Terkejut, Aretha baru sadar kalau ia salah bicara. Tidak seharusnya dia mengatakan “dulu” hingga membuat Keenan sekarang menatapnya penuh tanda tanya.
“Memangnya ada perbedaan antara dulu dan sekarang?” tanya lelaki itu kembali tersenyum, menatap lekat.
“Oh, tidak, bukan begitu … uhm, maksud saya … jadi, sejak dulu saya menyukai desain perhiasan nuansa floral yang segar dan elegan,” ralat Aretha. “Sejak dulu, ya, sejak dulu, itu maksud saya.”
Keenan manggut-manggut, lalu kembali bertanya tanpa nada menginterogasi. “Kamu asli Los Angeles?” tanyanya seakan tidak tahu menahu.
Menggeleng, senyum lirih Aretha terlukis, “Tidak, Tuan. Saya bukan asli Los Angeles. Dulu, saya tinggal di Lake Camp, Eropa.”
“Oh, di sana. Sudah lama pindah ke Los Angeles?”
“Sekitar lima tahun terakhir. Saya pindah karena masuk bekerja ke perusahaan Anda.”
“Kamu masuk tepat di saat aku pergi untuk kuliah lagi dan mengurusi bisnis di luar negeri. Pantas saja kita tidak saling kenal. Dulu di lake Camp kamu kerja apa?” Keenan makin menatap rapat. Ia bisa melihat bagaimana Aretha nampak resah dengan berbagai pertanyaannya.
Menghela napas panjang dan berat, jawaban Queen hanya, “Dulu saya bekerja sebagai karyawan biasa di toko perhiasan, Tuan. Begitu ada info kalau Raymond & Co mencari desainer perhaisan, saya memberanikan diri untuk melamar.”
“Hmm, begitu, ya?” senyum Keenan kembali bertanya dalam hati kenapa tidak ada data mengenai Aretha saat di Lake Camp.
Wajah tampannya yang penasaran masih tersenyum saat hati berkata, ‘Sudahlah, mungkin dia akan jujur di saat dia merasa waktunya tepat. Aku tidak bisa memaksa karena dia bisa menjauh dariku nantinya.’
“Kalian sudah makan malam? Mau ikut makan malam denganku? Ada restoran seafood enak di pinggir Pantai Malibu. Kita bisa melihat pemandangan dermaga di malam hari. Paris pasti senang,” tawar Keenan berharap sebuah kata iya.
Tentu saja, mendengar kata pantai, Paris langsung berseru, “Kita mau ke pantai, Mommy?”
Aretha tertawa pelan sembari memeluk sang bocah yang berlari menghambur ke arah dirinya. Lalu, wajah cantik menggeleng. “No, Paris. Ini sudah terlalu malam. Besok kamu harus bersekolah.”
Mata indah menatap bosnya, “Terima kasih atas ajakannya, Tuan Keenan. Tapi, kami sudah makan malam. Paris besok harus bersekolah, dan saya ada desain perhiasan yang harus diselesaikan.”
“Oh, benar juga,” angguk Keenan memahami kondisi yang memang tidak memungkinkan jika malam ini pergi berjalan ke pantai. Namun, ia tidak ingin menyerah, “Kalau Sabtu besok bagaimana? Kita bisa ke pantai?”
“Yes! Yes! Aku suka itu, Paman Keenan! Besok Sabtu kita ke pantai, Mommy!” Paris melompat sambil bertepuk tangan saking senangnya.
Aretha kembali menghela napas panjang dan menggeleng, “Uhm, hari Sabtu saya ada janji dengan teman, Tuan. Maafkan saya, jadi sepertinya hari Sabtu tidak bisa.”
“Minggu?” Keenan masih terus mencoba, sambil melirik pada Paris, memohon bantuan.
“Ayolah, Mommy! Aku sudah lama sekali tidak ke pantai! Keluarga Carpenter kemarin baru saja dari pantai! Aku juga mau ke pantai!” rengek sang bocah mulai merajuk sekaligus cemberut.
Tetap saja kepala Aretha kembali menggeleng, “Maaf, Minggu juga saya ada acara sepanjang hari. Setiap weekend biasanya saya ada acara dengan teman-teman, Tuan. Mungkin lain kali saja, ya?”
Keenan tidak bodoh, ia tahu kalau ajakannya ditolak. Dan tahu pula kalau ini saatnya untuk berhenti memaksa. Harus mencari cara lain untuk bisa mengenal Aretha lebih dekat lagi.
Pemilik perusahaan perhiasan terbesar di Amerika itu tersenyum lirih. “Oke, tidak apa. Lain kali saja di saat kamu tidak sibuk.”
“Oh, come on, Mom!” Paris nampak begitu kecewa. “Memangnya Sabtu dan Minggu Mommy mau ke mana? Biasanya kita weekend juga hanya berdiam di rumah saja menonton film! Mana ada teman-teman Mommy!”
“Pssst!” bisik Aretha mendelik pada anaknya. “Kamu tidak kenal dengan teman-teman Mommy!”
Keenan mengulum senyum mendengar Paris buka kartu. Ia tertawa pelan, “Anakmu memang sungguh menarik.”
Tersenyum salah tingkah, Aretha tak berani menatap wajah pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Ia merasa hati begitu berdebar dengan ketakutan sendiri. ‘Semoga Tuan Keenan tidak marah karena aku menolak ajakannya.’
“Tidak apa, Paris. Masih ada hari esok. Nanti Paman datang membawa hadiah lagi, ya? Untuk sekarang, kamu harus menuruti apa kata Mommy-mu. Okay?” tandas Keenan, kemudian berdiri.
Aretha ikut berdiri dan mendongakkan wajah dengan gugup. Saat pandang mereka bertemu di satu garis lurus, debaran kian melanda. Tidak kuat memandang lebih lama lagi, paras menawan sang wanita tertunduk.
Keenan teringat sesuatu, “Oh, ya, kenapa sampai sekarang kamu tidak mengirim chat kepadaku?”
“Chat apa?” bingung Aretha terlupa permintaan bosnya tempo hari.
Keenan terkekeh, “Bukankah aku kemarin menyuruhmu untuk menyimpan nomor telepon pribadiku dan mengirim chat agar aku tahu nomor ponselmu?”
Mata Aretha terbelalak, “Ya, ampun! Saya lupa! Setelah ini pasti akan saya chat, Tuan. Maafkan saya!” engahnya benar-benar lupa, membuat lelaki di hadapan tertawa.
“Kita bertemu besok siang di kantor. Ingat semua pesanku, jaga desainmu dengan baik. Aku tidak mau ada kesamaan lagi antara kamu dan Jenny, oke?” ucap Keenan dengan suara mendayu dan penuh perhatian.
Mengangguk, menelan salivanya dengan sulit, Aretha menjawab singkat, “Baik, Tuan ….”
“Aku pulang dulu. Terima kasih sudah mau menerimaku bertamu malam ini.”
“Terima kasih karena sudah memberikan hadiah untuk Paris. It means a lot. Dia … anakku sungguh bahagia. Saya sungguh berterima kasih.”
Keenan tertawa pelan, “Tidak usah sungkan. Kamu menyelamatkan nyawaku kemarin. Ini hanya hal kecil jika dibandingkan dengan apa yang telah kamu lakukan kemarin.”
“Bye, Paris! See you soon, okay!” seru Keenan mengajak bocah tampan itu melakukan tos dengannya.
Dengan bersemangat, Paris menepukkan telapak tangannya di telapak tangan Keenan. Ia yang tak pernah memiliki figur seorang ayah menatap berbinar pada lelaki tersebut. Apalagi ada sebuah robot ikonik Iron Man di ruang tamu rumahnya.
“Bye, Aretha ….”
“Bye, Tuan Keenan. Selamat malam ….”
Mengantarkan tamunya hingga pagar, memperhatikan sampai pemuda tampan pergi menjauh dalam sebuah kendaraan Mercedes Benz Maybach yang mewah, barulah Aretha menghela napas sangat panjang.
Ketika masuk kembali ke dalam rumah, Gracia bertanya kepadanya. “Nyonya kenapa menolak ajakan Tuan Keenan untuk berjalan-jalan ke pantai weekend besok?”
Tersenyum pilu, Aretha hanya menggeleng dan berkata, “Aku tidak mau terlibat terlalu dalam dengannya. Dia adalah bosku, dan aku hanyalah karyawan biasa. Kami … terlalu berbeda.”
“Tapi, saya melihat Tuan Keenan sepertinya menyukai Anda, Nyonya?” tanya Gracia kembali.
Senyum lirih Aretha bergulir di wajah yang sendu, “Lelaki menyukai wanita cantik, itu sudah hal biasa. Tapi, tidak banyak dari mereka yang mengenal kata komitmen, apalagi hingga maut memisahkan.”
“Terkadang, banyak dari mereka hanya … apa, ya? Seolah terobsesi dengan wanita cantik dan ingin memilikinya. Begitu sudah dimiliki, ternyata mereka menjadi bosan dan menyia-nyiakan begitu saja,” senyum perih ibu anak satu tersebut.
“Aku sudah cukup mengenal lelaki yang pada akhirnya hanya menghancurkan hati dan hidupku. Sekarang, aku sudah hidup tenang dengan Paris, denganmu juga,” tawa Aretha untuk menutupi luka hati yang tak pernah bisa sembuh meski sekian tahun berlalu.
Menghela berat, suaranya terdengar parau, “Aku tidak mau merasakan sakit hati lagi. Cintaku sudah habis di masa lalu, tidak ingin lagi mengenal cinta jika semua hanya mendatangkan air mata. Lebih baik hidup tenang seperti sekarang.”
“Nyonya masih trauma dengan kehidupan masa lalu? Tapi, bukankah Paris butuh seorang figur ayah? Tidak ada salahnya membuka diri, bukan? Tuan Keenan terlihat seperti lelaki yang baik. Dia juga menyukai Paris,” ucap Gracia sembari membersihkan meja makan dan dapur.
Baby sitter yang sudah bekerja untuk Aretha sejak Paris baru saja lahir tersenyum sendu, “Siapa tahu, Tuan Keenan tidak seperti Tuan Troy Major, atau Tuan Neil Hong?”
Aretha menggeleng, “Jangan sebut nama mereka lagi, Gracia. Aku … sudahlah, jangan sebut lagi, ya?” engahnya tertahan.
“Lelaki akan berbuat apa saja untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Memberi Iron Man pada Paris bukan berarti ia benar-benar menyukainya. Bisa saja hanya trik untuk mendapatkanku. Yang mana aku juga tidak paham kenapa dia mendekatiku.”
“Sudahlah, Gracia, pembahasan tentang lelaki membuatku bad mood ….”
Sambil berjalan menuju tangga, ibu satu anak itu berseru, “Aku tidak mau lagi berhubungan dengan lelaki mana pun! Lelaki hanya mendatangkan sakit hati! Sudah, aku mau bekerja mendesain lagi! Tolong buatkan aku kopi, ya!”
Gracia tersenyum kecut mendengar ucapan majikannya. Tahu masa lalu pedih yang dilalui Aretha, mengenai sang mantan kekasih yang berakhir setelah delapan tahun bersama, mengenai sang mantan suami yang meninggalkannya begitu saja … memang pilu.
Ia bergumam, bermunajat, “Semoga Tuhan mendatangkan jodoh terbaik untuk Anda, Nyonya Aretha. Dan semoga jodoh itu adalah Tuan Keenan, supaya Anda bisa kembali lagi seperti dulu ….”
***
Jam di meja menunjukkan pukul 12 malam ketika ada suara chat masuk ke dalam ponsel. Berhenti melakukan finishing touch pada desain perhiasannya, Aretha melihat siapa yang mengirim pesan selarut ini.
“Tuan Keenan?” gumamnya terkejut.
Keenan [Sudah tidur? Ada yang ingin kukirimkan kepadamu.]
Aretha [Belum, Tuan. Masih mengerjakan beberapa detail terakhir. Mengirimkan apa?]
Kemudian, beberapa link dikirim oleh CEO tampan itu kepadanya.
Keenan [Ini adalah beberapa desain perhiasan yang terbaik dan sedang trend dari beberapa produk perusahaan lain. Kamu bisa menjadikannya inspirasi.]
Aretha [Baik, saya akan melihatnya setelah ini.]
Keenan [Perlombaan desain perhiasan dari GIA akan segera datang. Persiapkan dirimu. Aku akan megirim dua kandiat terbaik. Semoga nama Raymond & Co bisa kembali bersinar dengan majunya kamu ke perlombaan itu.]
Aretha terkejut membaca chat terakhir. Selama ini, selalu Jenny dan satu orang lain yang dipilih oleh perusahaan untuk mengikuti event bergengsi tersebut. Dan tentu saja, mereka selalu pulang dengan tangan kosong, tanpa juara apa pun.
Aretha [Saya akan mencoba yang terbaik jika memang nanti dikirim ke perlombaan GIA. Saya akan bekerja keras untuk mempersiapkannya.]
Keenan [Aku pasti akan mengirim kamu. Hanya tinggal mencari satu kandidat lagi yang juga memiliki kemampuan mendesain dengan baik.]
Keduanya sama-sama diam dengan gejolak di dalam d**a masing-masing, tidak ada yang mengirim chat lagi. Keenan berkali-kali menatap profile picture Aretha.
“Damn, kenapa kamu bisa secantik ini? Kamu seperti tidak nyata, Aretha! Kamu … ah, kamu sungguh cantik!” gumamnya menggeleng saking terus terpukaunya dengan kecantikan sang karyawan.
Sementara Aretha, ia juga menatap layar, menanti apakah akan ada chat lanjutan atau sudah sebatas ini saja?
Keenan [Jangan tidur terlalu malam. Segera selesaikan desainnya dan istirahat, ya. Jangan sampai sakit.]
Aretha [Baik, Tuan.]
Keenan [Bagaimana Paris? Dia sudah tidur? Dia senang dengan Iron Man dariku, bukan?]
Aretha [Lebih dari senang. Dia sangat excited. Sebelum tidur tadi berbincang dengan teman-teman sekelasnya. Memamerkan hadiah dari Tuan, membuat kagum yang lain.]
Keenan [Aku lega kalau dia menyukainya. Lain kali, aku akan mengirim hadiah lain.]
Aretha [Tuan terlalu baik, tapi sungguh, sudah cukup itu saja hadiahnya.]
Keenan [Kenapa?]
Aretha [Saya takut Paris jadi terbiasa dengan barang mewah dan lupa bagaimana senangnya bermain dengan barang murah.]
Kening Keenan mengernyit, “Hmm, memang kamu takut begitu atau kamu takut anakmu dekat denganku?”
“Apa yang terjadi denganmu di masa lampau hingga membangun tembok untukku? Tidak biasanya wanita menolakku, Aretha. Apakah ada yang pernah menyakitimu?” gumam Keenan sembari menatap sendu pada profile picture yang teramat cantik.
Sedangkan Aretha bergumam juga di depan meja kerjanya, “Tolong jangan beri harapan apa pun kepada putraku, Tuan Keenan. Lebih baik dia tidak mengenal sosok ayah sama sekali, daripada harus mengenal Anda, menyukai Anda, kemudian kehilangan Anda ….”
Akan tetapi, tentu saja ia tidak bisa mengatakan itu semua kepada bosnya, bukan?
Keenan kembali mengirim chat yang membuat hati Aretha bagai diremat perlahan.
Keenan [Jadi, kapan aku bisa mengajak kamu dan Paris jalan-jalan? Sudah lama aku tidak di Los Angeles. Mungkin kamu bisa menunjukkan tempat-tempat terbaru yang sedag hits?]
Memejamkan mata sesaat, Aretha menggeleng lirih. Ia merangkai kalimat dulu sebelum menjawab secara diplomatis.
Aretha [Saya akan berusaha mencari waktu, Tuan. Terima kasih atas ajakannya.]
Keenan menghela sedikit kecewa, tetapi tidak masalah. Ia belum mau menyerah, apalagi hanya dengan penolakan seperti ini. Senyumnya merebak, “Kita lihat sejauh mana kamu bisa menolakku, Aretha Queen.”
Keenan [Oke, tidak apa. Selamat bekerja, ingat, jangan tidur terlalu pagi. Besok kutunggu di ruang rapat.]
Aretha [Baik, Tuan.]
Tidak terlihat lagi Keenan sedang online. Aretha mengembus panjang, gamang, dan juga resah. Ia diberi nomor pribadi sang CEO. Bukan nomor yang digunakan untuk bisnis. Ini adalah sesuatu yang ... tidak biasa.
Bahkan para direktur saja belum tentu memiliki nomor ini. Ketika seorang pebisnis kelas atas mengatakan nomor pribadi, maka hanya orang-orang terdekat seperti keluarga dan sahabat erat saja yang mengetahuinya. Sehingga … apakah ia termasuk dalam golongan itu?
Entahlah, tetapi sang Queen tidak mau berandai-andai. Ia kembali mengerjakan desain perhiasan yang besok harus diserahkan.
***
Ketika keesokan hari tiba, para desainer perhiasan yang jumlahnya ada 20 lebih di perusahaan pusat Raymond & Co, sedang duduk di ruang rapat menunggu hasil perundingan para direktur bersama sang CEO.
Jenny yang tadinya duduk di seberang Aretha, mendadak pindah ke sebelah, kemudian bertanya, “Kamu ambil cuti tiga hari. Tiba-tiba masuk sudah membawa desain untuk diserahkan kepada Tuan Keenan. Apa kamu membuat desainnya selama libur kemarin?”
Menoleh sedikit terkejut, Aretha balik bertanya, “Kalau iya, kenapa?”
“Kenapa tidak mengerjakannya di kantor, hah?” desis sang perancang perhiasan yang selama ini menjadi primadona perusahaan. “Kenapa kamu tidak berjalan-jalan saja dengan anakmu ketika cuti? Apa memang kamu ada niatan tersendiri?”
“Kamu pasti senang saat desain perhiasanku dianulir oleh Tuan Keenan, bukan? Kamu merasa desainmu bisa menggantikan desainku? Begitu, ya?” Jenny terus saja meringsek.
“Aku merasa lebih bebas mengerjakannya di rumah. Cutiku disetujui oleh pihak HRD. Jadi, kugunakan untuk apa waktu cuti rasanya terserah aku, bukan?” senyum Aretha berusaha tetap tenang.
“Dan aku tidak merasa atau pun berniat menggantikan desainmu. Tenang saja, biarkan Tuan Keenan memilih siapa di antara semua desainernya yang terbaik,” tandas Aretha meremas jemarinya sendiri.
Berasal dari kelompok masyarakat kelas teratas saat ia berada di Lake Camp, sudah banyak menemui macam manusia. Dan ada sosok seperti Jenny yang memang akan menekan siapa pun, yang dirasa menghalangi jalannya.
Aretha tidak ingin mencari musuh. Ia tidak ingin bermasalah dengan siapa pun. Lima tahun terakhir kehidupannya sudah tenang. Maka, semua ucapan Jenny dijawab dengan setenang dan sebaik mungkin agar tidak menimbulkan perdebatan lanjut.
Lalu, keluarlah Keenan bersama para direktur yang terlibat dalam pemilihan desain kali ini. Tentu saja, ada Brice di sana berjalan di belakangnya.
Para petinggi perusahaan kembali duduk di tempat mereka masing-masing. Sikap Keenan terlihat dingin dan tenang. Ia tidak banyak mengumbar senyum atau tawa, tidak seperti saat di rumah Aretha kemarin.
Akan tetapi, sang wanita mengerti. Ini adalah ruang kerja, ruang publik. Paham bagaimana orang terpandang mencegah skandal terjadi di kehidupan mereka. Keenan tidak ingin ada yang mengetahui kedekatan mereka berdua untuk menghindari gosip serta fitnah.
“Aku sudah memutuskan ikon terbaru untuk koleksi musim dingin Raymond & Co. kita akan memakai rancangan Aretha Queen yang berjudul Rainbow of My Heart.”
Ucapan Keenan membuat seluruh pasang mata tertuju pada Aretha. Di mana sang wanita hanya diam tertegun dengan pengumuman yang baru saja didengarkan.
“Congratulation, Aretha. Karyamu adalah yang terbaik, dan aku yakin pasar akan menyukainya. Mulai sekarang, kamu akan berhubungan langsung dengan bagian produksi untuk memastikan semua tercipta dengan sempurna.”
Keenan tersenyum datar, menatapnya lekat. Mereka beradu pandang hingga Aretha terengah dan mengucap gugup. “Terima kasih, Tuan Keenan. Terima kasih atas kepercayaannya.”
Lima tahun bekerja, baru kali ini karyanya diakui oleh pihak perusahaan hingga menjadi simbol koleksi terbaru. Betapa hatinya saat ini senang bukan kepalang!
***
Selesai rapat, semua kembali menuju meja kerja masing-masing, Aretha pergi ke kamar mandi sebelum duduk di mejanya.
Senyum tidak bisa lepas dari bibir merah sang wanita beranak satu itu. Membayangkan karyanya akan menjadi simbol koleksi terbaru, dipajang di berbagai billboard nasional dan internasional, sungguh luar biasa!
Ia membuka bilik kamar mandi masih dengan angan indah, hingga sebuah dorongan pada punggungnya membuyarkan semua kebahagiaan itu.
Seseorang mendorongnya dari belakang dengan sangat kencang hingga ia terjerembab ke depan, jatuh terjungkal di atas lantai kamar mandi.
“Aduh!” pekiknya memegangi lutut yang nyeri. Begitu melihat siapa yang mendorongnya, napas sontak terengah. “Je-Jenny?”