Author’s POV
Pagi ini atmosfer masih terasa memanas diantara Bagas dan Derra. Keduanya belum bertegur sapa sejak bangun tidur. Sepulang dari Masjid Bagas membuka website jualan bonsainya dan melayani pesanan yang masuk, sedang Derra memasak menu untuk sarapan. Hari ini dia syuting film televisi agak siangan, jadi punya lebih banyak waktu untuk memasak.
Bagas berganti pakaian dan bersiap untuk sarapan. Saat melangkah menuju meja makan, Derra sudah duduk menunggunya.
“Sarapan dulu mas.”
“Ya Der.”
Derra mengambilkan nasi dan lauk untuk Bagas, setelah itu baru ia mengambil untuk dirinya. Meski ketegangan masih terasa antara mereka, Derra tetap berusaha melayani suaminya dengan baik.
Sebenarnya Bagas ingin membahas kembali pembicaraan mereka yang belum selesai, namun dia tak ingin memancing amarah dan malah membuat keduanya semakin tak akur. Mungkin ia perlu memberi Derra waktu untuk berpikir lagi.
Suasana begitu hening. Hanya suara denting sendok yang terdengar saling bersautan dan memecah keheningan yang ada. Keduanya membenamkan diri dalam aktivitas sarapan yang sebelum-sebelumnya selalu diisi suasana hangat namun kali ini, begitu canggung.
“Mas...”
Bagas terhenyak mendengar panggilan istrinya.
“Mas masih marah soal semalam?”
Bagas mengulas senyum, “mas nggak marah. Dari semalam pun nggak marah.”
Derra memaksakan bibirnya untuk tersenyum, “yakin nggak marah? Kalau nggak marah kenapa dari tadi bangun tidur, nggak ngomong apa-apa ama Derra?”
Bagas tercenung, tak tahu harus membalas apa.
“Mas cuma....mas....”
“Udah mas, nggak perlu ditutupin. Derra tahu mas marah. Kelihatan kok dari sikap mas.”
Bagas kembali terdiam.
“Mas jujur aja, bilang apa yang mas pengin?” Kali ini Derra menatapnya lebih menghujam.
Bagas balas menatap Derra dengan lebih tajam, “kayaknya Derra udah tahu apa yang sebenarnya mas pengin. Mas pengin Derra nggak menerima tawaran kontrak produk shampoo itu dan mas pengin Derra lebih mantapin hati buat berhijab.”
Ekspresi wajah Derra berubah menjadi lebih datar. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Derra nggak suka dengan keinginan mas? Nggak apa-apa kok. Yang penting mas udah ngingetin dan nyampein apa yang mas pengin. Tapi kalau Derra tetep keukeuh ya mas bisa apa.”
Kata-kata Bagas meluncur begitu tegas. Dia merindukan cara Bagas bicara yang bicaranya lebih lembut dari biasanya. Hari ini Derra melihat Bagas begitu berbeda dengan Bagas yang biasanya tak sanggup menolak permintaannya atau melarangnya.
Bagas tahu Derra masih ragu untuk menuruti permintaannya. Nilai kontrak produk shampoo itu memang begitu menggiurkan. Tapi dia harus bersikap tegas. Dia merasa selama ini selalu mengalah pada Derra dan menuruti semua keinginannya. Sudah saatnya Bagas bersikap lebih tegas dengannya.
Bagas menyelesaikan sarapannya. Derra mengantarnya sampai ke depan. Bagas hanya mengucap salam dan tak mendaratkan kecupan di keningnya atau bahkan ciuman di bibirnya seperti hari-hari sebelumnya. Mendadak hati Derra bergerimis. Dia selalu sensitif dengan hal-hal seperti ini dan dia begitu kecewa dengan sikap Bagas yang lebih dingin dari biasanya.
Sekitar jam sembilan, Derra berangkat ke lokasi syuting bersama Mimi. Di film televisi kali ini, Derra beradu peran dengan Marsha, artis yang selalu dicap sebagai pesaing terberatnya. Sebenarnya Derra tak begitu senang bekerjasama dengan Marsha dalam satu project, namun nilai kontraknya cukup besar, rasanya sayang jika tak diambil. Selain itu berakting dengan Marsha dalam satu project itu sangat menantang untuknya. Banyak penggemar Derra dan Marsha yang juga telah menantikan kerjasama mereka.
Di sela rehat syuting, Mimi menyiapkan bekal makan siang untuk atasannya itu. Derra selalu membawa sendiri bekal makannya karena dia tak selalu cocok dengan makanan yang sudah disiapkan kru film. Kali ini Derra memesan pada catering diet karena tak sempat menyiapkan sendiri bekalnya. Biasanya Derra menyiapkan sendiri menu rendah kalori yang biasanya berupa sayuran kukus dan buah. Atau agar lebih enak, Derra memasaknya seperti memasak capcay dengan bumbu-bumbu alami tanpa MSG dan tanpa minyak juga, tapi menggunakan air sebagai pengganti minyak.
“Non gimana kontrak produk hijabnya? Mau diterima nggak? Kalau non Derra nolak, katanya nanti mau dikasihkan ke Marsha.”
Derra tersentak mendengar ucapan Mimi. Rasanya dia tak ikhlas jika harus mundur dan membiarkan Marsha merebut kesempatan ini dengan mudahnya. Produk shampoo ini adalah produk shampoo terkenal dan sudah beberapa kali mendapat penghargaan sebagai produk shampoo terlaris dan selalu saja menggaet artis-artis papan atas sebagai bintangnya. Tentu saja artis yang membintangi iklan ini bakal mendapat sorotan lebih dan akan semakin mengukuhkan posisinya sebagai artis papan atas. Derra yang masih berambisi besar akan pencapaian karirnya akhirnya memutuskan untuk menerima kontrak tersebut meski tanpa persetujuan Bagas.
“Ya Mi, balas saja kalau aku terima tawaran mereka.”
“Serius non? Ya udah Mimi balas dulu.”
Tiba-tiba Marsha datang mendekat kepadanya dan melirik menu yang ada di lunch box.
“Wah ini catering diet dari aunty Aril ya? Dulu aku sempat langganan juga tapi kurang berhasil, akhirnya aku ganti ke catering lain.”
Derra mengulas senyum, “aku cocok sih ama menunya. Ya paling nggak berat badanku tetap stabil dan kalaupun turun, nggak begitu drastis. Aku cuma butuh turun sekilo dua kilo aja sih.”
“Oh, itu sih nggak begitu susah nuruninnya. Kalau Dion lebih suka aku langganan catering diet ke mbak Mirna. Emang sih lebih mahal, tapi menunya rasanya lebih enak dan lebih berhasil buatku. Aku nurut aja, toh dia yang bayarin.” Marsha tersenyum cerah.
“Senengnya ya didukung suami dalam segala hal.” Seloroh Mimi sambil mengupas apel.
“Iyalah Mi, suami yang support kita dalam segala hal, selama itu positif adalah kunci biar kita tetap semangat bekerja. Kan rasanya nggak enak, kalau misal kita udah capek kerja tapi suami malah nggak dukung. Toh kita kerja di entertainment ini kan untuk masa depan bersama juga.” Marsha kembali mengulas senyum sambil mengeluarkan smartphonenya. Ada satu pesan WA dari Dion. Marsha senyum-senyum bacanya.
“Wuih mba Marsha senyum-senyum, pasti dari yayang nih.” Goda Mimi seraya mengamati senyum di wajah Marsha yang melengkung lebih merekah saat membaca apa yang terpampang di layar.
“Mimi tahu aja. Ini emang dari Dion, dia nanya udah makan siang belum.”
“Aih so sweet banget.” Ledek salah satu kru yang ikut menyimak perbincangan mereka.
Derra melirik smartphonenya. Dari tak ada WA dari Bagas. Derra kerap mengirim WA lebih dulu baru Bagas akan membalasnya. Tiba-tiba dia merasa Bagas kurang perhatian jika dibandingkan dengan Dion.
“Apa Dion selalu dukung kamu Sha? Nggak pernah membatasi kamu ambil pekerjaan apapun?” Derra tahu film terbaru Marsha mengharuskannya melakoni adegan pelukan dengan pemeran laki-laki utamanya. Di beberapa iklan yang dibintangi Marsha juga menampilkan dirinya yang mengenakan pakaian terbuka.
Pertanyaan Derra membuatnya tersentak. Marsha mengerlingkan senyum, “dia mah support karir aku banget. Selama nggak ada adegan yang berlebihan atau pose yang v****r gimana, dia pasti mengizinkan.”
Derra lagi-lagi tercenung. Dia berpikir, kenapa Bagas nggak bisa bersikap seperti Dion yang bisa lebih memahami karir seorang selebriti dan lebih open minded dengan segala sesuatu.
“Untuk sukses dalam karir kita butuh banget yang namanya support dan sikap pegertian suami. Dari awal nikah suami harus tahu passion kita di sini. Pekerjaan kita udah jadi bagian dari hidup kita. Makanya kalau dia memang mencintai kita ya dia harus menerima pekerjaan, karir, dan semua yang ada di kehidupan kita.” Lanjut Marsha.
Mimi mengangguk-angguk mendengar pernyataan Marsha.
“Keren nih. Berarti kalau Mimi mau nikah, calon Mimi harus mengerti pekerjaan Mimi ya?” Mimi mengelus dagunya.
“Iyalah Mi, itu jadi syarat penting sebelum menikah.” Marsha mengangguk sambil memencet-mencet keyboard smartphonenya.
Sejenak Derra berpikir, kenapa sejak awal dia tak membicarakan hal ini lebih detail dengan Bagas. Bagas hanya menyetujui dan mengizinkan Derra untuk tetap berkarir, namun tak ada pembicaraan lebih rinci tentang pekerjaan apa saja, sejauh mana batasannya yang boleh diterima dan yang tidak boleh diambil.
******
Sudah pukul sepuluh malam, Derra belum pulang juga. Bagas mondar-mandir dan sesekali mendekat ke arah tirai, mematung sembari mengamati pemandangan di luar jendela. Ia berharap mobil Derra berhenti di pelataran rumahnya. WA Bagas dibalas jam sembilanan dan selepas jam itu, Derra belum juga membalas WA-nya lagi. WA-nya terkirim tapi belum dibaca. Bagas berkali-kali menelpon baik ke nomer Derra maupun nomer Mimi juga tak ada yang mengangkat. Bagas mulai cemas dan khawatir.
Dia mengirim pesan WA pada Andra, barangkali Andra tahu nomer kontak Marsha atau pemain lain yang sedang syuting bersama Derra.
Andra jam segini Derra belum pulang. kamu tahu nomer Marsha nggak? aku udah hubungi nomer Derra ama Mimi, tapi nggak ada respon.
Sesaat kemudian datang balasan dari Andra. Ia mengirim nomer kontak Marsha.
Bagas begitu lega mendapat kontak Marsha. Ia segera mengirim pesan WA untuk Marsha.
Assalamu’alaikum Marsha ini Bagas. Syutingnya udah kelar belum ya? Derra belum pulang dan dari tadi aku kirim WA belum dibalas, telpon juga belum diangkat.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu balasan dari Marsha.
Derra ama Mimi, ama aku dan beberapa kru lagi di night club. Kita lagi meghadiri ulangtahun salah satu pemain, si Alfaz.
Belum juga shock mengetahui Derra tengah berada di night club, Marsha mengirim foto Derra yang tengah duduk-duduk bersama teman-temannya. Backgroundnya memang benar-benar di night club. Bagas begitu kecewa. Rasa-rasanya serangkaian nasehat dan motivasi positif yang ia berikan untuk Derra sama sekali tidak mampu menembus hatinya. Bagas memijit pelipisnya, mendadak kepalanya terasa pening. Dari awal jatuh cinta pada Derra dia memang selalu mewanti-wanti dirinya bahwa dia dan Derra begitu berbeda, entah dari pekerjaan, background keluarga, life style maupun prinsip hidup. Namun Bagas begitu optimis bisa membawa Derra untuk hijrah ke jalan yang diridhoi Allah. Bagas percaya, Derra dasarnya memiliki hati yang baik, bahkan juga belum pernah berpacaran. Ia pikir jalannya untuk mengajak Derra istiqomah di jalur kebaikan dapat lebih mudah. Namun ternyata tak semudah bayangan. Ia tahu ia butuh perjuangan lebih dalam membimbing Derra yang terbiasa dimanja dan hidup mewah sejak kecil. Namun dia hanya manusia biasa yang kadang memiliki rasa lelah. Bagas masih ingin terus berjuang, hanya saja malam ini dia begitu kecewa.
Sayup-sayup suara mobil memasuki halaman. Bagas yang sedang menunggu Derra hingga tertidur di sofa depan langsung mengerjap dan merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. Diliriknya jarum jam sudah menunjuk pukul satu dini hari. Bagas beristighfar. Di satu sisi dia lega karena Derra telah kembali, namun di sisi lain dia begitu kecewa Derra pulang selarut ini.
Bagas membuka pintu. Derra yang tengah berjalan menuju teras begitu deg-degan menatap suaminya yang diam mematung dan memandangnya begitu menelisik. Derra takut Bagas marah. Tapi dia tak bisa menghindari undangan ulangtahun tersebut. Dan saat Bagas nanti bertanya alasannya pulang telat, dia akan berbohong, mengatakan bahwa syutingnya memang sampai larut.
“Assalamu’alaikum,” ucap Derra pelan.
“Wa’alaikumussalam.” Jawab Bagas datar.
Derra melangkah masuk ke dalam melewati Bagas begitu aja.
Bagas menutup pintu dan mengikuti Derra sampai ke kamar. Derra menambil baju ganti di lemari sementara Bagas berdiri mematung di pintu dan menatap Derra masih dengan ekspresi wajah yang datar.
Derra merasa ada yang aneh dari sikap suaminya. Dia tahu Bagas kurang suka melihatnya pulang larut. Derra mengganti bajunya dengan santai meski ia merasa tak nyaman dipandangi Bagas dengan tatapan yang begitu menelisik dan ekspresi wajah yang datar, seperti menyimpan amarah. Jika hubungan mereka sedang harmonis, Bagas pasti akan menggodanya atau malah merebut bajunya agar Derra tetap tampil terbuka dengan hanya terbalut underwear.
“Pulang sampai selarut ini Der?” pertanyaan Bagas meluncur datar namun tegas.
“Iya mas, syutingnya sampai malam.” Jawab Derra tanpa membuat kontak mata dengan suaminya.
“Nggak mampir kemana gitu? Kok bisa selarut ini?”
Derra melirik Bagas sebentar lalu menunduk kembali, “nggak, Derra langsung pulang.”
Bagas melangkah mendekati Derra. Tangannya bersedekap dan ditatapnya istrinya dengan sorot kekecewaan yang teramat besar. Derra sudah berani berbohong.
“Kamu tahu Der? Dalam pernikahan itu harus ada sikap saling terbuka, jangan ada kebohongan.”
Derra membisu. Ia menerka suaminya tahu ia baru saja berbohong.
“Mas kecewa ama kamu Der. Kamu janji nggak akan pergi ke night club lagi. Tapi malam ini kamu ke tempat itu lagi, menghadiri ulangtahun lagi. Yang lebih mengecewakan kamu udah bohong.”
Derra terhenyak. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia merasa sangat bersalah.
“Mas...Derra nggak berani bilang ke night club karena Derra tahu, mas pasti nggak ngizinin.” Sahut Derra sambil sesekali menunduk.
“Kalau udah tahu mas nggak akan ngizinin kenapa kamu tetap ke sana?”
Derra terdiam sesaat. Ditatapnya suaminya dengan secercah harapan bahwa suaminya akan memahaminya.
“Derra nggak enak kalau nggak datang. Semua kru datang ke sana, masa Derra nggak ikut datang. Toh Derra nggak minum, nggak joget-joget juga. Cuma duduk-duduk ngobrol ama teman.”
“Tapi kan sama aja itu tempat maksiat Der. Kan bisa beralasan lain kenapa kamu nggak ikut. Misal capek, pingin langsung pulang, diminta suami cepet pulang, atau apa kek. Kalau kamu melulu alasannya nggak enak ama teman, sampai kapanpun kamu nggak akan bisa menghindari hal-hal seperti ini.” Intonasi suara Bagas sudah terdengar meninggi.
“Mas, mas itu belum pernah ada di posisi Derra? Belum pernah ngrasain atmosfer dunia entertainment kayak gimana? Kita nggak bisa egois mas. Derra kerja ama mereka, masa iya Derra mesti egois dengan nggak mau menghadiri acara penting mereka?”
Bagas menyeringai, “nggak enak sama manusi tapi kenapa ngrasa enak-enak saja sama Allah?”
Derra tak membalas.
“Paling nggak kasih kabar kan bisa? Mas sampai WA berapa kali nggak ada yang dibales. Telpon juga nggak diangkat. Saking fokusnya seneng-seneng di club ampe lupa sama suami di rumah.”
“Derra nggak seburuk itu mas. Derra hanya nggak berani jujur ke mas kalau Derra lagi di night club karena itu Derra emang nggak lihat HP. Derra pikir, mas bakal tahu kalau Derra masih syuting.”
“Derra anggap mas ini apa? Wajar kan suami khawatir karena istri belum pulang dan Hpnya tidak bisa dihubungi? Kamu sama sekali nggak ngertiin perasaan mas dan meremehkan mas.”
Derra semakin kesal dituduh tak menghargai Bagas.
“Mas bilang Derra nggak ngertiin mas? Terus gimana dengan mas Bagas? Apa mas Bagas cukup bisa memahami dan mengerti pekerjaan Derra? Seorang suami itu harusnya support kerjaan istrinya, bukan malah menuduh ini itu. Coba belajar dari Dion mas. Dia bisa memahami pekerjaan Marsha dan supportnya luar biasa. Ini yang menjadikan karakter Marsha melesat.”
Telinga Bagas memanas mendengar Derra membandingkannya dengan Dion.
“Kenapa kamu malah membandingkan mas dengan suami orang? Mas itu support kamu Der, cuma mas pingin kamu lebih selektif menerima tawaran pekerjaan dan nggak lagi mngunjungi night club. Mas ini suamimu dan udah jadi kewajiban mas membimbing kamu, ngengetin kamu.”
“Masalahnya mas itu sedikit-sedikit nglarang, sedikit-sedikit protes, wajar Derra ngrasa mas nggak support karir Derra. Derra capek mas. Derra baru pulang, mas malah ngajak berantem gini. Derra mau istirahat.” Derra berbaring di ranjang tanpa peduli Bagas masih ingin bicara dengannya.
Bagas begitu kecewa dengan sikap Derra yang masih labil dan mudah terombang-ambing. Dia mengambil satu bantal lalu keluar kamar dan tidur di sofa. Derra begitu bersedih melihat Bagas yang memutuskan untuk pisah ranjang dengannya. Derra juga kecewa pada suaminya yang ia nilai kurang bisa memahami dan mengerti pekerjaannya. Ia mencoba terpejam dan mengenyahkan semua permasalahan yang menghimpit beban.
Bagas tak bisa tidur. Selama masih belum berbaikan dengan Derra rasanya ia tak akan tenang. Namun ia tahu Derra begitu lelah dan butuh istirahat. Ia harap esok dia bisa membicarakan kembali permasalahan ini sampai menemukan solusi terbaik.