8. Ranjang Baru

1086 Words
Padahal, ini adalah rumahnya tapi, Lova merasa dirinya adalah orang asing. Sementara, pria yang berdiri di depannya ini adalah penguasa di rumahnya sendiri. Lova yang duduk di sofa ruang tengah, terus menundukkan kepala tak berani menatap Zegan yang berdiri menjulang di depannya dengan tangan bersedekap d**a. Apa yang Zegan lakukan sebelumnya berhasil membuatnya tak berani melakukan apapun. “Bodoh.” Lova mengerut mendengar suara dingin Zegan. Namun, ia tak bisa protes. Lebih tepatnya tak berani protes. “Aku sudah memperingatkanmu.” Lova mengangguk kaku. Suara Zegan seperti sambaran petir di siang hari yang tak ingin ia dengar. Ia harap anggukan pasrahnya membuat pria itu tak lagi membuka suara. Zegan tak mengalihkan sedikitpun perhatiannya, memberi kembali wanita di hadapannya pelajaran. Ia sudah berbaik hati tak melakukan apapun pada Lova tapi, wanita itu berani melaporkannya ke polisi. “Ganti bajumu dan ikut aku,” ucap Zegan. Lova memberanikan diri mengangkat kepala dan bertanya, “Ke- ke mana?” “Menguras uangmu,” jawab Zegan yang membuat wajah Lova memucat seketika. Beberapa waktu setelahnya, Lova hanya bisa meratapi tabungannya yang kian menipis. Zegan benar-benar menguras uangnya untuk membeli sesuatu yang tidak perlu. Padahal, ia juga harus memperbaiki mobilnya. Zegan melirik Lova yang tampak frustasi telah kehilangan uangnya. Namun, sama sekali tak ada rasa iba. Saat ini Zegan dan Lova dalam perjalanan pulang setelah membeli beberapa kebutuhan rumah di antaranya AC, ranjang baru dan beberapa kebutuhan pria. Dan semua itu dibeli menggunakan uang Lova. “Hanya orang bodoh yang menangisi uangnya untuk kebutuhannya sendiri,” ucap Zegan. Lova mengusap ingus bening yang ikut mengalir seperti air matanya. “Bagaimana aku tak menangis? Kau menghabiskan uangku demi keinginanmu,” ucap Lova. Saking frustasinya ia berani menjawab Zegan. “Siapa suruh kamarmu pengap. Tidur di ranjangmu juga seperti tidur di atas aspal.” Lova seketika menoleh dan melotot. Namun, saat Zegan menoleh padanya, ia segera menundukkan kepala tak berani menatap mata Zegan yang begitu tajam. Zegan kembali menghadap depan dan fokus mengendarai mobilnya. “Anggap saja ini hukuman karena kau berani lapor polisi. Jika berani lagi, bukan hanya uang, tapi kau tahu apa yang akan kulakukan, bukan?” Lova mengangguk cepat. Kalimat terakhir Zegan mengingatkannya apa yang pria itu lakukan sebelumnya bagaimana pria itu berniat menodainya. “Bagus. Maka dari itu, jadilah penurut.” *** Waktu telah malam saat tukang pasang AC selesai memasang AC di kamar Lova sekaligus mengganti ranjang lama Lova dengan ranjang yang baru. Sekarang, kamar yang menurut Zegan pengap itu kini menjadi sejuk, ranjang Lova juga sangat empuk. “Mau ke mana kau?” Lova menghentikan langkahnya sebelum mencapai pintu. Mengeratkan pelukannya pada bantal kesayangannya, ia membalikkan badan kaku menghadap Zegan yang berdiri di depan ranjang. “A- ku … akan tidur di–” “Tidak.” Belum sempat Lova selesai bicara, Zegan lebih dulu memotong ucapannya. “Jangan membuatku mengulangi ucapanku kemarin.” Lova menatap Zegan dengan wajah takut. “Ta- tapi–” Lova tak mampu melanjutkan ucapannya saat melihat bagaimana Zegan menatapnya. Pria itu kembali menatapnya dengan tatapan begitu dingin menusuk. Alhasil, dengan pasrah Lova berjalan ke tempat tidur. “Ta- tapi, kau … tidak akan melakukan apapun, padaku, kan?” “Tidak. Kecuali kau membuat kesalahan atau memintanya,” jawab Zegan kemudian naik ke ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berbaring miring memunggungi Lova yang masih berdiri di sisi ranjang. Lova menatap punggung Zegan dengan pandangan tak terbaca dan sebuah pikiran pun terbesit dalam kepala. Jarum jam terus berputar hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan dini hari. Namun, Lova masih terjaga. Ia tidak bisa tidur. Lova yang berbaring miring memunggungi Zegan, menoleh dan menemukan Zegan kini berbaring menghadap atas, tak lagi memunggunginya. Ia pun membalikkan badan perlahan dan menatap Zegan cukup lama. Tiba-tiba pikiran buruk yang sebelumnya terbesit, kembali membelai pikiran. Saat ini Zegan sedang tidur, pria itu dlama keadaan lengah. Jadi, ia bisa menyerangnya, bukan? Lova mengedarkan pandangan hingga berakhir ke laci meja rias di mana ia biasa menaruh gunting. Dengan amat sangat hati-hati ia pun turun dari ranjang, berjalan mengendap ke arah meja riasnya lalu membuka laci dengan begitu pelan agar tak menimbulkan suara. Diambilnya benda tajam itu kemudian kembali menutup laci lalu berjalan kembali menuju ranjang seperti seorang pencuri. Kedua tangan Lova bekerja sama memegang gunting. Ia yang telah berdiri di sisi ranjang, mengarah ujung guntung tepat di atas perut Zegan. Keringat mulai membasahi dahi Lova, tangannya mulai gemetar saat berniat menghujam gunting itu ke perut Zegan. Ini adalah kesempatannya terbebas dari pria itu. Namun, hingga beberapa detik berlalu, gunting itu masih menggantung, belum jua menancap di perut Zegan. Lova menelan ludah susah payah, tangannya mulai licin karena keringat. Sebagian hatinya menyuruhnya segera menusuk perut Zegan. Namun, sebagian hatinya menyuruhnya mengurungkan niat. Jika ia membunuh Zegan, ia akan menjadi pembunuh dan kehilangan masa depannya. Tapi, jika tidak, Zegan bisa berbuat apapun padanya, masa depannya juga suram. Tes! Setetes keringat jatuh dari ujung dagu Lova, jatuh mengenai kakinya. Ia tengah mengalami gejolak batin yang besar. Perhatian Lova beralih dari perut rata Zegan, merambat naik dan berhenti di wajah tampannya. Zegan memiliki rahang yang tegas, hidung mancung dan bibir sedikit tebal membuatnya terlihat begitu kissable. Gigi-gigi Zegan juga rapi dengan gigi taring bagian kanan yang sedikit lebih panjang membuatnya sedikit terlihat saat pria itu menyeringai. Ditambah sorot mata yang tajam dan alis cukup tebal membuat pria itu seperti vampir ketika tersenyum miring. Lova masih mengingat semua itu dengan jelas, melihat saat pria itu menyeringai bengis padanya meski saat ini Zegan tengah terlelap. Lova akui Zegan sangat tampan, wajahnya, postur tubuhnya, seperti karakter manhwa yang sering ia baca. Sayangnya, pria itu begitu kejam. Plak! Lova menampar pipinya mengenyahkan pikiran kotor dari kepala. Sekarang bukan saatnya mengagumi pria jahat yang mengganggu hidupnya. Tanpa sengaja tamparan itu membuat Lova tersadar akan sesuatu. Zegan memang kejam tapi, kenyataannya, sampai detik ini pria itu tidak melakukan apapun padanya. Bahkan siang tadi saat seakan benar-benar ingin memerkosanya, pria itu tidak melakukannya. Meski menghabiskan uangnya tapi, pria itu sama sekali tidak melukainya. Menyadari itu, genggam tangan Lova pada gunting mulai mengendur. Ditatapnya Zegan cukup lama hingga akhirnya gunting di tangan terlepas jatuh ke lantai. Tiba-tiba Lova memegangi kepalanya yang berdenyut. Ia sudah merasakannya sebelumnya tapi, mengabaikannya karena lebih memikirkan rencana menghabisi Zegan. Sekarang, denyutan di kepalanya kian menjadi membuatnya mulai oleng hingga akhirnya tersungkur jatuh ke lantai. Lova pingsan tak sadarkan diri. Tepat setelah Lova tersungkur, tiba-tiba Zegan membuka mata. Pria itu menatap langit kamar selama beberapa saat kemudian bangun dan mengarah pandangan pada Lova. Dipandanginya Lova cukup lama dan beralih pada gunting yang berada tak jauh darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD