Tidak Bisa Dilupakan.

1128 Words
Jam di nakas menunjukkan pukul sembilan malam. Luna bangkit, berjalan ke dapur kecilnya, menuang segelas air putih. Cairan dingin itu menuruni tenggorokan, tapi tidak mampu mendinginkan pikirannya. Ia duduk di kursi makan, menatap kosong ke arah laptop yang masih terbuka dengan file skripsi. Teks yang penuh teori tampak blur di matanya. Tangannya bergerak ke keyboard, mencoba mengetik beberapa kata, namun segera terhenti. Fokusnya hilang. Sebagai gantinya, kepalanya dipenuhi pertanyaan. Kenapa tatapannya seperti itu? Kenapa aku merasa ada sesuatu? Apa mungkin hanya aku yang salah paham? Ia menenggak sisa air, lalu menutup laptop dengan kesal. “Aku harus berhenti mikirin ini. Ini nggak bener.” Tapi semakin ia berusaha berhenti, semakin jelas wajah Hayes dalam benaknya. Bahkan ia bisa membayangkan suaranya yang berat saat memberi instruksi kepada pelayan. Tegas, berwibawa, tapi ada sisi halus ketika menyebut namanya. Bulu kuduknya meremang. Ada semacam magnet yang tak terlihat, menarik dirinya mendekat pada sesuatu yang seharusnya ia jauhi. Kembali ke ranjang, Luna membaringkan tubuhnya. Kali ini ia mematikan lampu, hanya meninggalkan cahaya samar dari lampu tidur di sudut kamar. Gelap membuat pikirannya semakin liar. Ia membayangkan, bagaimana jika tadi ia menolak lebih keras? Mungkin Hayes akan tetap memaksa dengan nada tenangnya yang sulit dibantah. Bagaimana jika tadi, saat bersalaman, ia tidak buru-buru menarik tangan? Apakah genggaman itu akan bertahan lebih lama? Bayangan itu membuat dadanya sesak sekaligus hangat. “Luna, stop,” katanya pada diri sendiri. “Kamu nggak boleh gila kayak gini. Itu … Papanya Axel.” Namun semakin ia berusaha menolak, semakin bayangan itu menempel. Hingga pada akhirnya, matanya terasa berat. Ia tertidur dengan jantung yang masih berdebar, terbawa mimpi di antara rasa bersalah dan rasa ingin tahu. Sementara itu, di rumah Ludwig, Hayes berdiri di balkon lantai dua. Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma bourbon yang masih menempel di lidahnya. Di bawah sana, taman luas terlihat temaram, diterangi lampu kecil di sepanjang jalan setapak. Namun pikirannya bukan pada taman, bukan pada perusahaan, bahkan bukan pada Axel. Melainkan pada Luna. Ia teringat sorot mata gadis itu saat menunduk, suara lembut saat mengucapkan terima kasih, cara tangannya bergetar halus saat bersalaman. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Hayes menghela napas berat. “Apa yang kamu lakukan, Hayes? Dia sahabat anakmu.” Ia mencoba menepis pikiran itu, namun seperti halnya Luna, semakin ia melawan, semakin jelas bayangan itu muncul. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski ada getir di dalamnya. “Bahaya.” Namun entah mengapa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hayes merasa hidupnya tidak lagi monoton. Ada sesuatu yang berdenyut kembali—sesuatu yang ia pikir sudah lama mati. Dan ia tahu, ini baru permulaan. Malam itu, dua jiwa terpisah oleh jarak, tapi terikat oleh sesuatu yang tak kasat mata. Mereka sama-sama tahu, ada batas yang tidak boleh dilanggar. Namun mereka juga tahu, dalam hati kecil masing-masing, batas itu mulai terlihat rapuh. Luna menggenggam bantal erat-erat, sementara Hayes menegakkan tubuhnya di balkon. Keduanya terdiam, terperangkap dalam perang batin yang sama. Sadar bahwa sekali mereka menyerah pada perasaan ini, segalanya akan berubah. *** Pagi itu, sinar matahari menembus tirai apartemen Luna. Alarm ponselnya sudah berbunyi berkali-kali, namun ia masih bergelung di balik selimut. Malam tadi ia sulit tidur. Bukannya karena tugas atau skripsi, melainkan karena pikirannya dipenuhi bayangan Hayes Ludwig. Tatapan itu, suara itu, senyum tipis yang seolah menempel di kulitnya. Luna memejamkan mata lebih rapat, berharap semua itu hanya imajinasi, hanya efek kelelahan. Tapi begitu ia membuka mata, ponselnya bergetar di meja samping ranjang. Axel: “Na, jadi nggak kita lanjut skripsian hari ini? Aku males ke perpustakaan, ribet banget kalau mesti bisik-bisik. Di rumah aja, enak, banyak buku, banyak makanan juga.” Luna menarik napas panjang. Tentu saja Axel mengajak ke rumahnya lagi. Dan tentu saja, di rumah itu ada sosok yang sejak semalam memenuhi kepalanya. Tangannya ragu saat mengetik balasan. Luna: “Nggak di kampus aja? Lebih deket.” Balasannya cepat sekali datang. Axel: “Yahhh, di kampus tuh rame, Na. Mau ngomong dikit aja mesti jaga volume suara. Belum lagi kalau ada yang duduk mepet, kan jadi nggak bebas. Di rumah aku lebih enak, trust me. Ada ruang belajar, ada buku, ada cemilan. Kapan pun mau break tinggal turun ke dapur. Gimana?” Luna menggigit bibir bawahnya. Sebagian dirinya ingin menolak. Ia masih belum siap bertemu lagi dengan Hayes. Tapi di sisi lain, ia tahu Axel benar. Rumahnya memang punya fasilitas lebih lengkap. Diskusi skripsi mereka akan jauh lebih lancar di sana. Luna: “Yaudah deh, tapi jangan sampai malem ya.” Axel: “Deal! Gue jemput jam 10, siap-siap ya.” Pesan itu membuat jantung Luna berdetak lebih cepat, bukan karena Axel, melainkan karena bayangan apa yang mungkin akan ia hadapi nanti di rumah itu. Jam sepuluh kurang lima, ponsel Luna berdering lagi. Axel sudah di bawah apartemen, mengklakson mobilnya tanda menunggu. Luna memeriksa dirinya di cermin. Kemeja putih sederhana, celana jeans, rambut dibiarkan terurai rapi. Tidak ada yang berlebihan. Tapi entah kenapa, ia merasa gugup, seolah sedang bersiap menemui seseorang yang jauh lebih penting daripada sekadar sahabat. “Ini cuma buat skripsi. Fokus. Jangan mikirin yang lain,” gumamnya, mencoba menguatkan diri. *** Perjalanan menuju rumah Ludwig diwarnai obrolan ringan Axel. Tentang dosen pembimbing mereka yang katanya perfeksionis, tentang temannya yang baru ditolak sidang proposal, sampai tentang game terbaru yang ia mainkan. Luna sesekali tertawa, mencoba larut dalam percakapan. Tapi jauh di dalam, pikirannya terus saja berputar. Saat mobil Axel memasuki gerbang besar rumah Ludwig, rasa gugup itu kembali menyeruak. Gerbang besi otomatis terbuka, memperlihatkan halaman luas dengan pepohonan rapi dan taman yang tertata indah. Rumah itu berdiri megah, dinding kaca memantulkan cahaya matahari pagi, membuatnya terlihat semakin berwibawa. “Welcome back, partner skripsi,” ucap Axel sambil terkekeh, memberhentikan mobil di dekat teras. Luna turun, menghirup aroma taman yang segar. Meski ini bukan kali pertamanya, tetap saja ada aura menekan dari rumah ini. Dan tentu saja, ia tahu siapa penyebabnya. Di pintu, seorang pelayan sudah menunggu. “Selamat pagi, Tuan Muda. Nona Luna.” Axel mengangguk santai. “Pagi. Kita langsung ke ruang belajar aja, ya.” Luna ikut melangkah, mencoba menenangkan diri. Mungkin Papanya Axel lagi sibuk di kantor. Mungkin aku nggak akan ketemu dia. Tapi langkahnya otomatis melambat saat melewati ruang tamu. Matanya menyapu cepat, mencari sosok tinggi tegap yang sejak semalam menghantui pikirannya. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Luna menarik napas lega. Di ruang belajar, Axel segera sibuk membongkar buku-buku tebal dari lemari. “Nih, ini persis yang kita butuhin. Strategic Management, Organizational Behavior, Marketing Principles … lengkap banget, kan?” Luna tersenyum tipis, menerima buku yang disodorkan. “Iya, lengkap sih. Perpustakaan berjalan.” Axel jatuh ke kursinya dengan gaya malas. “Makanya aku bilang, di rumah aja enak. Mau makan tinggal bilang. Mau minum tinggal turun. Mau ngobrol teriak kaya tarzan juga nggak ada yang negur. Gimana, betah kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD