Eps. 2 Salah Minum Obat

1015 Words
Sanvi mengemudi tanpa arah, hanya mengikuti jalur jalan raya yang terbentang di depannya. Tidak ada tujuan, tidak ada peta, hanya mobil yang melaju dengan bensin yang tersisa. Pikirannya kosong tapi sesak, tubuhnya lelah namun gelisah. Air matanya sudah kering, tapi perihnya tak kunjung reda. Ia terus menyetir, berharap jarak bisa menjauhkan rasa sakit di dadanya. Ketika indikator bensin mulai berkedip merah, Sanvi menepi di sebuah tanah kosong yang luas di tepi jalan. Tempat itu sunyi—hamparan lapangan terbuka berbatu dengan tebing curam di ujungnya, menghadap jurang yang dalam. Angin sore bertiup pelan, seolah mengerti luka yang sedang ia pikul. Sanvi turun dari mobil, berdiri di tengah tanah lapang itu seorang diri. Ia memandang jauh ke ujung jurang, lalu mendongak ke langit yang mulai berubah jingga. Hatinya sesak, tenggorokannya tercekat. Dan akhirnya, ia berteriak sekeras-kerasnya. Meneriakkan nama Hedy, meneriakkan rasa kecewa, kemarahan, dan pengkhianatan yang membuat jiwanya remuk. Suaranya pecah, penuh luka. “Hedy...kamu badjingan! Bisa-bisanya kamu melakukan ini padaku!” Ia jatuh berlutut, memukul tanah, mencengkeram rumput liar, menangis tanpa suara. Setelah beberapa saat, tangannya meraba jari manisnya—di sana masih melingkar cincin pertunangan yang dulu begitu ia jaga. Dengan tangan gemetar, ia melepaskannya perlahan. Matanya menatap benda kecil itu sejenak, lalu melemparkannya jauh ke jurang tanpa ragu. Cincin itu melayang, lalu hilang ditelan kedalaman. Seperti semua harapan yang telah ia bangun selama lima tahun terakhir. Sanvi duduk diam di tepi jurang, membiarkan angin menyapu wajahnya. Nafasnya mulai teratur, matanya menatap kosong. Perlahan, emosinya mereda, tapi luka itu masih tertinggal—mengendap dalam diam, menunggu waktu untuk sembuh. Sanvi bangkit dari duduknya perlahan. Matanya sembab, namun pandangannya mulai kembali tajam meski perasaannya tetap hampa. Ia berjalan pelan menuju mobilnya, membuka pintu, lalu duduk di balik kemudi. Tangki bensin hampir habis—indikator berkedip memberi peringatan terakhir. Ia menghela napas panjang, lalu menyalakan mesin dan melajukan mobil menuju pom bensin terdekat. Di sana, ia mengisi penuh tangki mobilnya. Sambil menunggu, Sanvi berdiri di samping mobil, menatap langit yang kini mulai gelap. Angin malam menyentuh pipinya yang masih dingin oleh air mata yang belum lama kering. Setelah selesai, ia kembali ke dalam mobil dan kembali melaju, masih tanpa arah. Jalanan di depannya terus membentang, namun hatinya tertinggal di masa lalu yang baru saja hancur. Jiwanya kosong, sakit, lelah, dan seperti kehilangan cahaya. Di tengah perjalanan, Sanvi melihat sebuah apotek berdiri di sisi jalan. Mendadak, rasa pening hebat menyerang kepalanya. Ia merasa dunia seperti berputar, pikirannya terlalu penuh dan tubuhnya mulai lemas. Tanpa pikir panjang, ia membelokkan mobil dan berhenti di depan apotek itu. Ia masuk, berbicara pelan pada petugas apotek, dan membeli dua jenis obat—obat untuk sakit kepala dan satu lagi, obat tidur. Bukan karena ingin lari, tapi berjaga-jaga…siapa tahu malam nanti pikirannya terlalu gaduh untuk bisa terpejam. Setelah itu, ia kembali masuk ke mobil. Tangannya lemas saat menggenggam kemudi. Tapi ia tetap menyalakan mesin dan melaju lagi, menyusuri malam dengan kepala berat dan hati yang lebih berat lagi. Tak tahu ke mana harus pergi, ia hanya ingin terus menjauh…dari semua rasa sakit yang baru saja mengoyak hidupnya. Rasa sakit di hati Sanvi masih mencengkeram kuat, menghantamnya berkali-kali seperti gelombang yang tak pernah reda. Ia mengemudi dalam diam, tanpa arah, hanya ditemani rasa hampa dan sesak yang nyaris menyesakkan da-da. Ia ingin bicara. Ingin meluapkan semua luka, marah, kecewa, dan penghinaan yang baru saja ia alami. Tapi pada siapa? Ayahnya? Rasanya tak mungkin. Lelaki itu sejak kehadiran Mila di rumah mereka seolah berubah. Sanvi yang selama ini adalah putri kandungnya, kini seperti anak tiri yang hanya ada saat dibutuhkan. Ayahnya selalu membela Mila, bahkan dalam perkara sepele sekalipun. Mengadukan hal ini pada sang ayah hanya akan menambah luka, bukan mengurangi. Sanvi menarik napas panjang, merasa benar-benar sendirian. Saat itulah matanya menangkap sebuah bangunan besar di sisi kanan jalan—rumah sakit umum yang cukup terkenal di kota Jakarta. Terbersit di pikirannya mungkin, setidaknya, para tenaga medis di sana bisa mendengarkan. Mungkin, ada ruang untuknya bernapas kembali. Ia membelokkan mobil dan masuk ke area parkir rumah sakit. Sebelum turun, kepalanya kembali terasa berdenyut hebat. Ia membuka tas dengan buru-buru, mencari obat sakit kepala yang baru saja dibelinya di apotek. Namun karena tergesa dan pikirannya masih kacau, Sanvi tidak memperhatikan label pada bungkusnya—yang ia ambil dan telan ternyata adalah obat tidur, bukan pereda sakit kepala. Tak menyadari kesalahannya, Sanvi berjalan ke dalam rumah sakit, menyusuri lorong yang cukup ramai. Ia menuju bagian pendaftaran dan dengan suara pelan mengatakan bahwa ia ingin mendaftar untuk sesi konseling psikiatri. “Tolong, saya ingin melakukan konseling dan dokter di sini, apa bisa?” Petugas di balik meja menatapnya dengan senyum ramah dan memproses pendaftarannya. “Bisa, silakan.” Petugas administrasi kemudian mendata Sanvi setelah meminta tanda pengenalnya. Namun perlahan, tubuh Sanvi mulai terasa berat. Matanya mengantuk, kepalanya ringan seperti melayang. Langkahnya melambat, bahkan sesekali ia kehilangan keseimbangan. “Silakan bisa tunggu di dalam sini,” ucap administrasi menunjukkan sebuah ruangan. “Terima kasih,” balas Sanvi singkat. Baru beberapa menit setelah mendaftar dan hendak menuju ruang tunggu, tubuhnya limbung. Pandangannya mengabur. Ia berpegangan pada dinding, mencoba tetap sadar. Tapi efek obat tidur yang kuat mulai bekerja. Tak lama, Sanvi terjatuh perlahan di kursi tunggu, matanya setengah terpejam. Dunia di sekelilingnya memudar…sementara luka di hatinya belum sempat ia ucapkan, belum sempat ia tumpahkan. Ruang tunggu rumah sakit itu semakin sepi. Lampu-lampu putih di langit-langit menyinari bangku-bangku kosong. Beberapa pasien yang tadi duduk perlahan dipanggil masuk satu per satu, hingga hanya tinggal Sanvi yang tertidur lemas di sudut ruangan. Kepalanya bersandar ke dinding, napasnya tenang—efek obat tidur sudah membawanya dalam alam tak sadar. Seorang petugas medis pria berjalan melewati lorong, lalu menghentikan langkah ketika melihat Sanvi. Ia menatap wanita muda itu, wajahnya cantik dan tampak rapuh. Tatapannya berubah, lalu muncul niat buruk dalam pikirannya. Ia mendekat perlahan, menoleh ke kanan-kiri memastikan tak ada orang, dan mulai menyentuh kancing atas pakaian Sanvi dan berarti membuka satu kancing. Namun sebelum sempat melanjutkan, suara langkah cepat menggema. Seorang dokter jiwa lelaki muncul dari balik lorong sambil membawa berkas. “Hey, kamu! Apa yang kamu lakukan pada pasien di sini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD