Godaan yang Tak Terduga.

1324 Words
Udara siang itu lembap, matahari menyorot tajam melewati kaca jendela besar rumah keluarga Ludwig. Aroma kopi hitam masih menguar dari meja ruang belajar, sementara tumpukan buku tebal berserakan di atas karpet lembut. Axel sudah duduk bersila dengan laptop terbuka, jari-jarinya cekatan menekan keyboard. Sementara itu, Luna duduk agak berjarak, membolak-balik catatan skripsinya dengan kening berkerut. Ia mencoba fokus, tapi entah kenapa perasaannya sering terganggu. Bukan oleh Axel, melainkan oleh sosok lain. Hayes. “Luna, kamu udah nulis bagian tinjauan pustaka kan?” tanya Axel sambil menoleh. “Oh … iya, sudah. Tapi aku masih bingung cara nyambungin dengan metode penelitian,” jawab Luna, agak terbata. Ia buru-buru menunduk, menuliskan sesuatu di bukunya, mencoba menyembunyikan wajah yang terasa panas. Padahal penyebabnya sederhana: beberapa detik sebelumnya, Hayes baru saja lewat, dengan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Aroma parfumnya samar tapi menusuk, dan tatapannya … Tuhan, tatapannya seakan menahan sesuatu. Axel tidak sadar. Ia terlalu sibuk dengan data skripsinya. “Kalau gitu kita cocokin nanti sore. Aku bantuin kamu bikin kerangka,” ucap Axel sambil tersenyum tulus. Luna membalas senyum itu, merasa hangat. Axel memang baik, sabar, dan selalu mau membantu. Tapi jauh di lubuk hati, ia tahu dirinya mulai goyah. Karena senyum Axel tidak bisa menyingkirkan bayangan Hayes dari kepalanya. Axel akhirnya bangkit, merenggangkan tubuhnya. “Aku keluar dulu ya, mau ambil minum lagi. Kamu tungguin sini aja.” “Hmm, iya,” jawab Luna singkat. Begitu Axel melangkah pergi, suasana ruang tamu jadi lengang. Luna menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia lalu membuka tas kecilnya, mencari pulpen. Tapi nihil. Ia yakin pasti ketinggalan. “Duh, pulpenku mana sih …,” gumamnya. Mata Luna lalu tertuju pada sebuah pintu kayu agak jauh di ujung lorong. Ia ingat Axel pernah bilang itu ruang kerja Hayes. Hatinya sempat berdebar, tapi logikanya menenangkan: Cuma pinjam pulpen. Sebentar saja. Nggak akan ada yang salah. Dengan langkah ragu, Luna berdiri dan berjalan ke arah pintu itu. Ruang kerja Hayes berbeda dari ruang belajar yang terang. Begitu Luna mendorong pintunya, aroma kayu dan wangi maskulin langsung menyergap. Rak buku tinggi menjulang di dinding, meja kerja dari kayu gelap berdiri megah dengan lampu meja menyala redup. Luna melangkah pelan, matanya menyapu meja. Ada pulpen hitam elegan di atas tumpukan dokumen. Ia mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Namun sebelum sempat menggenggam, suara dalam bariton rendah terdengar di belakangnya. “Mencari sesuatu?” Luna terperanjat. Tubuhnya menegang, napas tercekat. Ia menoleh perlahan, dan di sana—bersandar di kusen pintu dengan tangan terlipat—berdiri Hayes. Kali ini Hayes mengenakan kemeja berwarna navy gelap dengan potongan slim fit, lengan panjangnya digulung hingga siku, memberi kesan kasual namun tetap berwibawa. Beberapa kancing atas tetap terbuka, menyingkap kulit dadanya yang maskulin. Tatapannya dalam, tajam, seperti mampu menelanjangi isi kepala Luna. “A-aku cuma … pinjam pulpen,” ucap Luna terbata, buru-buru mengambil pulpen dan menggenggamnya erat. Hayes melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan bunyi klik pelan. Suara itu terdengar begitu tegas di telinga Luna, seolah memutus jalur kabur. “Pulpen?” Hayes mendekat, suaranya rendah dan tenang. “Kamu yakin hanya itu?” Luna menelan ludah. Ruangan terasa semakin sempit, udara semakin berat. Jarak mereka kini hanya beberapa langkah. “Ya … aku cuma butuh pulpen untuk catatan,” jawabnya, berusaha terdengar wajar. Hayes menundukkan sedikit kepalanya, menatapnya dari bawah dengan senyum samar yang sulit ditebak. “Lucu sekali … karena setiap kali aku melihatmu, sepertinya ada hal lain yang kamu butuhkan.” Jantung Luna berdegup kencang, telapak tangannya basah. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Di luar, langkah kaki Axel terdengar samar, semakin mendekat. Tapi di dalam ruangan, ketegangan antara Luna dan Hayes sudah mencapai puncaknya—dua jiwa yang tahu mereka tidak boleh, tapi juga tidak bisa menolak tarikan satu sama lain. Pintu ruang kerja tertutup rapat. Luna terjebak di dalam bersama Hayes. Tatapan mereka terkunci, udara penuh ketegangan. Untuk pertama kalinya, tidak ada penghalang antara keduanya. Udara di ruang kerja terasa berbeda—lebih berat, lebih pekat. Aroma wine dengan wangi khas kayu tua dan parfum maskulin yang samar melekat di udara. Rak-rak tinggi dipenuhi buku berjilid tebal, ada peta dunia tergantung di dinding, dan meja kayu gelap yang begitu rapi kecuali satu bagian: tumpukan kertas dengan pulpen hitam di atasnya. Luna berdiri di sisi meja itu, masih menggenggam pulpen yang tadi ia ambil. Tapi kini tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena sadar pria di hadapannya menatapnya dengan cara yang terlalu intens untuk ia abaikan. Hayes tidak terburu-buru. Ia berjalan pelan, langkah kakinya mantap di atas karpet tebal. Setiap langkah mendekat membuat tubuh Luna semakin kaku. “Kamu tahu,” ucap Hayes akhirnya, suaranya rendah, agak serak seperti baru bangun tidur, “ruang kerja ini biasanya tidak dimasuki sembarang orang.” “Aku … maaf, aku cuma—” “Pulpen.” Hayes menyelesaikan kalimat itu untuknya. Senyumnya samar, lebih seperti seringai tipis yang penuh rahasia. Luna menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. “Iya. Aku cuma butuh pulpen.” Hayes berhenti tepat di depannya, begitu dekat hingga Luna bisa mencium wangi cologne yang menempel di tubuhnya. Ia mengulurkan tangan, jemarinya terulur ke arah pulpen yang digenggam Luna. “Kalau begitu ….” Ia menatap lurus ke mata Luna, “biar aku yang memberikannya padamu dengan benar.” Luna terperangah. Ia merasa tangannya refleks ingin menyerahkan pulpen itu, dan Hayes langsung menyambutnya. Jemarinya sempat bersentuhan dengan jemari Hayes, singkat tapi cukup untuk membuat darahnya berdesir. Jantung Luna berdegup begitu keras hingga ia takut Hayes bisa mendengarnya. “Lihat?” bisik Hayes, nadanya seolah menggoda, “lebih baik begitu. Ada aturan, bahkan untuk hal sederhana.” Luna mengangguk cepat, terlalu panik untuk berkata banyak. Hayes tidak langsung meletakkan pulpen itu, melainkan memutarnya santai di antara jarinya—gerakan sepele, tapi di mata Luna terasa seperti permainan yang disengaja. Tatapannya tidak lepas dari wajah Luna. Ada sesuatu di sana—rasa ingin tahu, ketertarikan, dan entah apa lagi yang membuat Luna semakin salah tingkah. “Semester akhir, ya?” ucap Hayes tiba-tiba, bukan bertanya, lebih seperti menegaskan sesuatu yang sudah ia ketahui. “Sedang skripsi?” Luna menelan ludah, pelan mengangguk. “Iya.” “Kalau begitu ….” Hayes mencondongkan tubuh sedikit, jarak mereka kini hampir tanpa ruang. Senyumnya samar, nadanya berat. “… sepertinya aku akan sering melihatmu di rumah ini.” Kata-katanya sederhana, tapi cara ia mengucapkannya membuat bulu kuduk Luna meremang. Luna mundur setengah langkah, punggungnya hampir menyentuh rak buku. “Aku … hanya membantu Axel,” jawabnya gugup. Hayes menundukkan kepala sedikit, matanya menyapu wajah Luna dengan begitu perlahan, seolah menghafal setiap detail. “Membantu, ya?” ia mengulang kata itu, nada suaranya seperti mempertanyakan, bukan sekadar mengulang. Luna menelan ludah, tenggorokannya kering. “I-itu … iya. Skripsi.” Hening sesaat. Hanya suara jarum jam di dinding yang berdetak pelan, mengisi ruangan yang seakan menutup mereka berdua dari dunia luar. Kemudian, Hayes menyodorkan kembali pulpen itu. Tapi ia tidak sekadar menyerahkannya—ia menggenggam tangan Luna, membimbing jemarinya untuk menggenggam pulpen dengan lembut. Jemari mereka bersentuhan. Hangat. Tegangan listrik halus merambat dari kulit ke kulit. Luna terkejut dengan betapa dalam tatapan pria itu saat matanya menembus miliknya. Ada magnet yang tidak bisa ia lawan. “Aku rasa,” gumam Hayes lirih, suaranya nyaris seperti desahan, “kamu lebih berbahaya daripada yang terlihat, Luna.” Nama itu keluar dari bibirnya dengan begitu intim, membuat d**a Luna sesak. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Suara langkah kaki terdengar samar dari lorong luar—Axel. Tapi Hayes tidah terusik. Ia masih menahan jemari Luna, masih menatapnya seolah tidak ada siapapun selain mereka berdua di dunia ini. “Peganglah baik-baik,” kata Hayes akhirnya, melepaskan tangannya dengan lambat, seolah enggan. Luna menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya. Tapi semakin ia berusaha, semakin ia sadar tubuhnya bereaksi dengan cara yang tidak bisa ia kendalikan. Pintu ruang kerja masih tertutup rapat. Dan di dalam, hanya ada mereka berdua—Luna yang salah tingkah dan Hayes yang tampak menikmati permainan halus ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD