Harga Sebuah Kehidupan

2080 Words
Hamil. Kata itu menggelegar dalam kepalanya, memukul kesadarannya dengan pukulan yang lebih kuat daripada apa pun yang pernah ia rasakan. Napasnya tercekat, matanya masih terpaku pada layar USG yang kini hanya menjadi bayangan dalam ingatannya. Jantungnya berdetak kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. Ini tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi. Namun, tubuhnya sendiri telah menjadi saksi dari kebenaran yang tak bisa ia tolak. Hasil dari malam itu. Malam yang seharusnya terlupakan, malam yang seharusnya tidak meninggalkan jejak. Tapi sekarang, bukan hanya ingatan yang menghantuinya. Ada sesuatu di dalam dirinya—tumbuh, berkembang, mengambil bentuk. Dan Jedidah... Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Tidak satu kata pun. Begitu dokter Mira mengucapkan kabar itu, Jedidah langsung bangkit. Mata hazelnya yang tajam tidak memperlihatkan keterkejutan, melainkan kegelapan. Raut wajahnya tak terbaca, seperti topeng yang tidak bisa ditembus oleh emosi. Dara yang masih kebingungan langsung mengejarnya, langkahnya sedikit tertatih karena pikirannya yang berantakan. Di mana pria itu? Ke mana dia pergi? Dara hampir kehilangan jejaknya, sampai akhirnya ia melihat sosok tinggi itu memasuki ruangan dengan plakat Wakil Direktur di pintunya. Detik berikutnya, terdengar suara benturan keras. Dara yang masih berdiri di luar hanya bisa menatap kosong, tubuhnya melemah dan memilih duduk di sofa. Kepalanya sakit melihat Jedidah yang tengah mengeluarkan amarahnya pada pemilik ruangan. Jadi Dara mengalihkan pandangannya jatuh ke luar jendela, menatap Jakarta dari ketinggian lantai tertinggi rumah sakit ini. Di dalam ruangan, kemarahan membakar udara. Jedidah meledak. Selama ini, pria itu selalu terlihat dingin, tenang, penuh kendali. Namun tidak hari ini. Tidak setelah kebenaran yang baru saja terungkap di ruangan dokter. Suaranya berat, rendah, tetapi mengandung bara api yang bisa membakar siapa pun yang mendengarnya. Kesalahan. Pengkhianatan. Dosa yang tidak bisa dihapus begitu saja. Zurech, pria yang telah mengatur semua ini, menjadi sasarannya. Malam itu bukan hanya sekadar malam mabuk bagi Jedidah. Itu adalah malam di mana ia kehilangan kendali—malam di mana, untuk pertama kalinya, dia tidak menjadi pria yang penuh perhitungan. Dan semua itu karena Zurech. “Gara-gara lu! Lu yang seret gue pada keadaan ini!” Zurech tertawa, balas melawan. “Lu yang setiap malem ngeluh tentang istri lu, ngeluh karena dia bahkan gak bisa kasih lu kebutuhan batin disaat status kalian udah menikah!” Suara mereka bersahutan, sama-sama terbakar amarah. Sementara di luar ruangan, Dara hanya bisa menutup matanya, mengatur napas yang terasa semakin berat mendengar kekecauan di dalam ruangan. Tidak ada orang lain di koridor ini. Tidak ada suster atau dokter yang bisa mendengar apa yang sedang terjadi di dalam sana. Ruangan ini tidak bisa dimasuki sembarangan. Dara terdiam, pikirannya kacau mendengar pertengkaran di dalam sana. Suara Jedidah dan Zurech bersahutan, penuh emosi, seperti dua binatang buas yang saling menerkam di dalam kandang yang terlalu sempit. Napasnya tercekat, d**a terasa sesak. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak, tetapi suara itu tidak bisa ia abaikan. Sampai kemudian, kalimat itu terdengar. "Tanggung jawab, Zurech. Gugurin bayi itu." Dara membeku. Dunia seakan berhenti berputar. Darahnya berdesir, jantungnya berdetak lebih cepat, dan untuk beberapa detik, dia merasa seperti tenggelam di dasar lautan gelap tanpa bisa bernapas. Matanya melebar, dadanya naik turun, tubuhnya menegang mendengar kata-kata kejam yang keluar dari mulut pria itu. Tanpa berpikir panjang, Dara langsung mendorong pintu yang memang sedikit terbuka dan masuk ke dalam ruangan. Langkahnya tegas, meski tubuhnya gemetar. "Apa maksudnya? Digugurkan?" Suaranya bergetar oleh kemarahan, matanya menatap Jedidah penuh amarah. "Ini anak bapak!" Jedidah menoleh, ekspresinya tetap sama—dingin, datar. Seakan yang baru saja Dara katakan sama sekali tidak berarti. "Saya tidak menginginkan anak ini. Apa itu belum cukup jelas buat kamu?" "Ini darah daging bapak! Gimana bisa bapak ngomong kayak gitu?!" Suaranya meninggi, tangan mengepal di sisi tubuhnya. "Walaupun ada darah aku di dalamnya, dia tetap anak bapak!" Jedidah tertawa hambar. "Justru itu!" Jedidah berseru, mata hazelnya yang dingin menatap Dara seperti belati yang mengiris ke dalam. "Ada darah kamu! Yang saya inginkan adalah darah Zarin!" lanjut Jedidah. "Mengkhianatinya sudah cukup menjadi dosa, dan sekarang kamu pikir saya akan menerima anak ini?" Dara tidak bisa bernapas. Rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang mencengkeram lehernya, mencekik, meremukkan setiap harapannya. "Janin itu akan digugurkan," suara Jedidah terdengar begitu kejam. Dingin, tanpa ragu, tanpa belas kasihan. "Suka atau tidak." PLAK! "b******n!" suaranya pecah, hampir seperti erangan penuh luka. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tetapi Dara tidak membiarkannya jatuh di hadapan pria itu. Ia menggigit bibirnya, menahan isakan, lalu berbalik dan melangkah keluar dengan cepat. Di sisi lain, Jedidah masih dengan pendiriannya yang sama. "Lu tanggung jawab, gugurin anak itu.” Zurech mendengus. "Lu gak akan punya anak lagi kalau gitu, tolol." “Apa?” Alih-alih langsung menjawab, Zurech berbalik, membuka salah satu laci lemari arsip, menarik keluar sebuah map berisi dokumen, lalu melemparkannya ke atas meja dengan kasar. "Hasil pemeriksaan Zarin baru keluar." Jedidah menurunkan pandangannya ke map yang kini terbuka di hadapannya. Berkas-berkas itu berisi laporan medis yang tampak begitu tebal. "Zarin mengalami Primary Ovarian Insufficiency (POI)—gagal ovarium dini. Sel telurnya hampir tidak berkembang, jumlahnya sedikit, dan yang tersisa pun kualitasnya buruk. Bahkan jika dia menggunakan ibu pengganti sekalipun, peluang keberhasilannya cuma empat persen." "Empat persen?" suaranya lebih pelan, hampir berbisik. Zurech mengangguk. "Itu pun dengan perawatan intensif. Realitanya? Peluangnya lebih kecil dari itu. Ini bukan cuma sekadar sulit hamil, Jed. Secara medis, dia hampir mandul." **** Dara terbaring di atas kasur kapuknya yang sudah keras, tubuhnya berbalut selimut tipis yang tak cukup untuk menghalau dinginnya udara. Langit menggelegar, suara guntur sesekali membelah malam. Dari dapur, terdengar tetesan air yang jatuh satu per satu dari atap yang bocor, beradu dengan lantai yang sudah mulai basah. Pemandangan yang sudah biasa, tapi malam ini terasa lebih berat dari sebelumnya. Tatapan Dara kosong menatap langit-langit. Wajahnya datar, tak ada ekspresi, seolah tak ada lagi yang tersisa di dalam dirinya. Namun, setetes air mata jatuh, lalu mengalir, membasahi pipinya yang dingin. Tangannya perlahan bergerak, menyentuh perutnya yang masih datar, seolah mencari keberadaan sesuatu di dalam sana. Haruskah dia menggugurkannya? Baru saja pemikiran itu muncul, tiba-tiba perutnya terasa nyeri. Bukan sakit yang menusuk, tapi cukup untuk membuatnya tersentak. Dara mengusapnya perlahan, bibirnya melengkung samar, terkekeh miris. "Iya, iya, aku cari makan sekarang. Kamu lapar ya?" gumamnya pelan, seakan berbicara dengan sesuatu yang belum bisa menjawab. Dara menghela napas panjang dan bangkit dari kasur, kakinya telanjang menyentuh lantai dingin. Dia melangkah keluar kamar. Suara angin yang berdesir di luar semakin keras, membuat jendela kayu tua di kontrakannya berderak. Namun, sebelum ia sempat menyalakan lampu, suara pintu terbuka membuatnya refleks berhenti. Beberapa lampu di kontrakan mati karena hujan yang semakin ganas, membuat sosok yang masuk hanya terlihat sebagai bayangan gelap. Mata Dara menyipit, jantungnya berdebar. "Siapa di sana?!” "Saya." Suara berat itu terdengar, begitu familiar. Dara merasakan bulu kuduknya meremang. Jedidah. "Ibu kontrakan mengizinkan saya masuk.” Dara tertawa sinis. "Orang kaya memang seenaknya." "Kita harus bicara, Dara.” Dara mendengus, melangkah menuju dapur. "Gak ada yang perlu dibicarakan. Keluar dari sini!" "Jangan keras kepala." "Lebih baik keras kepala daripada gak punya nurani seperti Bapak." Ia terus berjalan, ingin mengabaikan pria itu sepenuhnya. Namun, baru beberapa langkah, kakinya tiba-tiba menginjak sesuatu yang licin. "Aaaa!" Dara hampir saja terjatuh jika saja Jedidah tidak dengan sigap menariknya dari belakang, lengannya yang kuat menahan tubuh mungil Dara agar tidak terhempas ke lantai yang sudah tergenang air. Dapur sudah banjir. Air naik perlahan, menyelimuti lantai hingga setengah mata kaki. Dara tersentak panik, tubuhnya membeku saat melihat air terus mengalir dari luar. Suara orang-orang di luar terdengar riuh, beberapa berteriak memberi peringatan untuk mengungsi karena air terus naik. "Kita pergi," suara Jedidah terdengar, tegas dan tak terbantahkan. "Bisa bahaya kalau tetap di sini." Dara langsung berontak. "Aku gak mau pergi sama Bapak! Lepasin!" Namun Jedidah tidak mengendurkan genggamannya. "Diam, Dara, kamu bisa terluka." "Aku gak butuh bantuan bapak!" "Jangan bodoh." Jedidah semakin mempererat pegangannya, lalu tanpa menunggu jawaban lagi, dia menarik Dara keluar dari rumah kontrakan itu. Pria itu memayungi mereka dengan tubuhnya sendiri, melindungi Dara dari terpaan hujan yang semakin deras. Mereka berjalan menembus gang yang gelap dan basah, suara air mengalir memenuhi lorong sempit di antara rumah-rumah kumuh. Dara mencoba menahan diri untuk tidak menatap pria yang kini merangkulnya erat, tapi matanya tetap terangkat, menatap wajah Jedidah yang begitu dekat. Dara menggigit bibir, mencoba menahan perasaan yang sulit ia definisikan. Sesampainya di jalan besar, sebuah mobil hitam yang tampak begitu mahal dan elegan menunggu di depan mereka. Jedidah membuka pintu penumpang tanpa berkata apa-apa. Dara, yang tubuhnya sudah basah kuyup dan menggigil, tidak punya pilihan selain masuk ke dalam. Begitu duduk, Dara merasakan kehangatan yang langsung menyelimuti tubuhnya. Aroma kulit asli dari jok mobil, perpaduan wewangian maskulin yang khas dari Jedidah, serta suhu ruangan yang jauh lebih nyaman dibandingkan udara dingin di luar. Jedidah masuk ke kursi pengemudi, menutup pintu, lalu menyalakan mesin. Mobil melaju dalam keheningan. Dara hanya menatap jalanan yang basah, kepalanya bersandar di jendela, sementara tatapannya kosong. Hujan masih mengguyur kota, tapi di dalam mobil ini... keheningan terasa lebih menyesakkan daripada badai di luar sana. **** Elysian Heights, salah satu apartemen paling mewah di Jakarta Pusat, tempat para elit dan konglomerat menetap dengan privasi dan kemewahan yang tak terjamah oleh orang biasa. Di sanalah Jedidah membawanya malam ini, menyusuri jalanan basah dengan mobil elegan yang berderum pelan menembus hujan. Begitu mereka tiba, Dara turun dari mobil, memandang gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, berdiri dengan megah di tengah kota. Kaca-kaca reflektifnya memantulkan cahaya kota yang berkilauan, memberikan kesan futuristik yang mencolok. Seumur hidup, Dara belum pernah menginjakkan kaki di tempat semewah ini. Saat mereka masuk, suasana lobi utama terasa begitu berbeda dari dunia yang biasa Dara tinggali. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan, karpet tebal yang membungkam suara langkah kaki, serta aroma eksklusif dari diffuser ruangan yang entah berasal dari rempah atau kayu cedar yang mahal. Jedidah melangkah tanpa suara, menekan sidik jarinya di panel hitam di samping pintu ganda yang tinggi. Dengan bunyi bip halus, pintu otomatis terbuka, memperlihatkan penthouse dua lantai dengan konsep terbuka yang begitu luas, begitu eksklusif. Begitu masuk, ruang tamu luas menyambut mereka—dengan jendela kaca setinggi langit-langit yang memberikan pemandangan panorama kota. Dindingnya dipenuhi rak buku built-in, koleksi jam tangan antik terpajang dalam lemari kaca, sementara chandelier kristal memancarkan cahaya lembut di atas meja marmer hitam yang besar. Di sudut ruangan, sebuah tangga melingkar dengan pegangan kaca dan baja hitam mengarah ke lantai atas, di mana area pribadi pemilik penthouse berada. Lantai bawah, sementara itu, didominasi oleh ruang tamu, ruang kerja, dan dapur yang mengusung konsep modern-industrial, dengan kitchen island marmer putih dan rak-rak kayu ek yang tertata sempurna. Suara gemerisik dari dapur membuat Dara menoleh. Seorang wanita berpakaian pelayan mendekat dengan sikap sopan, menundukkan kepalanya dalam hormat. “Maaf, Tuan, saya tidak mendengar Anda masuk.” Jedidah melepas jasnya, menyerahkannya pada sang pelayan dengan gerakan santai. “Tidak apa, makanannya sudah siap?” “Sudah, Tuan.” “Ini Dara.” Pelayan itu mengangguk sopan. “Nona Dara, saya Lisma, pelayan di sini. Makan malamnya sudah disiapkan, saya pamit dulu.” Dara mengangguk. “Saya pamit dulu, Nona. Silahkan nikmati makanannya.” Jedidah melangkah santai. “Pelayan hanya datang pada waktu tertentu. Kemarilah, makan dulu.” Dara ragu, tapi tetap mengikuti langkahnya ke ruang makan yang begitu mewah hingga terasa tidak nyata. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dari marmer hitam dengan detail emas sudah tertata dengan sempurna. Piring porselen Royal Copenhagen, sendok-garpu perak dengan ukiran khas, serta gelas kristal Baccarat yang berkilauan dalam pencahayaan lembut dari chandelier di atasnya. Dan makanannya... Dara menelan ludah. Di hadapannya tersaji hidangan yang selama ini hanya ia lihat di layar televisi atau halaman majalah kuliner mewah. Wagyu A5 steak dengan saus truffle yang menggoda, salmon confit dengan saus beurre blanc, dan sepiring risotto saffron yang aromanya menguar lembut di udara. Sebuah keranjang kecil berisi brioche yang masih hangat dengan butter truffle juga disiapkan di sampingnya. “Duduk, kamu harus makan,” perintah Jedidah. “Kenapa aku dibawa kesini? Jika bapak tidak peduli dengan bayi ini, harusnya tidak perlu menyusul.” “Duduk, Dara,” ulang Jedidah lagi. Tatapan matanya semakin tajam, yang pada akhirnya membuat Dara menurut. “Makan.” Dengan perlahan, Dara mulai mencicipinya. Begitu potongan pertama steak menyentuh lidahnya, sensasi lembut yang hampir meleleh memenuhi mulutnya. Dagingnya begitu juicy, berpadu sempurna dengan saus truffle yang kaya dan aromatik, meninggalkan jejak rasa yang mendalam di langit-langit mulutnya. “Semua kekayaan ini bisa kamu dapatkan selamanya,” ujar Jedidah yang tengah tenang menyantap makanannya. “Jika kamu memberikan anak dalam kandunganmu pada saya dan Zarin.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD