Dara, sang Rubah

2012 Words
Akhirnya, Dara mengecap udara Amsterdam. Udara dingin menyelimutinya saat ia melangkah keluar dari pesawat pribadi yang mengantarkannya ke Belanda dengan penuh kemewahan. Setiap detail perjalanannya dikawal dengan ketelitian yang luar biasa, seolah memastikan bahwa ia mendapatkan perlakuan terbaik dari keluarga Van Der Zandt. Bahkan, di bandara, seorang pria paruh baya dengan jas hitam rapi telah menunggunya dengan sikap penuh hormat. “Welkom in Nederland, Mevrouw Dara. Ik ben Hendrik, een van de bedienden van de familie Van Der Zandt.” (Selamat datang di Belanda, Nona Dara. Saya Hendrik, salah satu pelayan keluarga Van Der Zandt.) Dara hanya mengangguk kecil, menerima sapaan itu dengan senyum tipis sebelum mengikuti Hendrik menuju mobil yang telah disiapkan. Sebuah Rolls-Royce hitam berkilau dengan emblem keluarga Leviathan Van Der Zandt terukir di kap mesinnya. Begitu masuk, tubuhnya seketika disambut oleh hangatnya interior kulit berkualitas tinggi. Mobil melaju tenang, membawanya menyusuri jalanan Amsterdam yang terlihat semakin menawan di bawah langit Februari. Udara musim dingin masih menggigit, namun cahaya lampu-lampu kota yang memantul di kanal memberikan pesona tersendiri. Bangunan-bangunan tua dengan arsitektur khas Eropa berdiri anggun, mencerminkan sejarah panjang dan kemewahan yang tak terbantahkan. Mobil terus bergerak, meninggalkan keramaian kota dan memasuki kawasan elite yang lebih sepi namun jauh lebih megah. Jalanan berbatu yang bersih, rumah-rumah mewah dengan gerbang besi tinggi, dan taman-taman luas yang tertata sempurna seperti sebuah lukisan hidup. Dara memandangi pemandangan itu dalam diam, menyadari betapa jauhnya dunia ini dari kehidupannya yang dulu. Hingga akhirnya, di ujung jalan yang lebih privat, terbentang sebuah gerbang megah berwarna hitam dengan lambang keluarga Van Der Zandt yang terukir dengan emas murni. Simbol kemakmuran dan aristokrasi. Gerbang perlahan terbuka, memperlihatkan properti yang bahkan lebih luar biasa dari yang ia bayangkan. Dara menahan napas. Sebuah istana, dikelilingi oleh taman luas yang ditata dengan presisi sempurna. Pilar-pilar marmer menjulang tinggi, dengan ukiran klasik yang menceritakan kemegahan zaman keemasan keluarga ini. Jendela-jendela besar berbingkai emas, atap dengan detail ukiran khas arsitektur Eropa, serta lampu-lampu kristal yang menerangi fasadnya dengan lembut. Dara benar-benar terpukau. Begitu mobil berhenti di depan pintu utama yang megah, seorang pria tua dengan postur tegak sudah menunggu di anak tangga teratas. Dia membukakan pintu untuk Dara. "Welkom bij het Van Der Zandt landgoed, Mevrouw Dara. Mijn naam is Rutger, de hoofdbediende van deze residentie.” (Selamat datang di kediaman Van Der Zandt, Nona Dara. Nama saya Rutger, kepala pelayan di kediaman ini.) Dara kembali tersadar dari keterpukauannya, segera turun dari mobil dengan gerakan anggun. Pintu mobil dibukakan dengan hormat, dan ia melangkah turun, membalas sapaan Rutger dengan anggukan kecil. “Treed alsjeblieft binnen, Mevrouw.” (Silakan masuk, Nona.) Pintu besar di hadapannya dibuka perlahan oleh dua pelayan, mengungkap interior yang bahkan lebih menakjubkan. Kilauan emas dan kristal menyambut pandangannya. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung raksasa yang memancarkan cahaya hangat, tangga melingkar dengan pegangan berukiran elegan, serta lantai marmer yang begitu mengilap hingga refleksi tubuhnya sendiri terlihat jelas. Dinding dihiasi dengan lukisan klasik yang berbingkai emas, seakan setiap sudut ruangan ini merupakan bagian dari museum pribadi. Kehangatan perapian di sudut ruangan memberikan sentuhan kontras pada kemegahan yang terasa begitu dingin dan aristokrat. Dan di sana, di ujung ruangan, sebuah sofa kulit dengan ukiran kayu mahoni berada di tengah, menunggu siapa pun yang akan mengisi ruang kosong di atasnya. "Iedereen is druk bezig met hun activiteiten, maar Meneer Willem is thuis. Laat me u naar hem brengen voordat u zich terugtrekt om uit te rusten." (Semua orang sedang sibuk dengan kegiatan mereka, tapi Tuan Willem ada di rumah. Mari saya antarkan Anda padanya sebelum Anda beristirahat.) Dara mengangguk dengan sopan, mengikuti langkah kepala pelayan itu melewati koridor panjang yang dipenuhi lukisan-lukisan klasik dan patung-patung marmer yang semakin menegaskan aristokrasi keluarga ini. Mereka menuju lantai atas, melewati lorong menuju sayap utara istana, tempat perpustakaan keluarga Van Der Zandt berada. Begitu Rutger membuka pintu kayu mahoni yang tinggi dan tebal, aroma khas buku-buku tua serta kayu menguar di udara. Di tengah ruangan, seorang pria duduk di kursi baca kulit yang elegan, dikelilingi oleh suasana tenang dan klasik. Willem Van Der Zandt, ayah Jedidah, tampak begitu berwibawa dengan jas santainya. Tangannya memegang sebuah buku tebal, namun begitu melihat Rutger masuk, ia menurunkan bacaannya. "Meneer Willem, Mevrouw Dara is hier. Ze is gekomen om u te begroeten." (Tuan Willem, Nona Dara sudah ada. Dia datang untuk menyapa.) “Hallo, Pak Willem, bagaimana kabarnya?” Willem mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata biru khas keluarga Van Der Zandt yang tajam, lalu menutup bukunya dengan perlahan. “Ah, Dara, kamu sudah sampai,” ucapnya dalam bahasa Indonesia yang terdengar masih kaku dengan logat Belandanya. “Saya baik. Bagaimana perjalanan kamu?” “Baik, Pak. Ibu Rahayu membuat saya nyaman dalam perjalanan.” “Benarkah? Kemarilah duduk dan ceritakan apa saja yang kamu temui di perjalanan.” Lalu Willem menoleh ke arah Rutger dan memberikan perintah. "Breng gezond eten en drinken voor zwangere vrouwen. Dara zal hier met mij praten." (Bawakan makanan dan minuman yang sehat untuk ibu hamil, Dara akan bicara denganku di sini.) "Ja, Heer Willem."(Baik, Tuan.) Willem kembali menatap Dara, ekspresinya lebih serius kali ini. “Jadi, Dara, saya dengar bayi dalam perut kamu sudah berkembang dengan baik, 'kan?” “Benar, Pak. Semuanya berkat fasilitas yang selalu mendukung kebutuhan saya.” Pria itu mengangguk, matanya berkilat tanda puas. “Ya, benar sekali. Lusa adalah pesta ulang tahun ayah saya. Sekarang dia sedang pergi menghirup udara segar, begitu juga dengan semua orang. Kecuali saya.” “Kenapa, Pak? Apa Bapak tidak enak badan?” Bukan itu. Willem menghela napas panjang sebelum bersandar di kursinya. “Saya tidak puas dengan apa yang Jedidah lakukan.” Dara mendengarkan dengan penuh perhatian. “Desain jam tangan yang dia tawarkan pada para pengusaha berlian dan emas tidak memuaskan. Koleksi edisi terbatas yang seharusnya menjadi gebrakan baru untuk Leviathan Timepieces, malah terasa biasa saja. Tidak ada daya pikat, tidak ada keunikan yang membuat para kolektor ingin memilikinya.” Pria itu membuka sebuah map dan mengeluarkan beberapa sketsa desain jam tangan. Dara menerimanya, memperhatikan dengan seksama. Dia bisa melihat garis-garis elegan, material eksklusif, dan tampilan modern yang memang terlihat mewah, tetapi… dia mengerti apa yang dimaksud Willem. “Ini terlalu aman,” gumam Dara. Willem menatapnya, tertarik. “Maksud kamu?” Dara mengangkat sketsa itu, memperhatikannya dengan seksama. “Desain ini memang mewah, tetapi tidak mencerminkan nilai eksklusivitas yang diharapkan dari jam tangan high-end yang hanya dibuat dalam jumlah terbatas. Koleksi ini membutuhkan sentuhan yang lebih dari sekadar berlian dan emas. Ini butuh cerita.” “Teruskan.” “Bapak ingin jam tangan ini ditujukan untuk siapa?” “Para kolektor, aristokrat, orang-orang yang memahami nilai sebuah karya seni di dalam arloji.” “Kalau begitu, desainnya harus berbicara pada mereka,” Dara mulai berimprovisasi. “Bayangkan, sebuah jam tangan yang bukan sekadar perhiasan, tetapi bagian dari sejarah. Kita bisa menggunakan komplikasi tourbillon untuk meningkatkan presisi waktu, kemudian menambahkan ukiran tangan pada plat jam dengan pola khas Van Der Zandt, yang hanya bisa ditemukan pada koleksi ini.” Dara menarik napas sebelum melanjutkan, “Dan lebih dari itu, bagaimana jika kita menggunakan sapphire crystal dengan teknik skelotonized? Dengan begitu, mekanisme dalam jam akan terlihat seperti seni kinetik yang bisa diapresiasi. Kita bisa menggunakan strap dari kulit aligator asli dengan emboss eksklusif. Untuk menambah keunikan, setiap unit jam bisa memiliki nomor seri yang ditanam langsung di plat dalam, serta ukiran tangan dengan inisial pemiliknya.” Willem terdiam sejenak, sebelum tiba-tiba menepuk tangannya sekali dengan keras. “Sangat brilian, Dara.” Dara tersenyum penuh kemenangan. “Ini yang seharusnya menjadi arah desain kita. Desain jam tangan dengan emosi dan cerita di dalamnya. Kamu punya ide yang tajam.” Dara tersenyum. “Saya hanya melihatnya dari sudut pandang seorang kolektor yang ingin memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar jam tangan mahal. Mereka ingin sesuatu yang memiliki jiwa.” “Bisa kamu buat sketsanya?” Dara tersenyum lebih lebar. “Dengan senang hati, Pak.” Ia meraih pensil dan kertas dari meja, jemarinya mulai menari di atas lembaran putih itu. Willem memperhatikannya dengan ekspresi penuh minat, seolah melihat seseorang yang memiliki potensi besar di tangannya. Dan di sanalah, di bawah cahaya perpustakaan mewah keluarga Van Der Zandt, Dara mulai menuliskan namanya dalam sejarah perusahaan ini. Bukan hanya sebagai seorang ibu pengganti. Tapi sebagai seseorang yang mampu menciptakan warisan. **** Di sinilah Dara sekarang, duduk di meja makan panjang yang elegan, di tengah keluarga besar Van Der Zandt. Di ujung meja, duduk Johannes Van Der Zandt, kepala keluarga yang meskipun sudah tua dan terbatas oleh kursi rodanya, tetap memiliki aura yang tak terbantahkan. Di sisi lain, ada Willem, ditemani oleh Ibu Rahayu yang tetap menjaga keanggunan khas wanita Indonesia di antara keluarga Eropa ini. Selain Willem, tiga saudara kandungnya—Jeroen, Monique, dan Rudy—juga hadir, masing-masing membawa pasangan mereka. Sambutan mereka untuk Dara bersifat formal—ramah, tapi tetap dalam batasan Seperti yang sudah Dara pelajari, keempat anak Johannes ini memimpin cabang Leviathan Timepieces di berbagai negara. Willem di Belanda sebagai pusat utama, sementara Jeroen mengendalikan cabang di Swiss, Monique di Amerika Serikat, dan Rudy di Prancis. Namun, yang paling menonjol saat ini adalah Jedidah, yang berhasil membawa Leviathan Timepieces Asia ke puncak kejayaan. Dan sekarang, di tengah jamuan makan yang tertata sempurna ini, Jedidah belum juga terlihat. Hingga akhirnya, suara ketukan heels tajam menggema di lantai marmer, mengalihkan seluruh perhatian yang ada. Dara menoleh. Zarin. Wanita itu tampak penuh perhitungan. Dingin. Angkuh. Mengancam. Dan di sampingnya, Jedidah. Dara menghela napas dalam. Pria itu tampak luar biasa. Panas menjalari tubuh Dara, tetapi ia tetap tenang. Ia tahu matanya tak bisa berbohong. Ia menginginkan pria itu. "Je bent te laat, Jedidah," (Kau datang terlambat, Jedidah.) ucap Johannes dengan nada tak suka. "Heeft je vrouw nog steeds een schema?" (Apa istrimu itu masih memiliki jadwal?) lanjutnya, nadanya sarkastik. Jedidah tidak langsung menjawab, tapi ia dengan tenang menarik kursi untuk Zarin sebelum duduk di tempatnya sendiri. Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh oleh sindiran kakeknya. "Nee, Opa, ik was degene die haar vertraagde. Het spijt me." (Tidak, Kakek, aku yang membuatnya terlambat. Aku minta maaf.) "Vertel me tenminste waarom je te laat bent." Johannes kembali menekan. (Setidaknya beritahu aku apa yang membuatmu terlambat.) Jedidah mengambil napas singkat sebelum menjawab dengan nada tenang. "Er was een vergadering. Opa wil dat de lancering wordt vervroegd na al die vertragingen, toch?" (Ada meeting. Kakek ingin peluncuran itu disegerakan setelah ditunda terus-menerus, bukan?) Johannes menyipitkan matanya, lalu tiba-tiba tertawa kecil, suara seraknya terdengar berat di ruangan yang sempat tegang. "Ik weet dat je goed bent in time management. Wij Van Der Zandt zijn tenslotte de eigenaren van de tijd. Dat kan niet de reden zijn waarom je te laat bent." (Aku tahu kau pintar dalam manajemen waktu. Kita, Van Der Zandt, adalah pemilik waktu. Pasti bukan itu alasanmu terlambat.) Tatapannya menyelidik, namun Jedidah hanya mengangkat bahunya ringan, membiarkan sindiran itu berlalu tanpa tanggapan. "Maar als we het over investeerders hebben, raad ik je aan om Dara mee te nemen op je volgende zakenreis. Ze is slim in ontwerpen en overtuigt mensen gemakkelijk." (Tapi mengingat investor, aku sarankan kau membawa Dara dalam perjalanan bisnismu nanti. Dia ini pandai membuat desain dan meyakinkan seseorang.) Jedidah tetap mempertahankan ketenangannya, namun kali ini, ada ketegasan dalam nadanya. "Ze is zwanger en volgende maand is haar stage voorbij." (Dia sedang hamil, dan bulan depan sudah tidak magang lagi.) "Of ze nu stagiair is of niet, ze is nuttig voor het bedrijf." (Tidak peduli dia magang atau tidak, dia bermanfaat untuk perusahaan.) Jedidah tidak langsung membalas. Ada ketegangan tipis di udara, ketegangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang paham bagaimana sistem dalam keluarga ini bekerja. "Hoe dan ook, laten we het diner beginnen. Jullie hebben lang genoeg gewacht, toch?" (Bagaimana kalau kita segera mulai menyajikan makanan? Kalian semua sudah menunggu, bukan) ucap Jedidah, mencoba mengalihkan pembicaraan. Namun, Johannes tidak tertarik pada pengalihan itu. Pria tua itu hanya memberikan satu keputusan final, yang tak bisa dibantah. "Dara gaat met je mee." (Dara akan ikut denganmu.) Dara tersenyum. Dia menang, dia suka, sudah membayangkan bagaimana dirinya ikut bersama Jedidah, dan melakukan perjalanan yang menyenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD