Aku menoleh ke sisi kiriku. Ada jalan kecil di samping toko, bersisian dengan area parkir sepeda, dan Abang memang kerap datang dari jalan tersebut. Tak sampai berselang menit sejak suaranya terdengar tadi, ia sudah sibuk mengunci sepeda lalu mendekatiku. Mau ada siapa pun di sekitar kami, memeluknya begitu ia kembali padaku adalah keniscayaan. Abang pun mendekapku erat. Meski aku cukup yakin kami sama-sama mendengar suara dengusan frustasi, siapa yang peduli? Tak terlalu lama kami saling merengkuh. Ya, sama seperti biasanya. “Aku pulang, jagiya,” ujarnya lalu memanyunkan bibir. Gemas! Aku terkekeh singkat. Kakiku lalu berjinjit, tanpa ragu mempertemukan bibir kami. Setelahnya, baru aku menoleh kembali ke Bang Reizan. Ia bertolak pinggang, wajah dan matanya nampak memerah, bibirnya i

