1. Penghianatan

1295 Words
Langkah-langkah Yurika terdengar cepat menyusuri lorong apartemen dengan nomor yang sudah sangat ia kenali. Tempat di mana kekasihnya, Bagaskara Candra Winata, tinggal sejak satu tahun lalu. Hatinya berdebar, bukan karena gugup, tetapi karena semangat ingin memberi kejutan. Bukan kali pertama bagi Yuri mendatangi apartemen ini karena sudah beberapa kali Bagas membawanya ke sini. Hanya untuk sekedar singgah sebentar atau untuk mengambil barang yang tertinggal. Hari ini, Yuri ingin mengajak Bagas datang ke acara pernikahan ibunya Tania, sahabat Yurika yang sudah seperti saudara sendiri. Acara itu penting, dan ia ingin Bagas ada di sisinya. Ia tahu betapa dekatnya Tania dengannya, dan memang Yuri belum sempat mengatakan pada Bagas perihal undangan ini karena pernikahan ibunda Tania juga terkesan mendadak sekali. Dan tak ada salahnya jika Yurika ingin kehadiran kekasihnya melengkapi momen spesial itu. Namun, detik-detik berikutnya merenggut semua rencana manis dari benaknya. Yurika membuka pintu dengan kode yang masih ia hafal. Bagas memang pernah memberinya akses, tanda kepercayaan katanya. Tapi kini, kepercayaan itu seperti menjadi senjata makan tuan. Pintu terbuka tanpa suara. Ia menjejak masuk sambil tersenyum kecil, memanggil lirih, "Bagas..." Tidak ada jawaban. Ia berjalan pelan, melewati ruang tamu. Sepatu wanita berhak tinggi tersusun tak rapi di depan sofa. Awalnya Yurika tidak berpikir apa-apa. Tapi ketika ia mendengar suara tawa perempuan dari arah kamar tidur, hatinya tercekik. Langkahnya terhenti, napasnya tercekat. "Ah, kamu nakal banget sih, Gas..." Suara itu jelas bukan suara dirinya. Yurika mendekat, mendorong pintu kamar yang tak terkunci. Pemandangan di depannya membuat tubuhnya membeku. Bagas, kekasih yang sudah ia pertahankan selama hampir dua tahun, tengah duduk di ranjang bersama seorang perempuan berambut panjang dengan gaun tidur tipis. Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu intim. Dan senyum Bagas? Senyum itu seharusnya hanya untuknya. "Bagas?!" suara Yurika menggema nyaring. Bagas menoleh kaget. "Yurika! Ini—ini nggak seperti yang kamu pikirkan!" Yurika memundurkan langkahnya dengan tubuh gemetar. Ia tidak bisa percaya dengan apa yang dilihat matanya sendiri. "Bukan seperti yang kupikirkan? Jadi kamu pikir aku bodoh, Bagas? Aku lihat sendiri!" bentaknya dengan suara pecah, bergetar antara amarah dan luka yang meradang. Perempuan yang ada bersama Bagas buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut dan masuk ke dalam kamar mandi. Bagas melangkah cepat ke arah Yurika yang sudah berbalik dan berlari keluar dari unit apartemen. "Yurika! Tunggu dulu!" Ia tak mau. Ia tak sanggup. Kakinya seperti tak menyentuh lantai saat ia terus melaju ke arah lift. Air matanya mengalir deras, dadanya sesak seperti dihimpit batu besar. Namun, karena terlalu fokus pada pelariannya dan tak memperhatikan arah, Yurika menabrak seseorang yang baru saja keluar dari lift. "Aduh! Maaf, Kek! Saya... saya nggak sengaja," katanya cepat, menunduk dalam-dalam. Ponsel yang berada di tangan pria tua itu jatuh ke lantai. Yurika buru-buru memungut ponsel itu dan menyerahkannya sambil membungkuk. "Saya minta maaf. Tadi saya lagi buru-buru..." Pria itu tampak berusia sekitar akhir tujuh puluhan. Wajahnya berwibawa dengan sedikit guratan usia di sudut matanya. Meski ditabrak dan ponselnya nyaris tergilas pintu lift, ia tetap tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, Nak. Kamu tidak terluka, kan?" Yurika menggeleng cepat. Tapi air matanya semakin deras mengalir. Antara rasa kecewa, marah dan juga merasa bersalah pada pria tua yang bahkan tidak sedikit pun menyalahkannya atas keceroboh yang dia lakukan. "Maaf... saya benar-benar minta maaf... saya tidak sengaja dan kurang hati-hati," ucap Yurika kembali. Pria itu menepuk pelan bahu Yurika, berusaha menenangkan. "Tenang, tidak perlu dijelaskan. Saya tidak apa-apa." “Tapi ponsel Kakek rusak,” ucap Yurika lirih. Pria tua yang disebut Yurika dengan panggilan Kakek itu mencebik dan terkekeh. “Halah, hanya ponsel. Nggak masalah. Hanya retak sedikit masih berfungsi dengan baik, kok.” Kalimat sederhana itu justru membuat Yurika makin terharu sampai-sampai tak sadar air matanya kembali mengalir di pipi. Suara langkah cepat terdengar mendekat. Suara yang sangat dikenalnya. "Yurika! Jangan pergi! Dengar aku