"Angkat dong Tristan!!" Melina melemparkan ponselnya ke atas kasur dengan kesal. Matanya menatap layar yang menunjukkan sederet pesan tak terbaca dan panggilan yang tak satupun dijawab oleh sang suami.
"Dia pasti sibuk bercinta dengan Alena," gumamnya geram, berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Nafasnya memburu, sementara kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Kata Reyhan, mereka sudah hampir dua hari tidak keluar kamar! Gila! Apa yang sebenarnya mereka lakukan di sana?!"
Ia memungut ponselnya kembali, membuka pesan terakhir yang ia kirimkan—yang dibalas hanya dengan satu kata oleh Tristan: Sibuk.
“Sibuk? Sibuk bercinta, maksudmu, Tristan?!” bentaknya sendiri, menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah. Rasa cemburu dan terhina bercampur aduk dalam hatinya.
Melina menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia mendongak, menatap langit-langit kamarnya.
"Apa aku harus menyusul ke sana?" bisiknya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Ya… mungkin kalau aku datang, Reyhan punya lebih banyak kesempatan untuk mendekati Alena.”
Ia menoleh ke meja di sudut ruangan, melihat tiket pesawat yang sudah dia persiapkan sebelumnya.
“Dia bohong. Katanya akan menghubungiku begitu tiba, nyatanya, dia lebih memilih bersama wanita itu sekarang.”
Melina bangkit dan mengambil ponselnya lagi, lalu menghubungi Reyhan. Setelah beberapa dering, suara pria itu terdengar di ujung sana.
"Halo?"
"Rey, ini aku. Ada waktu bicara?"
“Tentu saja. Ada apa?”
“Aku ingin ke Bali,” katanya tegas. “Tristan tidak membalas pesanku. Aku yakin dia sibuk... dengan Alena.”
Ada jeda hening di seberang.
“Lalu kau ingin aku apa? Menghentikan mereka bercinta, begitu?” tanya Reyhan datar.
“Aku ingin kamu culik Alena. Atau apalah, yang penting, Tristan dan Alena berpisah." Melina berkata cepat.
“Bagaimana bisa aku menculiknya, sementara suamimu mengurungnya di kamar?"
“Kau pasti bisa,” ucap Melina. “Cobalah... malam ini. Aku akan alihkan perhatian Tristan.”
Reyhan tidak langsung menjawab. Tapi senyuman kecil muncul di sudut bibirnya.
“Aku tidak janji, tapi kalau dia memang masih bisa diselamatkan... aku akan coba,” balas Reyhan dingin. “Tapi kalau ternyata dia memang memilih jadi istri kedua, aku akan menganggap dia sama buruknya dengan Tristan.”
“Bagus,” gumam Melina. “Aku akan menyusul kalian ke Bali malam ini.”
Saat telepon ditutup, Melina berdiri dan mulai mengemas pakaiannya. Tatapannya tajam, langkahnya mantap. Ia tak akan membiarkan kebahagiaan itu bertahan lama.
“Aku akan hancurkan bulan madu kalian,” desisnya. “Dengan cara apa pun.”
---
Langit Bali sore itu berwarna jingga, memantulkan bayangan indah di dinding kaca kamar hotel tempat Alena dan Tristan menginap. Tapi keindahan itu tak berarti apa-apa bagi Alena yang tengah terbaring di ranjang, tubuhnya letih dan pikirannya kacau. Sudah dua hari ia menjadi bulan-bulanan hasrat Tristan. Ia lelah. Sangat lelah.
“Kalau begini terus, aku bisa gila…” gumam Alena lirih, menatap langit-langit sambil menahan air mata. “Aku harus cari cara agar dia berhenti menyentuhku…”
Mendadak ide cemerlang terlintas di benaknya. Ia langsung duduk tegak dan menggenggam perutnya sambil meringis pelan.
Saat itu Tristan baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk di pinggangnya, siap untuk ‘menikmati’ malam ketiga mereka.
“Sayang…” panggilnya dengan nada menggoda. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat Alena meringis kesakitan.
“Sayang? Kamu kenapa?” tanya Tristan dengan nada panik, segera mendekatinya. “Kenapa kamu meringis begitu?”
Alena menunduk, menggigit bibir sambil memegang perutnya, memaksa air matanya keluar.
“Perut aku… sakit banget, Sayang… seperti ditusuk-tusuk,” ucapnya parau. “Aku takut…”
Tristan langsung berubah pucat. “Sial… jangan-jangan kandungan kamu kenapa-napa…” katanya tegang. “Tunggu di sini! Aku panggil dokter sekarang juga!”
Tak sampai setengah jam, seorang dokter kandungan lokal datang ke kamar. Alena berusaha tetap terlihat lemah dan kesakitan.
“Pak, saya perlu memeriksa pasien secara menyeluruh, termasuk riwayat kehamilan dan beberapa pertanyaan pribadi,” ujar dokter itu sopan. “Boleh Bapak tinggalkan kami berdua?”
Tristan mengangguk meski ragu. “Ya sudah, saya tunggu di balkon.”
Begitu Tristan menutup pintu balkon, Alena langsung menggenggam tangan sang dokter dengan erat.
“Dok, saya mohon bantuannya…” bisiknya pelan. “Saya benar-benar lelah…”
Dokter itu menatapnya heran. “Maksud Ibu?”
“Suami saya… hampir tiap hari dia mengajak saya berhubungan. Saya kelelahan, dok. Saya hamil, tapi dia tidak peduli. Saya mohon… katakan sesuatu yang bisa membuat dia berhenti… paling tidak untuk sementara waktu…”
Dokter itu tertegun sejenak. Ia melihat mata Alena yang berkaca-kaca, penuh keputusasaan.
“Baik, saya akan bantu,” ujar dokter itu akhirnya. “Saya akan bilang kandungan Anda lemah dan butuh istirahat total. Tidak boleh ada hubungan suami istri untuk sementara.”
Air mata Alena mengalir pelan. “Terima kasih, Dok… sungguh, saya sangat berterima kasih…”
Tak lama kemudian, dokter keluar dan menemui Tristan.
“Pak Tristan, kondisi istri Anda secara umum sehat, tapi janin lemah. Saya sarankan beliau tidak beraktivitas berat, termasuk hubungan suami istri, minimal selama dua minggu ke depan.”
Tristan tampak kecewa, namun mengangguk. “Baik, Dok. Yang penting anak dan istriku sehat.”
Alena hanya bisa menunduk, menyembunyikan senyum lega di balik wajah lelahnya.
---
Alena berbaring tenang dalam pelukan Tristan malam itu. Untuk pertama kalinya sejak mereka tiba di Bali, tubuhnya benar-benar bisa beristirahat tanpa rasa takut disentuh saat terlelap.
Tristan, meski kecewa karena tak bisa lagi memuaskan hasratnya, mencoba menahan diri. Kata-kata dokter cukup menakutkan baginya—ia tidak ingin mengambil risiko kehilangan anak dalam kandungan Alena.
"Aku cuma peluk kamu, ya, Sayang. Nggak lebih dari itu," bisik Tristan pelan, membelai rambut Alena yang pura-pura tertidur.
Pagi menjelang, Alena tahu dia tak bisa berlama-lama di sini. Ia harus mencari celah untuk pergi dari lelaki itu. Tapi semua akses dibatasi oleh Tristan. Ponselnya masih disita, dan Tristan bahkan tidak mengizinkannya menyentuh dompet.
“Aku harus keluar dari sini…” gumamnya dalam hati.
Lalu, sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan mata yang dibuat berbinar, ia menoleh pada Tristan yang sedang duduk membuka laptop di balkon.
"Sayang..." panggil Alena manja. “Aku tiba-tiba pengen makan sesuatu yang seger dan hangat.”
Tristan menoleh. “Kamu mau apa?”
“Sup kepala ikan mak beng… Yang terkenal itu, loh. Katanya enak banget kalau dimakan pagi-pagi,” ucapnya sambil meringis manja.
Tristan mengerutkan dahi. “Kamu yakin boleh makan itu?”
Alena mengangguk. “Tolong ya, Sayang… aku nggak bisa tenang sebelum makan itu.”
Tristan menghela napas. “Baiklah. Tapi kamu harus janji tetap di kamar. Jangan ke mana-mana.”
“Janji,” ujar Alena cepat, mencoba terlihat meyakinkan.
Setelah Tristan pergi, Alena langsung bangkit dari tempat tidur dan bergegas mengambil beberapa barang yang dia butuhkan. Ia masih menyimpan satu kartu ATM cadangan dan uang tunai sedikit di sana. Itu cukup untuk kabur.
Langkahnya pelan menuju pintu. Tangannya gemetar saat hendak meraih gagang. Tapi sebelum sempat ia membukanya—
Tok tok tok
Alena tersentak. Jantungnya nyaris melompat keluar.
“Tristan?” gumamnya cemas. “Tapi dia baru saja pergi…”
Dengan hati-hati, ia mendekati pintu dan mengintip dari lubang pengintai. Mata Alena melebar saat melihat siapa yang berdiri di luar.