“Menikah?” ulang Sanvi dengan suara rendah namun tegas, matanya menatap tajam penuh ketidakpercayaan. Kata itu bergema di kepalanya, seperti tak bisa diterima logika. Tatapannya tertuju pada Arshan, pria asing berseragam putih dengan stetoskop menggantung di lehernya—seorang dokter yang baru ia kenal beberapa menit, dan kini tiba-tiba mengajukan sesuatu yang luar biasa tak masuk akal.
Pikirannya berputar cepat. Bagaimana mungkin? Seorang dokter yang katanya punya etika, baru saja dituduh—meski belum terbukti—melecehkannya, lalu sekarang malah menawarkan pernikahan?
Sungguh, ia tidak bisa mengerti bagaimana cara kerja pikiran pria ini.
Sanvi menghela napas panjang, berat dan dalam. Emosi yang belum stabil bercampur dengan logika yang tidak menemukan jalan keluarnya. Ia menunduk sesaat, mencoba menenangkan dirinya, lalu menatap Arshan dengan pandangan intens. Tatapannya bukan lagi semata curiga, tapi juga seperti mencoba mengupas lapisan-lapisan tersembunyi dari pria di hadapannya—ingin tahu siapa sebenarnya sosok yang berbicara setegas itu tanpa gentar.
Matanya turun pada da-da Arshan, membaca papan nama logam kecil yang tersemat di sana. Bibirnya bergerak perlahan.
“Dokter Arshan Malik,” ucapnya jelas.
Lalu, dengan telunjuknya, ia mengetuk ringan papan nama itu, sentuhan pelan tapi cukup untuk membuat Arshan menegang sesaat. Tatapan Sanvi dalam dan penuh makna, seperti ingin mengingat wajah dan nama itu selamanya.
“Aku akan mengingat nama itu,” lanjutnya lirih namun pasti.
Arshan tidak berkata apa-apa sejenak, hanya menatap balik dengan sorot mata tenang. Lalu, perlahan ia merogoh saku di bagian dalam jas dokternya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Ia menyerahkannya pada Sanvi dengan gerakan pelan, penuh kesadaran.
“Aku tidak pernah main-main dengan perkataanku,” ujarnya serius. “Meski aku bukan pelakunya, tapi aku akan bertanggung jawab atas semua yang terlanjur terjadi…termasuk atas kata-kataku sendiri.”
Sanvi menerima kartu itu dalam diam. Matanya masih tertuju pada Arshan, seolah ingin menebak isi pikirannya. Namun Arshan tak menjelaskan lebih lanjut. Ia hanya memberikan anggukan kecil dan berkata, “Hubungi aku jika kamu sudah mendapat jawabanmu.”
Setelah itu, tanpa menunggu reaksi lebih jauh, Arshan berbalik dan melangkah pergi menuju lorong rumah sakit, masuk ke sebuah ruangan dan menghilang di balik pintu putih tanpa suara.
Tinggal Sanvi yang duduk sendirian, menggenggam kartu nama itu erat, dengan hati yang kini tak hanya remuk…tapi juga bingung dengan arah hidup yang tiba-tiba berubah tanpa aba-aba.
Sanvi menggenggam kartu nama itu beberapa detik, lalu perlahan memasukkannya ke balik saku seragam lorengnya yang sedikit kusut akibat tadi sempat tertidur di kursi tunggu. Matanya masih mengikuti arah kepergian dokter Arshan—punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu ruangan rumah sakit. Tapi kini bukan lagi karena rasa ingin tahu, melainkan kekosongan. Tatapannya kosong, dan tubuhnya terasa lelah.
Dia menarik napas panjang. Kejadian tadi membuat jiwanya benar-benar kalut. Dia datang ke sini dengan niat bertemu psikiater, ingin mencurahkan segala luka yang menghantam dirinya bertubi-tubi. Namun kenyataan yang dia dapat justru lebih kacau dari yang ia bayangkan. Alih-alih merasa ringan, dadanya kini lebih sesak, pikirannya semakin kusut, dan emosinya makin tidak stabil.
“Aku buang-buang waktu di sini…,” gumamnya lirih. Wajahnya menegang, matanya sayu menatap lantai rumah sakit yang bersih mengilap namun terasa dingin. “Tempat ini nggak membantu sama sekali.”
Dia berdiri dengan gerakan pelan, menyeka keringat dingin di dahinya, lalu merapikan seragam dan menyampirkan tas kecil di bahu. Kepalanya masih terasa berat, efek obat yang tadi ia minum tampaknya mulai bekerja perlahan, membuat langkahnya terasa lebih lambat dari biasanya.
Sanvi pun berjalan keluar dari ruang tunggu itu, melewati beberapa perawat dan pengunjung lain yang berlalu-lalang. Tak satu pun menatapnya atau menyapanya—semuanya berjalan dengan urusan masing-masing, seakan dunia tetap berputar meski dunia kecilnya sedang berantakan.
Begitu keluar dari pintu utama rumah sakit, cahaya matahari yang menyilaukan membuatnya memicingkan mata. Dia berjalan menuju mobilnya, membuka pintu dan duduk di kursi kemudi tanpa langsung menyalakan mesin. Dia hanya terdiam, memejamkan mata sejenak, membiarkan dadanya turun naik mencoba menenangkan diri.
“Apa semua ini nyata?” bisiknya. Namun dia tahu jawabannya. Luka yang dia rasakan terlalu nyata untuk diabaikan.
Tak lama kemudian, dia menghidupkan mesin mobil, memasang sabuk pengaman, dan tanpa tujuan jelas, melajukan mobilnya ke jalanan raya yang luas. Arah tak lagi penting. Dia hanya ingin menjauh—dari rumah sakit, dari kenangan pagi ini, dari Hedy, dari Mila, dan dari rasa hancur yang belum juga mereda.
Sanvi memarkir mobil di depan rumah dengan langkah yang berat. Lampu halaman remang, dan suasana begitu sunyi seakan rumah ini pun tak ingin menyambutnya pulang. Tangannya gemetar saat mematikan mesin mobil, dan sebelum keluar, dia menatap kosong ke kaca spion, melihat wajah lelahnya sendiri yang kusut, mata sembab, dan rambut acak-acakan. Tak peduli. Dia hanya ingin masuk dan tidur.
Entah jam berapa sekarang—mungkin hampir tengah malam—tapi dia bahkan tidak ingin tahu. Waktu tidak lagi berarti.
Dengan malas, Sanvi membuka pintu rumah. Lampu ruang tamu gelap, hanya cahaya dari luar yang masuk melalui sela jendela. Sepatu dilepas asal, tas dibiarkan jatuh di lantai. Dia berjalan pelan menuju ruang tengah, berniat langsung menuju kamarnya di lantai atas.
Namun langkahnya terhenti mendadak.
Di ruang tengah yang terang, berdiri sosok pria dengan postur tegap namun mulai termakan usia. Haris Diantha—ayah kandungnya. Pria itu berdiri membelakangi televisi yang mati, dengan tangan menyilang di da-da dan ekspresi tegas yang kaku. Sorot matanya tajam, seolah mampu menembus lapisan luka dan kelelahan yang coba disembunyikan Sanvi.
“Sanvi,” ucapnya, suaranya berat dan dingin. “Kamu dari mana malam begini baru pulang?”
Nada itu menghakimi. Bukan bertanya karena khawatir, tapi mencurigai.
Sanvi diam. Kedua matanya menatap ayahnya, namun tak ada rasa hangat yang muncul. Yang dia rasakan justru kedinginan. Dia mereguk saliva, berdiri kaku seperti anak kecil yang tertangkap basah, padahal dirinya sudah dewasa.
Haris melangkah mendekat, menelusuri wajah putrinya. “Kamu berantakan. Wajahmu kusut. Mata sembab. Kamu habis dari mana?”
Sanvi membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Dia tak sanggup menjawab. Bukan karena tak bisa, tapi karena hatinya terlalu penuh untuk menjelaskan apa pun.
“Jangan bilang kamu habis dari tempat yang tidak-tidak,” lanjut Haris lagi, mencurigai, bukan peduli.
Sanvi mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. 'Tahan. Jangan menangis. Jangan jatuh di hadapan ayah yang tak pernah melihatku utuh.'
Namun hatinya mulai retak lagi.
Lelahnya hari ini belum selesai. Rumah, yang harusnya jadi tempat pulang, justru menambah luka baru.