Yuri celingak-celinguk mencari keberadaan sosok suami yang mencarinya. Langkahnya memelan kala kedua netranya menangkap keberadaan satu-satunya mobil termewah yang ada di parkiran. Menelan ludah kesusahan ketika ia dapati seseorang dengan jas rapi berdiri di sisi mobil tersebut, lalu membungkukkan badan memberi salam untuknya.
Dari situlah dapat Yuri kenali jika lelaki tersebut pernah ia jumpai. Dengan langkah ragu dan kegugupan yang mulai melanda, Yuri pun mendekat.
"Selamat siang, Nyonya. Silahkan masuk. Tuan Erik sudah menunggu Anda di dalam," ucap Jayden membuka pintu mobil bagian penumpang, dan meminta Yuri agar masuk ke dalam.
"Ah, iya," jawab Yuri, sedikit mengintip ke dalam, mengetahui lelaki yang merupakan suaminya sedang duduk seorang diri di sana.
Erik menolehkan kepalanya. "Masuk!" titahnya yang tak dapat ditolak oleh Yuri.
Gadis itu pun masuk dan duduk di samping Erik. Memberi jarak sampai tubuhnya menempel sempurna di pintu mobil yang ditutup oleh Jayden.
Hening. Tak ada yang bersuara hingga keberadaan Jayden yang masuk dan duduk di balik kemudi. "Kita mau ke mana, Pak?" tanya pria itu pada sang atasan sembari mendongak menatap spion di atas kepala.
"Kita ke tempat biasa," jawab Erik lalu kembali fokus ada ipad di tangan.
"Siap, Pak."
Perlahan mobil melaju meninggalkan area kampus.
Jangan ditanya lagi apa yang ada dalam pikiran Yuri saat ini. Gadis itu bertanya-tanya ke mana Erik akan membawanya. Untuk bertanya pun tak berani Yuri ungkapkan, sehingga yang gadis itu lakukan hanyalah menurut saja. Sesekali melirik pada pria yang duduk di sebelahnya.
Erik tampan untuk ukuran lelaki dewasa. Terlihat matang dengan pembawaan yang tegas. Wajah tampan dipenuhi dengan jambang di sekitar rahang ditambah dengan kaca mata yang bertengger di atas hidungnya, menambah kesan dingin dan menakutkan. Yuri hanyalah gadis belia yang bahkan berpacaran pun hanya sekali saja. Dengan Bagas. Tidak banyak pengalaman dalam menghadapi lelaki. Dalam hati berharap agar Erik tidak berbuat jahat padanya.
"Kau sudah selesai kelas, kan? Maaf jika tadi aku lupa menanyakannya dan langsung membawamu pergi begitu saja," ucap Erik tiba-tiba, memecah keheningan di dalam mobil.
Yuri mendongak dan memberanikan diri menjawab, "Saya sudah selesai kelas. Rencananya tadi mau pulang."
"Oh, bisa pas gitu ya?"
"Heem."
Tak lagi ada yang bersuara bahkan Jayden saja sampai penasaran dengan hubungan yang dijalani oleh atasannya. Lelaki itu sesekali juga mencoba mencuri pandang dengan melirik spion. Sayangnya, yang dia dapati adalah hubungan dua orang yang tak saling mengenal. Saling diam dalam kecanggungan. Ingin rasanya dia tertawa jika melihat sikap atasannya yang kurang pandai dalam memperlakukan wanita. Maklum saja. Setahu Jayden, Erik memang hampir tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita, diluar dari urusan bisnis dan pekerjaan.
Mobil perlahan memasuki kawasan resto western food yang sering dikunjungi oleh Erik ketika sedang menjamu klien atau memang sekedar ingin mengisi perutnya yang lapar.
"Kita sudah sampai, Pak!" Jayden memberitahu.
"Hem." Erik menyimpan Ipad-nya. Lalu menolehkan kepalanya ke samping. "Ayo turun!" ajaknya pada Yuri.
"Iya."
Yuri mengikuti Erik yang berjalan di depannya. Masih menundukkan kepala lantaran malu dan tidak percaya diri berjalan bersama orang-orang berkelas seperti Erik dan asistennya. Mana penampilannya juga biasa saja. Jelas terlihat kesenjangan sosial di antara mereka.
Dug!
"Aduh!" Yuri meringis karena Erik berhenti mendadak membuatnya harus menabrak punggung tegap pria itu.
Saat mendongak, Yuri dapati Erik yang geleng-geleng kepala menatapnya. "Kalau jalan jangan nunduk terus. Sini!"
Tangan Erik terulur, meraih pergelangan tangan Yuri lalu ia tarik dan membawanya masuk ke dalam resto.
Jantung Yuri hampir meloncat dari tempatnya saking gugup luar biasa. Padahal ini hanya dipegang tangannya saja. Bagaimana jika Erik memegang yang lainnya. Eh! Yuri meringis membayangkan yang iya iya di antara dia dengan Erik.
Pada sebuah meja kosong, Erik melepas cekalan tangannya lalu memundurkan salah satu kursinya. "Duduk!"
Lagi-lagi Yuri hanya menurut mengikuti apa yang Erik perintahkan.
Tak jauh dari mereka berdua, ada Jayden yang menahan senyuman melihat sang atasan yang mau mencoba akrab dengan istrinya. Tak mau mendapatkan masalah, Jayden memilih duduk di meja lain yang berjarak, pura-pura tidak melihat interaksi Erik dengan Yuri.
•••
"Jadi tujuan saya membawa kamu ketemuan dan berbicara di sini ... karena ada sesuatu yang penting harus kamu tau, Yuri."
"Apa itu?"
"Besok saya akan berangkat ke Dubai."
"Oh," hanya itu respon Yurika karena dia sudah tau akan hal itu. Kakek Erwin pernah memberitahunya. Hanya saja yang Yuri tidak sangka, Erik berangkat secepat itu.
"Jadi ... karena saya tau kamu pasti tidak akan mau ikut dengan saya ... oleh sebab itulah saya sudah menyiapkan tempat tinggal untukmu. Kau bisa menempatinya sesuka hatimu. Anggap saja jika itu adalah rumah kamu sendiri."
Kepala Yuri menggeleng. "Tidak perlu, Paman. Saya akan tetap tinggal di kosan saja." Yuri saja menolak ketika kakek Erwin meminta padanya agar mau tinggal di rumah utama. Sekarang saat Erik juga menawari hal yang sama, Yuri juga tetap menolak.
"Kenapa?"
"Ya tidak kenapa kenapa. Saya nyaman tinggal di kosan. Bahkan saya juga menolak tawaran Kakek Erwin waktu itu yang meminta agar ikut tinggal di rumah beliau."
"Ini bukan rumah Papa. Ini rumahku sendiri yang sudah aku siapkan untuk ditinggali setelah menikah. Jadi tidak ada penolakan. Kamu bisa pindah kapan pun juga yang kamu mau. Alamatnya nanti akan saya bagi ke kamu," ucap Erik penuh penekanan. Pria itu lalu meletakkan sebuah kartu di atas meja lalu ia sodorkan pada Yurika.
"Di dalam ini ada uang yang juga sudah aku siapkan untukmu. Kamu bisa memakainya untuk apa saja. Untuk kebutuhan hidupmu, bayar kuliah, dan terserah mau kamu pakai untuk apa. Jangan takut isinya habis karena setiap bulan saya akan mentransfernya padamu. Anggap saja sebagai nafkah yang saya berikan untuk kamu sebagai istri saya."
"Tapi Paman?"
"Ck, jangan menolak karena ini adalah hak kamu setelah bersedia menikah denganku. Paham kamu?"
Yuri menganggukkan kepalanya. "Berapa lama Paman pergi ke Dubai?"
Erik mengedikkan bahunya. "Saya tidak tahu. Mungkin bisa satu tahun, dua tahun atau bahkan bisa lebih lama lagi. Begitu pula sebaliknya. Jika bisnis saya lancar dan minim hambatan, maka lebih cepat juga saya kembali ke Indonesia."
"Baiklah. Kalau begitu ... ini saya ambil dan terima kasih." Yuri meraih kartu di atas meja lalu menyimpannya ke dalam tas.
Tepat setelahnya pelayan datang menghidangkan beberapa makanan di atas meja.
"Makanlah."
"Iya."
Yuri pikir Erik akan ikut makan bersamanya. Namun, ternyata tidak. Pria itu malah beranjak berdiri membuat Yuri kebingungan sendiri.
"Maaf saya harus pergi sekarang. Kamu jangan khawatir. Nanti akan ada orang saya yang akan mengantar kamu pulang."
"Paman tidak mau makan dulu?"
Kepala Erik menggeleng. "Saya bisa makan kapan saja. Sekarang saya harus bekerja. Sampai jumpa kembali Yuri di lain kesempatan. Jaga dirimu baik-baik."
Entah kenapa rasanya ada sesuatu yang menghantam dadanya. Padahal dia dan Erik baru saja berjumpa. Kenal pun karena terpaksa. Namun rasanya ada sakit yang Yuri rasa ketika Erik akan meninggalkannya. Matanya sudah berkaca-kaca mengiringi kepergian Erik yang kini menghampiri meja Jayden. Keduanya hendak meninggalkan tempat, tapi sekali lagi Erik membalikkan badan membuat Yuri terkesiap.
Pria itu berucap, "Jika suatu hari nanti kita masih diberikan kesempatan bertemu lagi ... saya harap kamu sudah tidak memanggilku paman lagi. Kesannya saya ini sangat tua sekali. Jadi ... mulai sekarang siapkan panggilan yang lebih enak didengar oleh telinga saya ini."
Yuri melongo mendengarnya.
Erik berlalu menuju pintu keluar resto dengan senyuman terukir di bibirnya. Lucu saja melihat ekspresi kaget Yuri tadi.