripada dia batal bekerja di perusahaanku! Mungkin suatu hati nanti aku bisa menghadiahinya sebuah apartemen, jika Amanda sudah bekerja beberapa bulan sebagai sekretarisku!" batin Tama sambil mengurut batang hidungnya yang lancip dengan perlahan.
Bersambung....