Author’s POV
Bagas meletakkan barang-barang istrinya di ruang depan lalu melirik satu ruang kosong di rumahnya yang tidak terpakai. Dia berencana untuk menggunakan satu ruang itu sebagai tempat khusus untuk menyimpan pakaian, sepatu dan tas Derra yang begitu banyak jumlahnya. Rasa-rasanya tiga lemari yang dibawa dari rumah orangtua Derra dan memang milik Derra pribadi, tak cukup untuk menampungnya. Di kediaman orangtuanya, Derra memiliki satu ruang besar dengan enam buah lemari khusus untuk menyimpan pakaian, tas dan sepatu. Ini saja Derra sudah memangkas dan menyimpan barang-barangnya di kediaman orangtuanya untuk suatu saat dilelang dan hasil lelangnya ini akan digunakan untuk sumbangan sosial.
Derra dan Bagas menata barang-barang milik Derra dalam lemari. Derra mebghembuskan napas.
“Mas, kalau Derra bawa satu lemari lagi ke sini, mas ngizinin nggak? Kayaknya Derra butuh satu lemari lagi.” Derra melirik suaminya yang tengah menata sepatu-sepatu di lemari khusus untuk menyimpan sepatu.
“Segini udah banyak Der. Apa masih kurang juga?” Bagas menatap semua barang Derra baik yang sudah tertata di lemari maupun yang masih teronggok di kardus.
“Mas kan Derra butuh baju banyak itu karena tuntutan profesi juga. Dan setiap menghadiri acara pasti selalu mengenakan baju yang berbeda. Kalau pakai baju yang sama untuk beberapa acara, besoknya pasti bakal dibahas ramai-ramai di i********: atau infotainment. Baju-baju Derra itu nggak selalu beli sendiri juga, banyak yang dari sponsor termasuk baju rancangan designer terkenal.”
Bagas paham, Derra memiliki banyak baju, sepatu atau tas itu memang semata tuntutan profesi. Dia juga tak ingin terkesan melarang Derra. Dari awal dia memang menyadari bahwa pekerjaan dan gaya hidup Derra jauh berbeda dengannya. Selama Derra masih berkecimpung di dunia entertainment, dirinya harus bisa menghargai dan memahami perbedaan itu.
“Apa yang baik menurut Derra aja.” Balas Bagas masih sambil menata sepatu-sepatu milik Derra.
“Kok ngomongnya gitu. Mas marah ya? Mas nggak suka kalau Derra ambil satu lemari lagi? Atau barang-barang Derra yang segini jumlahnya mengganggu mas?”
Menyadari nada bicara Derra sudah mulai berubah, Bagas buru-buru mengulas senyum, “nggak marah kok. Sama sekali nggak marah. Ya udah nggak apa-apa. Mas maklum kok. Mas memahami pekerjaan Derra.”
“Ya baguslah kalau mas nggak marah. Oya sebelum aku libur tanggal 20 nanti ada satu undangan ke talk show, judulnya Married to Seleb. Jadi nanti yang diundang ke acara itu wanita-wanita yang berprofesi sebagai artis yang menikah dengan laki-laki non artis. Kita diundang juga mas. Acaranya live. Mas mau nggak dateng?”
Bagas tampak menimbang-nimbang sesuatu.
“Emang nanti yang dijadikan bahan obrolan di acara itu seputar apa aja Der?”
Derra memutar matanya, “paling-paling seputar keseharian kita, gimana rasanya jadi suami seleb, ya gitu-gitu lah.”
“Kamu ingin dateng?” Bagas memicingkan matanya.
“Mas sendiri gimana?” Tanya Derra.
“Mas ngikut kamu aja.”
“Mas Bagas mah gitu. Apa-apa ngikut. Padahal Derra ingin tahu, jauh di dalam hati mas, mas mau menerima undangan itu apa nggak.”
Bagas melihat ada pengharapan besar di sorot mata istrinya bahwa dia menginginkan untuk datang.
“Baikalah mas menerima.”
Derra tersenyum, “makasih mas. Nanti biar Derra yang nyiapin pakaian untuk mas Bagas.”
******
Debaran di d**a Bagas seakan terdengar lebih kencang dan ia gugup. Ini pertama kalinya dia duduk di depan sorot kamera dalam sebuah ruang talk show yang luas dan di hadapannya ada banyak audience yang mengamati para bintang tamu yang diundang di acara tersebut namun Bagas merasa seolah semua pasang mata itu tertuju padanya.
Ada tiga pasangan yang diundang, pertama Bagas dan Derra, pengantin baru yang baru semingguan menikah, kedua Dania dan Alex, pasangan yang sudah menikah lima tahun, dan terakhir Marsha dan Dion, pasangan yang baru menikah setahunan. Baik Derra, Dania maupun Marsha dikenal sebagai artis-artis cantik dan memiliki citra yang baik.
“Selamat malam pemirsa, alhamdulillah kita berjumpa lagi di acara talk show “Married to Seleb”, sebuah acara talk show yang mengupas kehidupan pernikahan selebritis dan non selebritis. Malam ini sudah ada pasangan aktris muda berbakat, Derra Azalia dan Bagas Pradhipta.”
Suara tepuk tangan terdengar membahana dari segala sudut.
“Kedua ada pasangan Dania Rahmania dan Alex Iskandar.” Lanjut host acara disambut tepuk tangan juga. Dania ini seorang penyanyi tenar yang album-albumnya selalu laris di pasaran.
“Ketiga seorang aktris muda yang lagi naik daun, Marsha Agustin dan suaminya Dion Prakasha.” Ujar host acara diringi tepuk tangan dari audience.
Marsha ini bisa dibilang artis yang memulai karir bersama-sama Derra. Dulu mereka kerap bertemu di audisi. Marsha sudah lebih dulu berkiprah sebelum Derra, namun namanya sempat tenggelam karena kemunculan Derra. Nama Derra menjulang menjadi aktris muda paling laris dan sudah beberapa kali didapuk menjadi pemeran utama di beberapa judul film setelah sebelumnya selalu mengisi peran figuran. Nama Marsha kembali bergaung setelah ia memutuskan menikah muda dengan pengusaha muda terkenal Dion Prakasha, pengusaha yang dulu digosipkan dekat dengan Derra. Marsha berusaha mati-matian untuk menarik perhatian Dion dan berpaling dari Derra. Dulu Derra memang sempat patah hati karena Dion lebih memilih Marsha. Status mereka memang belum pacaran, tapi Derra dan Dion sempat saling tertarik dan menyukai. Nama Marsha kembali diperhitungkan setelah ia berhasil menjadi tokoh utama dalam film bertajuk Nikah Muda.
Acara talk show tersebut sengaja mengundang Derra dan Marsha memang ada kepentingan tersembunyi, ingin menaikkan rating. Mereka yakin penonton akan sangat penasaran melihat bagaimana dua orang yang dulu santer dikabarkan perang dingin karena persaingan di dunia akting (dulu Marsha pernah kecewa pada salah satu produser karena peran yang direncanakan akan diberikan padanya, justru akhirnya diberikan pada Derra). Selain itu pernikahan Marsha dan Dion juga disebut-sebut sebagai puncak perseteruan dingin mereka.
Host acara bernama Riana Saraswati mengajukan satu buah pertanyaan yang harus dijawab oleh masing-masing pasangan.
“Pertanyaan pertama untuk para suami, apa yang paling kalian sukai dari istri kalian?”
Pertama Alex yang menjawab, “apa ya.. dia baik sih, ini mungkin jawaban standar. Tapi dia memang benar-benar wanita yang sempurna di mata saya. Dia bukan hanya istri yang luar biasa tapi juga ibu yang hebat untuk anak-anak kami.”
Jawaban Alex mendapat tepuk tangan dan suitan dari para penonton.
“Romantis banget ya, nggak salah publik menyebut kalian pasangan yang serasi dan harmonis. Saya jadi mupeng, kapan ya ada yang melamar saya?” Canda Riana. “Sekarang aku ingin tahu nih jawaban Dion, apa yang paling Dion suka dari seorang Marsha?”
Dion tampak berpikir. Derra merasakan sesekali tatapan Dion tertuju padanya. Dion masih memiliki perasaan untuk Derra, entah sedikit atau banyak, Dion tak tahu pasti tapi di matanya Derra adalah sosok perempuan istimewa dan ia pernah begitu menyesali kenapa ia tak meneruskan pendekatannya pada Derra tapi justru berpaling pada Marsha. Dion menikahi Marsha sebatas untuk bertanggungjawab atas perbuatannya yang telah mengambil keperawanan Marsha meski tak sampai hamil.
“Ehm aku suka semua tentang Marsha.” Jawab Dion.
“Semua? Bisa disebutin nggak salah satu saja alasan yang lebih spesifik?” Riana masih terus mencecar dan belum puas dengan jawaban Dion.
“Ehm Marsha memiliki cinta yang kuat untuk aku.” Jawab Dion akhirnya.
“Wah so sweet banget. Sekarang giliran Bagas nih. Apa yang Bagas suka dari Derra?”
Bagas berpikir sejenak tentang kata-kata yang pas unttuk menjawab pertanyaan Riana.
“Saya menyukai Derra dengan semua kelebihan dan kekurangan dia. Kalau ditanya alasan, bingung juga ya. Karena terkadang ketika kita menyukai seseorang, kita tak memiliki alasan khusus. Perasaan kami tumbuh mengalir dan pada saat saya sadar bahwa saya menyukainya, rasanya saya tak ingin membiarkannya lepas. Saya menyukai cara dia memegang prinsip untuk nggak terbawa arus.” Bagas menatap Derra dengan senyum yang melengkung. Derra balas menutupnya dengan tatapan penuh cinta.
“Aduh meliting ya melihatnya. Sweet banget, maklum pengantin baru. Hayoo yang jomblo pada iri ya.” Riana mengedarkan pandangannya pada audience di studio dan tawa pun bergema.
“Okey pertanyaan kedua nih. Sekarang gantian istri yang menjawab ya. Surprise apa yang suami berikan untuk istri di awal pernikahan, mungkin honeymoon kemana atau mungkin ada hadiah khusus?”
Pertama Diana yang memberi jawaban, “ehm dulu dia ngasih surprise kalung berlian. Kalung itu emang udah aku impikan dari dulu. Waktu aku cari-cari lagi ternyata udah sold. Waktu itu aku sempet nyesel kenapa dari dulu aku nggak beli berliannya. Alhamdulillah mas Alex nyariin sampai ke Milan, baru deh dapet berlian kayak yang aku pengin.”
Kedua Marsha yang menjawab, “kalau Dion, dulu dia kasih hadiah honeymoon ke Eropa. Ada empat negara yang kami kunjungi, Belanda, Perancis, Italy ama Swiss. Itu adalah hadiah yang berkesan banget buat aku. Aku memang memimpikan bisa honeymoon ke Eropa kalau nanti aku nikah dan Dion mewujudkannya.” Marsha mengulas senyum dengan binaran mata penuh cinta. Dion hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata istrinya.
Mendadak Bagas merasa berkecil hati karena ia merasa tidak pernah memberikan surprise atau hadiah apapun untuk Derra. Dia sadar bahwa dia tak sekaya dan semapan Alex dan Dion.
Tiba saatnya Derra memberi jawaban. Semua audience seakan menantikan jawaban Derra. Derra menatap Bagas dan tersenyum.
“Surprise yang dia berikan mungkin bukan dalam bentuk materi, tapi keromantisan dan sisi sweet seorang mas Bagas itulah yang menjadi surprise termanis untukku.”
Audience memberi tepuk tangan dan Riana terlihat tersenyum sambil memegang kedua pipinya.
“Wah indah banget ya. Memang sih perempuan kebanyakan suka ama cowok romantis. Jadi materi itu nomer kesekian ya, yang penting suami bisa memperlakukan kita dengan baik.” Tukas Riana.
“Kalau menurutku romantis aja nggak cukup sih. kemapanan juga sangat penting.” Sanggah Marsha sambil melirik Derra tajam.
“Kenapa bilang kemapanan itu penting? Soalnya sebagian orang berpikir bahwa kemapanan itu bisa diusahakan atau diperjuangkan bersama.” Riana menatap Marsha serius.
“Ya aku berpikir secara realistis ya. Hidup itu butuh materi. Kalau materi sedikit mana cukup? Biaya sekarang makin mahal bok. Lagipula aku sendiri udah berpenghasilan yang cukup baik. Wajar donk kalau aku nyari suami yang penghasilannya di atasku atau minimal setara lah. Untuk apa gitu punya suami, tapi kalau pingin apa-apa harus merogoh kocek sendiri.’ Cerocos Marsha dan dari kata-katanya Derra tahu bahwa Marsha tengah menyindirnya. Hubungannya dengan Marsha memang masih dingin hingga kini. Marsha selalu menganggapnya pesaing terberatnya.
“Jadi kemapanan itu sesuatu yang paling utama?” Riana bertanya sekali lagi.
“Ya bisa dibilang begitu. Zaman sekarang nggak punya duit itu rasanya nelangsa. Aku nggak cuma dapet kemapaanan dari Dion. Tapi juga cinta dan kebaikannya. Dia suami yang perfect buat aku.” Marsha tersenyum.
Bagas merasa begitu tersindir dengan kata-kata pedas Bagas. Kendati penghasilannya masih jauh di bawah Derra, namun dia berusaha untuk tetap menafkahi Derra. Semua kebutuhan rumahtangga dia yang memenuhi. Dia tak menampik, Derra juga sering mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu untuk keperluan rumahtangga atau keperluannya sendiri. Tapi itu semua atas inisiatif Derra sendiri. Bagas pernah melarang Derra untuk membeli keperluan rumahtangga, biar Bagas saja yang membelinya, namun Derra memaksa. Dia berdalih uang Bagas bisa dialokasikan untuk hal lain.
“Maaf tapi kalau buat Derra sih bukan kemapanan yang utama. Derra setuju ama pendapat kak Riana bahwa yang namanya kemapanan itu bisa diusahakan dan diperjuangkan bareng. Karena itu aku melihat agama dan akhlak sebagai sesuatu yang utama. Laki-laki mapan itu banyak ya tapi laki-laki yang sholeh dan menghargai perempuan itu jarang. Aku mengagumi prinsip Bagas yang sama sekali tak mau berbuat sesuatu yang lebih saat kami belum menikah. Dia sangat menghargai perempuan.” Jawaban Derra terdengar seperti sindiran halus untuk Marsha. Dia merasa Derra sengaja menyindir kelakuan Dion yang sudah berani mengambil miliknya yang paling berharga bahkan sebelum mereka menikah.
“Aku intruksi lagi nih. Okey lah kemapanan mungkin bukan hal utama, tapi akhlak yang utama. Tapi yang jadi pertanyaan kalau kita menikah dengan orang yang akhlaknya baik aja tapi kurang mapan, apa iya kita akan bahagia? Apa iya kita cukup makan tahu tempe atau cuma ama sambel? Atau kita cukup jalan-jalan ke Monas? Aku punya standar kebutuhan hidup yang tinggi dan aku butuh seseorang yang bisa memenuhinya. Dan itu ada pada Dion. Dia nggak cuma mapan tapi juga baik.” Marsha tak mau kalah. Acara talk show ini sudah berubah menjadi ajang berdebat.
“Sebenarnya standar kemapanan itu kan berbeda-beda untuk setiap orang. Aku akui banyak yang mengkritik sikapku yang sudah memilih mas Bagas menjadi suami hanya karena mereka menilai mas Bagas kurang mapan. Tapi di mata orang lain mas Bagas sudah bisa dibilang mapan karena dia sudah punya pekerjaan tetap, halal dan baik juga karena dia berkecimpung di dunia pendidikan. Selain itu dia sudah punya tempat tinggal dan kendaraan. Aku rasa untuk mencapai titik ini juga nggak mudah dan butuh perjuangan. Dan aku menghargai perjuangan mas Bagas. Meski di mata orang dia kurang mapan, bagiku dia sudah mapan dan apa yang dia berikan untukku sudah lebih dari cukup. Mau cukup atau tidak itu sebenarnya tergantung dari cara kita mengaturnya. Kalau gaya hidup kita selalu mewah, boros, high class tanpa tahu situasi, ya rasanya penghasilan sebesar apapun bakalan kurang.” Ucapan Derra disambut tepuk tangan oleh para audience.
“Tapi kan masalah ekonomi ini sering menjadi pemicu perceraian.” Balas Marsha sedikit ketus.
“Ya mungkin masalah finansial menjadi salah satu alasan, tapi sebenarnya ada banyak faktor lain juga yang menjadi faktor utama pencetus perceraian. Kalau memang ekonomi adalah satu-satunya faktor penguat pernikahan, lalu kenapa banyak pasangan seleb yang bisa dibilang sangat mapan tak bisa mempertahankan keutuhan rumahtangga mereka? Kenapa banyak pasangan yang hidup bergelimang harta justru pernikahannya berakhir? Sementara banyak juga pasangan yang kurang mapan tapi tetap bertahan. Contohnya dulu saya pernah melihat sepasang suami istri yang sudah menikah 35 tahun lamanya dan mereka masih bersama saling mencintai hingga sekarang.” Lagi-lagi kata-kata Derra disambut tepuk tangan. Marsha merasa kalah.
“Logika saya sih begini. Selama suami mau bekerja, memiliki pekerjaan halal, bertanggungjawab menafkahi keluarga, maka sudah sewajarnya istri menghargai perjuangan suami dan bersyukur untuk itu. Saya bukan ahli agama, tapi saya pernah mendengar kenapa wanita banyak yang menghuni neraka, salah satunya karena mereka kufur terhadap suami mereka. Mereka nggak bisa qonaah atau kurang bersyukur atas pemberian suami, terlalu banyak menuntut tanpa memahami bagaimana kondisi suami.”
Marsha tersenyum sinis. Jauh di dalam hati sebenarnya dia iri melihat keharmonisan Derra dan Bagas. Karena itu dia seolah mencari-cari cela yang ada di pasangan itu. sebaliknya Bagas begitu bangga mendengar penuturan Derra. Derra selalu bisa mendongkrak kepercayaan dirinya.
“Dan satu lagi, ketika kita terbiasa menghargai segala sesuatu dari materi, maka mata hati kita akan buta atau tak peka dengan segala sesutau yang membutuhkan simpati dan empati dari hati kita. Contoh sederhananya banyak istri yang terfokus dengan hal-hal yang bersifat materi dan keduniawian dari suaminya, hingga akhirnya banyak sisi kebaikan suami yang luput dari perhatian mereka.” Ucapan Derra disambut tepuk tangan kembali.
Dion semakin mengagumi Derra yang setelah menikah justru terlihat semakin menarik dan berkharisma. Dia berkhayal, andai saja Derra masih single. Marsha terpaku dan tak membalas apapun. Dalam hati dia berpikir keras bagaimana caranya untuk menjatuhkan Derra dengan cara elegan agar puncak ketenaran kembali ke tangannya. Dia risih selalu menjadi bayang-bayang Derra dan dibandingkan dengannya. Bahkan tak sedikit netizen yang mengecapnya sebagai pengekor dan peniru gaya berbusana Derra.
******
Bagas dan Derra saling menatap dengan posisi berbaring. Bagas mengusap rambut Derra lembut.
“Mas bangga banget ama Derra yang udah berani membalas kata-kata pedas Marsha. Mas merasa begitu dihargai. Mas makin termotivasi untuk semakin mengembangkan bisnis bonsai mas yang sudah lumayan ada hasilnya. Nanti kalau kita honeymoon ke Baturaden, mas mau sekalian nyari tanaman yang bisa dibudidayakan untuk dibuat bonsai. Di sana masih banyak tanaman liar yang sebenarnya potensial dijadikan bonsai.”
Derra mengulas senyum, “orang seperti Marsha harus diberi pelajaran dengan cara yang elegan mas. Kalau kita nggak membalas, dia akan semakin bekoar-koar. Tapi kadang ada saatnya aku diam saja nggak nanggepin. Tapi emang dari dulu Marsha nggak suka ama aku mas.”
“Ya diam kadang lebih baik. Lebih baik diam kalau tidak bisa berkata baik. Jujur mas memang masih sering minder. Apalagi kalau berada di tengah-tengah keluargamu, kerabatmu, rasanya mas nggak setara ama mereka. Tapi penerimaanmu membuat mas merasa dihargai dan percaya diri.”
Derra mengusap pipi Bagas, “mulai sekarang jangan minder-minder lagi mas. Kalau ada komentar yang negatif, mas jangan dengerin. Fokus aja ama masa depan kita, nggak usah peduliin omongan orang.”
“Makasih ya Der. Derra udah mau bersikap qona’ah sebagai istri, menerima berapapun pemberianku dan mensyukurinya. Mas beruntung memiliki istri sepertimu.”
“Derra juga beruntung memiliki suami sholeh dan baik seperti mas Bagas. Romantis juga.” Derra melengkungkan garis bibirnya ke atas.
Bagas tersenyum dan mendekatkan wajahnya pada Derra.
“Mau apa mas?” Derra tersipu. Dia tahu apa yang akan dilakukan Bagas padanya. Hanya saja dia merasa begitu deg-degan setiap kali Bagas membangun suasana romantis dengannya.
Bagas tak membalas ucapan Derra dan justru menjawabnya dengan sebuah ciuman yang begitu dalam. Ciuman yang ia teruskan menjadi keromantisan yang lebih intim.
******