“Makan-makan, yuk?” ajak Kaia usai shift kerjanya berakhir.
“Wuidih, istri bos besar emang beda,” goda Aria –salah satu rekan kerja Kaia– sambil menaik-turunkan alisnya.
Kaia tertawa. “Gue ngajakin lo doang, males jadi gunjingan kalau ngajakin yang lain.”
Cengiran Aria langsung sirna. “Bener juga.”
Salah satu konsekuensi dari tindakan nekat Kaia menikahi Ben adalah siap menjadi gunjingan orang sekantor. Dan tentu saja sekarang namanya sudah jadi nama teratas orang yang paling banyak dibicarakan di grup-grup gosip kantor.
“Hei, nggak usah ikutan sedih, gue aja yang digosipin biasa aja.” Kaia menepuk pundak Aria pelan saat melihat ekspresi sedih di wajah Aria.
“Lo mah apa-apa dibawa santai. Putus sama Farel bukannya nangis bombay malah lembur. Aneh lo, Kai.”
Kaia kembali tertawa. Teringat malam saat ia memergoki Farel b******u mesra dengan Freya di sebuah kelab malam. Ia memang memilih lembur setelah putus dengan Farel malam itu juga. Bukan karena ia tidak sedih, tapi karena ia tak punya cara lain untuk mengalihkan rasa sakit di dadanya selain dengan lembur.
Aria tidak tahu saja apa yang terjadi di balik senyum sok kuat yang selalu tersemat di wajah Kaia. “Hidup cuma sekali, nggak rela gue kalau harus nangisin cowok b******k kayak Farel.”
“Tapi dia sekarang anak tiri lo. Eh, buset! Gue baru nyadar ya dia jadi anak lo dong berarti sekarang?” Aria membelalak, seolah baru menyadari fakta itu.
Tawa renyah Kaia kembali terdengar. “Iya. Gue tinggal serumah juga sama dia.”
“Seriusan?!”
Kaia mengangguk mantap. “Jadi gue punya misi, gue bakal jadi ibu tiri jahat buat mereka.”
Kini giliran Aria yang tertawa terpingkal-pingkal. “Jangan-jangan lo sengaja nikahin bapaknya buat balas dendam ke anaknya?”
Kaia hanya mengedikkan bahu, tak menjawab. Mereka sudah tiba di parkiran dan menaiki motor masing-masing. Mereka akan belanja dan makan enak hari ini.
Namun baru saja Kaia hendak menyalakan motor, ponsel Kaia berdering panjang. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan mengernyit saat melihat nama Ben tertera di sana.
“Halo, Pak? Ada apa?”
“Kamu di mana?” Suara Ben datar seperti biasa.
“Di parkiran, lagi mau pulang. Kenapa, Pak?”
“Jangan pulang dulu, ikut saya ke suatu tempat.”
***
Akhirnya Kaia terpaksa membatalkan janjinya dengan Aria untuk belanja dan makan-makan. Ia tak bisa menolak perintah bos besar alias suaminya sendiri.
Maka di sinilah Kaia sekarang, di sebuah butik bernama La Belle Attire. Seorang designer muda nan cantik sedang mengukur tubuhnya. Sementara Ben duduk di sofa, menunggunya selesai.
“Buatkan lima gaun sekaligus, ya? Sesuaikan dengan kriteria tubuhnya. Saya mau semuanya membuat dia terlihat elegan dan berkelas.” Ben memberi perintah pada Bela, designer sekaligus pemilik butik ini.
“Siap, Pak.” Bela tersenyum lebar, kemudian beralih pada Kaia. “Kamu punya preferensi warna tertentu?”
“Hm… saya suka warna biru,” jawab Kaia.
“Oke, akan saya buatkan satu atau dua gaun berwarna biru. Ada warna yang nggak kamu suka?” Bela bertanya, wajahnya terlihat selalu tersenyum.
Sejauh ini Kaia senang bekerjasama dengan Bela. “Mungkin… abu-abu dan ungu. Saya nggak terlalu suka dua warna itu.”
Bela mengangguk mengerti, kembali ke mejanya dan mencatat hasil pengukuran serta preferensi yang disebutkan Kaia.
“Acara pesta terdekat kita adalah pesta amal dan undangan dari Bela buat launching koleksi terbarunya. Saya harap kamu bisa merepresentasikan diri kamu sebagai istri saya dengan baik di dua acara itu, Kai.” Ben bicara lagi.
“Launching koleksi? Kayak fashion show gitu?” tanya Kaia memastikan.
“Iya, saya mengundang Pak Ben karena beliau pelanggan VIP butik ini.” Bela menjelaskan.
“Oh, begitu.” Kaia mengangguk-angguk. Ia baru tahu kalau orang kaya banyak mengadakan dan menghadiri pesta.
Lima belas menit kemudian, mereka akhirnya selesai. Bela mengatakan bahwa dua minggu lagi mereka sudah bisa melakukan fitting. Ben memang meminta agar semuanya diproses super cepat karena dua acara tadi akan diselenggarakan bulan depan.
“Silakan, Pak Ben.” Bela mempersilakan Ben untuk berdiri di depannya, kini giliran Ben yang diukur.
“Kak, di sini ada toilet kan?” tanya Kaia pada Bela. Ia memutuskan untuk memanggil Bela dengan ‘kak’ karena Bela terlihat lebih tua darinya.
“Oh, ada kok. Dari sini turun aja, toiletnya di bawah tangga.” Bela menjelaskan dengan ramah.
“Oke, Kak. Makasih.”
Kaia segera keluar dari ruangan dan menuruni anak tangga. Namun langkahnya terhenti tepat sebelum ia masuk ke toilet.
“Lo ngapain di sini?”
Kaia menoleh, mendapati wanita yang paling ia benci sedunia sedang menghampirinya. Siapa lagi kalau bukan Freya?
Ia mendengus pelan, tak menjawab, dan tetap melangkah masuk ke toilet.
Freya menyambar pundak Kaia, menghentikannya. “Gue tanya, lo ngapain di sini? Orang miskin kayak lo kok bisa-bisanya masuk ke sini?”
“Bukan urusan lo.” Kaia menghempaskan tangan Freya dari pundaknya.
“Lo sama papa ke sini?”
“Sama siapa lagi?”
“Ngapain?”
“Bikin gaun buat pesta.” Kaia memutuskan untuk memanas-manasi Freya. “Gue bikin lima sekaligus,” katanya jumawa.
Freya merengut kesal. “Pesta apaan? Emang lo pernah ke pesta?”
“Gue emang belum pernah ke pesta, tapi habis ini gue bakal sering diajak suami gue ke pesta.” Kaia menyeringai saat melihat Freya semakin kesal. “Lo kalau pengen, minta juga sama suami lo,” pungkasnya lalu masuk ke toilet dengan seringai lebar.
“Masa sih dia betulan bikin gaun di sini?” gumam Freya dipenuhi rasa cemburu.
Siapa yang tidak tahu butik La Belle Attire? Salah satu butik paling terkenal dan mahal yang ada di ibukota. Bukan hanya para konglomerat, artis dan model ibukota juga sering menggunakan produk buatan butik itu.
Freya mencengkram ponselnya erat, menempelkannya ke telinga. “Farel, aku mau bikin gaun di La Belle Attire!” ucapnya manja dan menuntut.
***
Freya tak bisa tidur, ia masih kesal karena Farel menolak permintaannya untuk membuat lima gaun di butik mahal itu. Farel juga tidak tahu soal pesta yang akan dihadiri Kaia dan Ben, ini membuat Freya semakin dongkol.
“Duh, kesel banget! Masa cuma boleh bikin satu?” Freya menghentakkan kakinya, melirik Farel yang tertidur pulas.
Akhirnya ia memutuskan untuk keluar kamar. Ia ingat ada taman dan kolam renang di belakang rumah, mungkin ia bisa mendinginkan kepalanya di sana.
Freya berjalan seorang diri di keheningan malam. Namun langkahnya terhenti saat ia mendengar suara-suara aneh ketika melintasi ruang tengah yang memisahkan kamar Farel dan kamar Ben.
“Itu suara apa?” gumamnya sambil berjalan pelan mendekati sumber suara.
Freya menelan ludah saat menyadari suara aneh itu berasal dari kamar Ben. Semakin ia melangkah mendekat, suara itu semakin terdengar jelas.
“Ah, Pak….” Desahan kenikmatan itu kini menyapa telinga Freya dengan lebih jelas.
Freya mematung setengah meter di depan pintu kamar Ben.
“Pak, Ah!” Desahan itu berubah menjadi jeritan yang melengking pendek.
Tubuh Freya meremang seketika. Bayangan Ben dan Kaia sedang b******u mesra di dalam sana segera memenuhi kepalanya.
“Ah… ah!” Jeritan Kaia terdengar semakin kencang dan panjang sekarang. Sampai akhirnya suara itu perlahan melemah.
Freya menutup mulutnya dengan tangan. Matanya membelalak tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. “Dia… klimaks?” gumamnya dengan wajah memerah. “Gimana rasanya? Gue belum pernah sama Farel,” lirihnya mengasihani diri sendiri.
Kecemburuan di d**a Freya kini semakin menjadi-jadi. Yang awalnya hanya berupa percik api kecil, kini berubah menjadi lahar panas yang melelehkan akal sehatnya.