“Ayra kan sudah bilang, Abang jangan ngarep Ayra hamil!” Sebenarnya aku bukan marah pada Abang. Hati kecilku juga sepertinya belum siap untuk hamil. Namun, aku benar-benar takut Abang kecewa. Kami baru tiba di sebuah hotel di Surabaya setelah 41-menit perjalanan dari airport. Sidang Tama akan dibuka esok pagi. Hanya satu malam kami di kota ini, tak akan sempat berkeliling berhubung waktu yang terlalu sempit. “Kan baru kali ini kamu telat, jagiya. Ada seminggu ya?” “Lebih.” “Tuh kan. Makanya aku curiga. Apalagi sebelum nikahan Rain kamu bilang nenen kamu ngilu kalau kesenggol. Udah gitu kamu ngga mau juga ngecek hamil atau ngga. Mana manyun mulu.” “Abang …” lirihku, manja. “Ya sudah ngga apa-apa. Berarti kamu stress ya?” Aku tak menjawab. “Tuh, betul kan?” ujar Abang lagi. Ia lalu