dulu, please!" Yurika menoleh dan melihat Bagas datang sambil memanggil namanya dengan suara panik. Ia menoleh cepat pada pria tua itu. "Kek, saya harus pergi sekarang. Maaf dan terima kasih..." Ia membungkuk singkat dan buru-buru masuk ke dalam lift. Pintu menutup tepat saat Bagas hampir meraihnya. "Yurika!" Pintu lift tertutup sepenuhnya. Suara itu teredam. Air mata Yurika masih mengalir, tapi napasnya mulai perlahan menurun. Di dalam ruangan kecil itu, ia mencoba mengumpulkan dirinya yang hancur. Di lantai tempat pria tua itu berdiri, ia hanya bisa menggeleng pelan melihat pemandangan dramatis barusan. Ia tidak menyangka pertemuan pertama dengan gadis itu akan terjadi dengan cara seperti ini. “Apa yang sudah kau lakukan padanya, Bagas!” Dengan suara tegas dan wajah sangar, pria tua yang bernama lengkap Erwin Candra, menatap nyalang pada pemuda bernama Bagas yang tak lain adalah cucunya. “Kakek. Kenapa kakek ada di sini?” “Kenapa katamu, hah! Bisa-bisanya kamu melupakan acara penting papa kamu!” Erwin menggerutu dan berdecak tidak suka dengan tingkah laku cucu lelakinya. Cucu satu-satunya yang hampir setiap hari membuat masalah dan biang onar. Bagas menepuk dahinya pelan. Sungguh dia tidak paham kenapa hal penting pun bisa ia lupakan. Iya, Bagas baru ingat jika hari ini papanya yang telah lima tahun menduda, akan menikah lagi. “Maaf Kek. Aku lupa.” Dengan enteng Erwin menjewer telinga cucunya lalu ditariknya paksa sehingga Bagas dengan terpaksa mengikuti langkah kaki sang kakek menuju unit apartemennya. “Aduh sakit, kek. Ampun!” “Dasar cucu kurang ajar. Papanya mau menikah malah nggak datang.” “Bukan nggak datang, kek. Ini juga aku mau berangkat. Bukankah acaranya juga belum dimulai?” Bagas mencoba membela diri. Sayangnya, pembelaan Bagas tidak berarti apa-apa ketika pintu apartemen berhasil sang kakek buka dan pemandangan seorang wanita dengan baju seksi tengah berada di ruang tamunya. “Siapa dia, Bagas? Sejak kapan kamu berani bawa perempuan jadi-jadian ke tempat ini.” Bagas gelagapan. Memberikan kode melalui rotasi bola matanya pada si wanita yang tengah memperhatiakannya, agar segera pergi dari apartemennya. “Dia … dia hanya temen, Kek,” jawab Bagas takut-takut. Sungguh, Bagas lebih takut dengan kakeknya daripada papanya karena sang kakek akan menyeramkan jika sedang murka. “Sejak kapan kamu punya teman modelan begini?” Dan Bagas lagi-lagi meminta pada si wanita agar pergi. Untung saja wanita tersebut yang merupakan selingkuhannya mau menurut dan berlari pergi dari hadapan mereka tanpa berpamitan lagi. Sang kakek tak perduli pada wanita itu karena menyelesaikan urusan dengan Bagas lebih penting lagi. “Ck, jadi ini kelakukan kamu semenjak memutuskan pindah dan tinggal sendiri di apartemen ini? Agar kamu bebas membawa keluar masuk perempuan sesuka hati?” “Bu-bukan begitu, kek.” “Lalu? Apa yang barusan kakek lihat tadi, hah! Gadis yang menangis dan kamu kejar tadi siapa? Ada hubungan apa kamu sama dia?” Bagas meringis dan terpkasa mengaku jujur karena takut pada ekspresi kakeknya. “Yuri kekasihku, Kek.” “Lalu? Yang barusan? Oh, atau jangan-jangan kekasihmu juga? Atau kamu selingkuh?” “Kek, aku hanya main-main saja.” “Sejak kapan keluarga Candra mengajarimu bermain-main dengan banyak wanita, hah!” “Kek!” “Sudah. Kakek tidak mau lagi melihatmu menjadi lelaki b***t yang suka mempermainkan wanita. Sekarang buruan siap-siap dan lekas datang ke acara pernikahan papamu. Mereka sudah menunggumu. Awas saja kalau kamu tidak datang. Kakek sunat kamu!” Setelah mengatakan itu, Erwin Candra berlalu pergi keluar dari apartemen cucunya. Sungguh, rasanya kepala Erwin hampir meledak melihat tingkah laku cusunya yang tidak tau diri itu. Semua orang menunggu tapi yang ditunggu malah sedang bermain gila dengan wanitanya. Padahal jika dilihat lagi usia Bagas masih sangat muda untuk berani mempermainkan banyak wanita. Baru juga setahun lalu lulus kuliah dan hampir saja diberikan jabatan penting di kantor pusat Candra Group. Untung saja waktu itu Erwin tidak setuju memberikan jabatan tinggi pada cucunya itu dan memilih memberikan kesempatan bagi Bagas untuk memulai karir dari bawah dengan menempatkan Bagas di kantor cabang Candra Group. Ternyata di belakang beliau kelakuan sang cucu sangat memalukan sekali. Erwin menggeleng-gelengkan kepalanya merasa kesal pada Bagas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD