4. Balada Nikah Sama Seleb

2555 Words
Bagas’s POV Kalau ada yang bilang pengantin baru bangunnya suka kesiangan, ini mah nggak berlaku untukku dan Derra. Yang jadi pertanyaan itu, ngapain aja semalam. Kalau udah langsung tancap gas di malam pertama yang mungkin saja bangunnya jadi kesiangan. Seperti biasa aku selalu sholat di Masjid. Subuh kali ini aku sholat di Masjid terdekat rumah orangtua Derra, I mean rumah mertua. Maklum pergantian status kadang membuatku kaku menyebut ayah ibu Derra sebagai mertuaku. Panggilanku juga sudah berubah pada mereka. Tadinya om dan tante diganti menjadi ayah dan ibu. Aku berangkat subuhan bersama ayah mertua. Pulang Subuhan kulihat istriku tercinta sudah aktif di dapur bersama asisten rumahtangga keluarga Derra. Aku terkesima melihatnya begitu serius memasak. “Mas Bagas udah pulang? Itu di meja udah Derra bikinin kopi, ada mendoan juga yang kemarin dibawa bapak ibu.” Derra mengulas senyum. Memang ya, seorang perempuan kalau udah kita halalin itu kecantikannya naik berkali lipat. Jangan sampai kebalik. Terkadang ada suami mengeluhkan istrinya jadi nggak menarik setelah menikah dan membandingkan dengan perempuan yang lebih bening di luar sana. Itu bisa jadi karena si suami terbiasa menikmati yang haram di luaran alias jelalatan lihatin cewek lain yang bukan mahram, jadi istri di rumah terlihat biasa saja atau bahkan kurang menarik. Intinya mah mesti dibiasakan untuk menundukkan pandangan dari yang haram-haram. “Sini Gas, diminum dulu kopinya, mendoannya juga masih anget.” Ayah mertua memanggilku. “Mas kesana dulu ya Der. Met masak ya, masakan kamu pasti enak.” Kukedipkan mataku. Derra tersenyum dan tersipu. “Ciyeee pengantin baru. Pagi-pagi udah bikin neng baper.” Ucap Riri, salah satu asisten rumahtangga yang berasal dari Garut dan biasa dipanggil “Neng”. “Makanya cepet nikah neng. Jangan pacaran mulu, ujung-ujungnya diputusin.” Seloroh Derra. Derra memang akrab dengan semua pekerja di rumahnya. Kadang aku melihat seperti tidak ada sekat diantara mereka. Nggak heran asisten-asisten rumahtangga yang berkerja di rumah ini rata-rata betah bekerja di sini karena diperlakukan dengan begitu baik. “Ya Neng juga maunya gitu, cepet nikah. Tapi jodohnya belum dateng.” “Sabar aja Neng. Daripada dipakai pacaran, mending buat fokus memperbaiki diri. Insya Allah nanti didatengin jodoh yang baik juga.” Ujarku sebelum berlalu dari hadaapan mereka. “Aamiin ya Allah.” Ucap Riri sambil menengadahkan tangannya ke atas. ****** Pagi ini kami sarapan bersama di ruang makan. Suasana sedikit canggung. Atmosfer terasa begitu formal, beda jauh dengan suasana makan bersama di rumah orangtuaku. Biasanya kami makan lesehan dengan atmosfer yang nuansa kekeluargaannya terasa lebih hangat. Tapi ini semua tak masalah untukku. Insya Allah aku cepat beradaptasi. Pak Angkasa dan Bu Wida terbiasa bergaul dengan kalangan atas yang memiliki pangkat, nggak heran suasana formal seperti ini pasti sudah manjadi santapan sehari-hari. “Derra Bagas, rencana kalian nanti mau tinggal di mana? Ayah ibu sih bakal seneng kalau kalian bakal tetap tinggal di sini. Rumah ini kan luas, kamarnya banyak. Semua kakakmu juga mencar-mencar, tinggal kamu yang masih di sini. Biar ayah ibu ada yang nemeni.” Ayah mertua mengawali perbincangan kami ini dengan hal yang serius. Jujur, aku ingin memboyong Derra ke rumahku. Setiap hari aku rajin kerja buat bayar cicilan tanpa bunga masa iya nggak ditempatin, kan sayang. Aku dan Derra saling berpandangan. “Ehm... Derra sih terserah mas Bagas aja. Dimanapun mas Bagas tinggal, Derra akan ikut.” Kini aku yang terdiam memikirkan jawaban yang akan kuberikan atas pertanyaan ayah mertua. “Saya inginnya tinggal di rumah saya bersama Derra.” Jawabku yakin dengan keputusanku. Setelah menikah, suamilah yang bertanggungjawab sepenuhnya atas istrinya, bukan lagi menjadi tanggungjawab orangtuanya. “Ya memang sudah semestinya kalian tinggal bersama memisahkan diri dari kami. Tapi kalau tetap di sini juga nggak masalah.” Kata-kata yang meluncur lugas dari pak Angkasa ini terdengar seperti ada rasa kurang ikhlas melepas Derra bersamaku. “Derra kan udah biasa tinggal di rumah yang besar, dengan fasilitas yang lengkap. Ibu takut Derra kesulitan menyesuaikan diri di rumah Bagas.” Tukas Bu Wda. Mendadak aku merasa begitu sensitif. Rumahku memang kecil, dibanding rumah ini mungkin cuma sepersepuluhnya saja atau bahkan lebih kecil lagi. fasilitasnya juga jauh dari rumah ini. Di sini satu kulkas besar dua pintu yang serupa dengan milikku aja ditempatkan di belakang, khusus untuk para asisten rumahtangga. Televisi yang ada di kamar Mustofa, supir keluarga juga lebih bagus dibanding televisi yang ada di rumahku. Tiba-tiba jadi merasa minder. “Bu, Derra mah insya Allah bisa menyesuaikan. Rumah mas Bagas nyaman kok. Kalau memang ayah dan ibu ingin Derra tinggal di rumah yang lebih luas, doain aja moga ada rejeki kami untuk pindah ke rumah yang lebih luas. Saat ini Derra dan Bagas kan belum punya anak, cuma berdua, jadi lebih praktis kalau tinggal di rumah yang minimalis, nggak terlalu luas biar nggak capek juga membersihkannya.” Ucap Derra sambil tersenyum ke arahku. Dia selalu saja bisa mengembalikan kembali kepercayaan diriku. “Ya kalau kamu maunya begitu nggak apa-apa. Kalau butuh rumah yang lebih luas bilang aja ama ayah.” Ujar pak Angkasa seolah meragukan kemampuanku untuk membeki rumah yang lebih luas. Aku yakin tabungan Derra itu sudah lebih dari cukup untuk sekedar membangun atau membeli rumah. Baginya dan keluarganya membeli rumah itu sama saja membeli pizza bagi seorang Bagas. Mau dibandingin ama membeli kacang goreng kok ya kedengerannya terlalu ngenes, jadi biarlah dibandingkan saja dengan membeli pizza, makanan yang masih dianggap sebagai makanan high class di mata warga menengah ke bawah. Tapi Derra menghargaiku sebagai pemimpin rumahtangga. Dia memberiku kesempatan untuk mengumpulkan hasil kerjaku dan mewujudkan impian kami bersama-sama. “Kami akan berusaha sendiri ayah. Ayah nggak perlu repot-repot.” Balas Derra diselingi senyum ke arahku. Aku tahu Derra sedang berusaha untuk membuatku nyaman dan tidak tersinggung dengan ucapan orangtuanya. Sesaat kemudian aku mendengar salam dari orang yang sudah sangat familiar suaranya. Mimi datang dengah wajah yang selalu ceria. Kami serempak menjawab salam. “Ikut sarapan Mi.” Ucap Bu Wida sambil melempar senyum. “Makasih tante tapi Mimi udah sarapan.” Ujar Mimi dengan napas terengah-engah. Sepertinya dia begitu terburu-buru datang ke rumah. “Ada apa Mi? Kamu kayak habis marathon aja.” Derra menatap Mimi dengan pandangan bertanya. Derra bilang, untuk tiga hari ke depan dia memberi hari libur untuk Mimi. “Begini non, ternyata hari ini non Derra ada syuting iklan jam sepuluh. Waktu Mimi lihat catatan, dalam waktu tiga hari ke depan ada jadwal yang udah taken kontrak dan nggak bisa dibatalin non.” Jawab Mimi dengan deru napas yang tak beraturan. “Kata kamu tiga hari ke depan aku bebas?” Derra mengernyitkan alisnya. Untuk segala macam jadwal kerja, sebenarnya Derra sudah mempercayakan pada Mimi, asisten yang merangkap manager juga. Tapi Mimi bisa kelupaan begini. “Maaf banget non, Mimi salah lihat tanggal. Sumpah dalam sejarah perjalanan karir Mimi selama ikut non Derra, baru kali ini Mimi ngalami yang namanya blank dan lupa. Sumpah parah banget non, ini gara-gara Mimi patah hati ama mas Andra. Mas Andra kayaknya tertarik tuh ama anaknya pak Lurah yang kinyis-kinyis, mlesnong-mlesnong kayak putri dari kerajaan Majapahit.” Aku malah jadi ingin tertawa mendengar penuturan Mimi. Kulihat ayah dan ibu mertua senyum-senyum mendengar celotehan Mimi. ”Ya udah aku siap-siap dulu.” Ada nada kesal meluncur dari bibir Derra. Derra menyiapkan keperluannya dalam tas besar. Dari pakaian sampai alat make up, semua ditata rapi. Aku duduk di ujung ranjang menyaksikan kesibukannya. Sudah dipastikan tiga hari ke depan dia bakal sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan kami belum punya waktu untuk honeymoon. “Mas, aku berangkat dulu ya. Maaf banget di hari cuti kamu, kita malah nggak bisa bareng-bareng.” Derra menatapku dengan kekecewaan tergambar di raut wajahnya. Aku berdiri dan mendekat ke arahnya. Kutangkup kedua pipinya. “Nggak apa-apa sayang. Mungkin besok mas mau masuk kerja aja. Nanti kalau kita udah dapet waktu untuk honeymoon, baru deh mas ngajuin cuti lagi.” Derra mengangguk, “ya mas. Aku bakal baca lagi agenda kerjaku. Kalau ada kontrak yang bisa dibatalin, aku mau batalin mas. Paling nggak tiga hari atau empat hari libur mungkin cukup untuk honeymoon. Derra pingin honeymoon di Baturaden mas, sekalian silaturahim ke keluarga mas di sana.” Aku picingkan mataku, “honeymoonnya di rumah orangtuaku? Nggak bebas kayaknya Der. Kalau ada suara-suara aneh, nanti kedengeran ama adik dan orangtuaku. Apalagi kamar mas sebelahan ama kamar Asti.” Derra tertawa cekikikan, “suara aneh apa mas? Emang kita mau ngapain?” Kucubit pipi Derra lembut, “pura-pura nggak tahu aja.” “Nanti kita nginep di villa kok mas. Bisa nyewa villa pamanmu itu. Atau mau di hotel aja? Insya Allah bapak ibu pasti ngerti maksud kita nyewa villa atau nginep di hotel.” Aku tersenyum, “iya Der. Mas ngikut aja. Nanti kita juga siap-siap pindah ke rumah mas ya.” “Iya mas. Ya udah Derra berangkat dulu ya, takut telat. Biasa, Jakarta suka macet. Atau mas Bagas mau ikut?” Aku berpikir sejenak. Acara syuting itu pasti lama. Rasanya mending aku di sini saja. “Mas di sini aja deh” “Ya udah kalau gitu. Derra berangkat ya.” Derra hendak melangkah menuju pintu namun kuraih tangannya hingga dia tertarik ke pelukanku. Derra terkesiap. Mata kami beradu dan jarak kami begitu dekat. Aku bisa mendengar degup jantungnya bergitu kuat berirama. “Masa mau pergi agak lama kok nggak ngasih sesuatu ke mas?” Derra tersenyum dan menggigit bibir bawahnya. Rasanya ingin kubungkam bibirnya saat ini juga dan melumatnya habis seperti memakan ice cream. Jarak wajah kami kian dekat. Kuawali dengan kecupan lembut lalu beralih menjadi ciuman yang lebih liar. Tanganku bahkan menjelajah memasuki bajunya dan mengelus punggungnya. Kami lepaskan ciuman kami. Rasanya belum puas, kucium dia sekali lagi. Derra mengalungkan tangannya ke leherku. Deru napas kami terdengar tersengal-sengal. Kucoba untuk menciumnya lagi tapi Derra menahan bibirku dengan telapak tangannya. Tak jua menyerah aku cium sepanjang lehernya dan kueratkan pelukanku. “Udah mas, udah....” Derra berusaha menjauhkan wajahku dengan menangkup kedua pipiku. Aku tak bergeming dan tetap kuberi kecupan lembut di sepanjang lehernya yang jenjang. “Mas...udah mas...Nanti aku telat.” Kulepaskan kecupanku dan menatapnya. Derra mengulas senyum. “Udah dulu ya. Ntar kalau Derra udah pulang, gampang dilanjut lagi.” Aku tahu gairah di wajahnya tak bisa membohongiku kalau dia juga masih menginginkan keintiman bersamaku. Namun dia harus segera berangkat. “Ya sayang, hati-hati ya.” Kukecup keningnya lembut. Derra tersenyum, “iya mas. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Kutatap langkah istriku yang menjauh dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Aku masih menginginkan kebersamaanku dengannya namun aku tak boleh egois. Aku tak bisa menyalahkan jadwal kerjanya juga karena kontrak itu sudah diambil jauh sebelum kami menikah. Pernikahan kami memang terkesan terburu-buru hingga ada yang berspekulasi bahwa Derra sudah hamil duluan mengingat usianya yang masih muda. Aku berani menantang untuk yang menggosipkan kami demikian. Silakan hitung sendiri saat nanti Derra hamil dan melahirkan. Persiapan pernikahan kami memang kilat. Pak Angkasa menginginkan hubungan kami segera dihalalkan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Aku juga inginnya disegerakan. Karena itu kami tak banyak mempertimbangkan apakah hari yang kami pilih bentrok dengan jadwal kerjanya atau tidak. Di hari ulangtahunnya yang ke-20 itulah hari kosong untuk Derra dan ternyata tiga hari setelahnya masih banyak jadwal padat menanti. Mimi salah membaca tanggal. Kami pikir tiga hari itu bakal bebas. Tapi tak apa, aku bisa sabar menunggu, sesabar saat belum menikah. Aku bisa menahan diri untuk tidak menciumnya. ****** Matahari mulai beranjak ke arah barat dan dalam beberapa jam lagi akan tenggelam. Derra belum juga pulang. Memang nikah sama seleb resikonya begini, mesti siap saat harus kehilangan waktu bersama pasangan. Aku coba kirim WA untuknya. Mungkin tidak akan langsung dibalas. Tak mengapa, yang penting aku bisa mengungkapkan kerinduanku padanya. Baru ditinggal berapa jam aja udah kangen begini. Perasaan dulu saat belum menikah, aku bisa menahan rasa kangenku. Der, belum selesai ya syutingnya ya? Kira-kira pulang jam berapa? Tidak ada balasan. Aku mengirim WA kembali. Mas kangen... Kangen banget... Muacchh... Kangen nyium kamu.... Meluk kamu... Kangen banget... Muacch....muacch... Kangen ciuman hot bareng kamu... Aku kirim emoticon kiss puluhan jumlahnya. Sesaat smartphoneku berbunyi. Mataku berbinar, kali ini Derra membalasnya. Aku geser layar smartphoneku dan k****a pesannya. Sabar mas, non Derra masih syuting. Ini hpnya Mimi yang pegang. Ciyee...pengantin baru mah beda ya. WA aja mesra bener, bikin yang jomblo ngeces... Gubraakk... ternyata dari tadi pesan WA-ku dibaca Mimi. Untung WA-nya masih dalam tahap wajar, andai saja tadi kirim pesan m***m bisa berabe diledek Mimi mulu. Emang dasar Mimi. Kira-kira selesai jam berapa Mi? Datang balasan dari Mimi. Mungkin bada’ Isya mas. Bada’ Isya... hemm pulang syuting Derra kecapaian. Alamat malam ini kayaknya bakal tertunda lagi. Membayangkannya saja sudah membuatku lemas. Derra pulang sekitar jam sembilan malam. Selesai mandi aku menemaninya makan malam di ruang makan. Rencana kami untuk pindah ke rumahku mungkin tertunda lagi sampai Derra bebas kerja. Pasalnya kalau pulang malam begini terus, dia tidak bisa maksimal mengepak barangnya, meski dia bisa meminta asistennya tapi dialah yang lebih tahu barang mana yang akan dibawa, mana yang akan ditinggal. Aku lihat dia begitu kelelahan. Kami masuk ke kamar setelah dia selesai makan. Saat dia duduk selonjoran di ranjang, aku manfaatkan kesempatan untuk menciumnya. Derra membalasnya, tapi rasanya tidak sepanas tadi pagi. Mungkin dia benar-benar kecapaian. “Capek banget ya sayang? Mas pijitin mau?” “Nggak usah mas. Tadi itu syutingnya jadi beberapa sesi mas. Ganti kostum aja ampe empat kali. Meski nanti iklannya durasinya pendek tapi proses syutingnya panjang dan melelahkan mas.” Aku tersenyum, “iya mas bisa bayangin. Kamu pasti capek banget.” “Maafin Derra mas. Mas nggak punya banyak waktu buat mas. Padahal kita ini penganten baru. Tapi Derra udah nolak semua tawaran kerja untuk tanggal 20 ampe 25. Nanti mas ambil cuti juga ya. Kita manfaatin waktu kita untuk honeymoon.” Kuusap rambutnya yang indah. “Nggak apa-apa, mas ngerti kok.” “Tapi mas kecewa kan?” Kutempelkan jari telunjukku di bibirnya, “sszzztttt...Nggak kok. Aku memahami kerjaan kamu Der.” Kami berciuman lagi, lembut. Derra menatapku begitu lekat seakan tengan meneliti setiap detail wajahku. “Mas...Derra pingin dicium lehernya kayak tadi pagi....” Derra menunduk dan semburat merah seakan melintang di pipinya. “Kenapa? Derra suka ya?” Aku tersenyum meledeknya. Derra mengangguk pelan, “iya.. rasanya geli-geli gimana ya...” Aku tertawa kecil, “minta lebih dari itu juga boleh kok Der. Boleh banget.” “Ntar kalau keterusan gimana?” Tanyanya. “Ya nggak apa-apa, bukannya itu yang kita inginkan?” Kukedipkan mataku. Derra terlihat salah tingkah, malu-malu tapi mau, membuatku semakin gemas. “Tapi kalau Derra kecapaian, kita lanjut besok atau kapan-kapan saat Derra udah fresh dan siap.” “Hmmm...insya Allah Derra siap kok mas. Derra juga pingin melalui malam romantis bareng mas Bagas.” “Yakin mau nglakuin malam ini?” Aku tanya dia sekali lagi. Derra mengangguk, “pelan-pelan ya mas, kata teman yang udah nikah, s**s pertama itu rasanya sakit untuk perempuan.” Aku tersenyum, “iya, mas bakal berhati-hati. Oya kalau Derra memang udah siap, sebelum melakukannya mesti berdoa dulu Der.” “Ya udah, Derra ajarin mas. Derra nggak hafal doanya.” Derra memasang tampang innocentnya. “Mas juga baru menghafalnya saat mau menikah, buat persiapan pas malam pertama.” Derra tertawa kecil. Aku ajarkan Derra bacaan doa sebelum berhubungan intim. Malam ini akan menjadi malam paling romantis yang mengawali indahnya perjalanan rumahtangga kami. Dan malam ini juga, dia akan menjadi wanitaku seutuhnya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD