Bab 7. Mengulangi Malam Pertama

1076 Words
Kata-kata yang dilontarkan Celina membawa ia ke kubangan yang begitu dalam. Ia salah berstrategi, walau sebenarnya ia sedang mengungkapkan kemarahannya pada Darren. Tapi, ia secara tidak langsung membangunkan singa sedang tidur. Kini, tinggal tubuhnya yang tak berdaya, lemas di atas ranjang yang ada di dalam kamar hotel mewah. Berulang kali pria itu menyatukan tubuhnya dalam keadaan sadar diri, dan berulang kali Celina memberontak, tapi kekuatan tidak sekuat tubuh Darren yang begitu gagah dan kuatnya. Penyatuan tanpa rasa cinta, penyatuan tanpa sentuhan manis, Darren langsung main pada intinya dan hal itu membuat hati Celina tersayat-sayat. Sakit tak berdarah, menambah luka bagi wanita itu. Ia benar-benar diperlakukan bak w************n oleh suaminya. Usai dipakai, tanpa basa basi ditinggalkan begitu saja oleh Darren. “Aku membencimu!! Laki-laki biadab!!” jerit Celina dengan dadanya yang terasa sesak. Air matanya kembali luruh tanpa permisi. Tanpa diketahui Celina, Darren tidak meninggalkannya seorang diri. Ia berada di ruang tamu memandang pemandangan dari jendela sembari menelepon asistennya. “Belikan beberapa setel baju untuk Celina, dan antarkan ke hotel,” titah Darren. “Baik Tuan. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Ziyad sebelum mengakhiri percakapan. “Sekalian surat perjanjiannya bawa ke hotel.” Darren baru teringat. “Baik Tuan.” Usai mengakhiri sambungan teleponnya, Darren membalikkan badannya menatap pintu kamar. Lalu, terdengar bel kamar berbunyi, ia bergegas membukanya dan mempersilakan karyawan hotel untuk menaruh beberapa makanan yang ia pesan. Setelah selesai, barulah ia kembali ke kamar yang menjadi saksi bisu menikmati surga dunia dari istri barunya. Melupakan permintaan Talita yang tidak memperbolehkan ia menggauli Celina. Namun, sayangnya hari ini ia berkhianat dan sangat menikmatinya. “Maafkan aku, Talita. Hanya untuk hari ini saja,” batin Darren saat teringat Talita. Celina mendengar suara derit pintu kamar, ingin rasanya ia menolehkan wajahnya ke belakang, tapi ia sudah tak sanggup. Hanya bisa memejamkan mata dengan linangan air matanya. Sedangkan Darren menatap punggung wanita itu yang menghadap ke jendela, seraya melangkah mendekati ranjang tersebut. “Sebaiknya kamu bangun dan makan. Saya sudah memesankan makanan!” Ini bukan perhatian tapi bentuk perintah yang diucapkan Darren dengan nada tegasnya. Perlahan-lahan Celina membuka kelopak matanya sambil berkata, “Buat apa saya makan? Apakah saya harus isi tenaga agar bisa menerima pelampiasan Tuan kembali?” Pria itu berdecak kesal. “Oh, jadi kamu menginginkan lagi? Kalau kamu menginginkan lagi, baiklah, saya akan melakukannya lagi,” seloroh Darren. Langkahnya semakin mendekat, dan ia naik ke atas ranjang, tubuhnya langsung mengungkung Celina. Pria itu menarik pundak Celina agar posisinya terlentang tidak dalam posisi miring. Darren terdiam saat melihat wajah Celina begitu pucat, matanya semakin basah. “Lakukanlah Tuan, kalau bisa buat saya sampai mati. Bukankah Anda telah membeli saya, jadi ayo lakukan sepuasnya. Saya tidak akan memberontak. Percuma juga saya memberontak, saya sudah tidak ada harga dirinya di mata Tuan. Benar kata istri Tuan, saya ini hanyalah pelacuur,” ujar Celina bergetar. Darren yang tadi terdiam, kini tertegun. Ia baru menyadari satu hal saat mengamati dalam wajah istri keduanya. Sangat cantik, matanya yang basah itu sebenarnya sangat indah, hidung mancung, bibirnya seksi hanya saja ia belum pernah menyentuh bibir Celina. Dan, tidak akan ia lakukan. Ia tidak mau terlalu dalam diikatan pernikahan keduanya, tujuannya hanyalah menabur benih di rahim wanita itu tanpa melibatkan perasaan. “Tadi di luar saya mendengar kamu bisa berteriak , dan sekarang kamu tampak menyedihkan. Jangan berakting pada saya agar dapat rasa kasihan dan iba, karena saya tidak akan pernah kasihan padamu, Celina,” balas Darren menyeringai tipis. Celina tersenyum tipis. “Tuan Darren yang terhormat, saya tidak butuh belas kasih dari Tuan. Ayah saya saja telah menjual saya, dan kita belum pernah bertemu dan saling mengenal. Saya hanya minta Tuan melakukannya sampai saya mati. Karena tidak ada gunanya saya hidup di dunia ini. Cuma ... sebelum saya mati saya ingin bilang saya sangat membenci Anda, Tuan Darren,” ujar Celina begitu lembut, tangannya terangkat menyentuh wajah tampan pria itu dengan tatapan yang begitu dalam. Ujung mata Darren melirik tangan wanita itu dengan perasaan yang tidak nyaman. Lantas, ia menepis tangan wanita itu. “Sebaiknya kamu bersihkan badan, saya tunggu di luar! Kita makan sama-sama,” perintah Darren, kemudian menarik diri dari atas tubuh Celina. Suara pintu terbanting terdengar jelas dengan menghilangnya sosok pria itu. Celina tertawa kecil, lebih tepatnya ia menertawakan takdir yang menghampirinya. “Mama, aku sudah hancur Mah. Apakah aku akan kuat Mah? Kenapa Mama tidak menjemputku saja sekarang?” gumam Celina, menangis dalam diamnya. Beberapa menit ia mencoba menenangkan dirinya, kemudian ia menyibakkan selimut yang menutupi bagian pinggang ke bawah yang tidak memakai sehelai kain pun. Dengan tatapan kosong ia menyeret kaki dan tubuhnya yang terasa lemas dan lelah menuju kamar mandi. Celina tersenyum tipis saat berada di dalam kamar mandi. Dinyalakannya kran air di bathtub, lalu memberikan sabun cair ke dalam air tersebut, kemudian ia melepas kemeja dan penutup assetnya hingga terjatuh di lantai. Usai itu dengan perlahan-lahan ia membawa tubuhnya berendam di bathtub tanpa menutup kran air. Celina lagi-lagi tersenyum sendiri sembari memainkan busa sabun berulang kali. Ia berharap bisa mengalihkan rasa sakit di tubuhnya, tapi tetap saja ia merasakan tubuhnya amat lelah seakan nyawanya ingin melayang, hingga semakin lama pandangan matanya mulai kabur. Waktu sudah 40 menit berlalu, Darren bolak balik di ruang tamu sembari menatap pintu kamar. Ia ingin masuk ke dalam kamar untuk mengajak Celina makan siang yang sudah melewati waktu, tapi langkahnya terasa berat. “Celina, cepat keluarlah! Saya sudah tidak mau menunggu terlalu lama lagi!” panggil Darren dengan mengetuk pintu. Sunyi tidak ada sahutan dari dalam. “Apa dia tertidur?” tanya Darren sendiri. Ia melirik handle pintu. “Celina, jangan cari gara-gara dengan saya!” Suara Darren meninggi. “Saya hanya minta kamu keluar dari kamar dan makan!” lanjut Darren bersuara. Lagi-lagi tidak ada jawaban, dengan rasa kesalnya pria itu membuka pintu kamar membawa rasa amarahnya karena perintahnya tidak diindahkan. “Celina!” panggil Darren saat melihat di atas ranjang tidak ada. Wajah Darren masih terlihat tenang. “Celina, kamu di kamar mandi?” tanya Darren saat melihat pintu kamar mandi terkunci. Tidak ada sahutan dari dalam, lantas Darren menempelkan telinganya ke pintu. Terdengar suara gemericik air, ia pun lega karena menduga Celina sedang mandi. Namun, ia merasakan ada air keluar dari celah bawah pintu kamar mandi. “Kenapa bisa ada air dari kamar mandi?” Tubuh Darren tiba-tiba saja menegang. “Tidak ada gunanya saya hidup di dunia ini.” Ucapan Celina teringat kembali. “CELINA BUKA PINTUNYA!!” teriak Darren sembari menggedor-gedor pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD