"Untuk pertama kalinya aku menyesali karena telah membangun rumah dengan seisinya ini dengan kualitas terbaik. Sialan! Pintunya sangat keras," gumam Kaisar.
"Kenapa tidak menyuruh orang untuk mendobrag pintunya saja, Tuan? Kenapa musti turun tangan sendiri," ucap Romy setengah mengomeli atasannya.
Romy pulang usai pekerjaan pentingnya selesai, dan kini dia dan Kaisar sedang duduk di ruang baca dengan Kaisar yang sibuk mengompres bahunya yang memar.
"Dan membiarkan mereka melihat Kristalku, begitu maksudmu?"
Romy terdiam, dia lupa kalau saat ini dia sedang berhadapan dengan manusia jenis langka. Kaisar akan menjadi sangat sensitif jika disinggung mengenai Kristal, wanita yang majikannya itu gilai sepanjang waktu.
"Apa kau sudah menuruti perintahku?"
Lamunan Romy buyar. "Sudah Tuan, dalam lima menit lagi mungkin dia akan datang."
"Suruh dia menunggu di ruang tengah nanti."
"Baik Tuan."
Kaisar meletakkan handuk yang di dalamnya terdapat es batu itu ke dalam wadah, kemudian kembali merapikan pakaiannya.
Tak lama berselang, seseorang mengetuk daun pintu.
"Masuk!"
"Maaf Tuan, orang yang Tuan panggil sudah datang dan sekarang sedang menunggu di ruang tamu." Seorang pria berpakaian serba hitam datang melapor.
"Suruh dia ke ruang tengah!" Titah Kaisar.
"Baik Tuan."
Sambil menggulung lengan kemejanya karena belum sempat berganti pakaian, Kaisar mengambil langkah panjang menuju ruang tengah.
Rumah yang dibangun di atas tanah seluas hampir tujuh hektar ini memang memiliki lorong panjang dan jarak yang berjauhan antara ruangan yang satu dengan yang lainnya. Tak mengherankan jika orang yang baru pertama kali memasukinya bisa saja tersesat.
Yura meneguk ludahnya berulang kali. Ketika bangun tadi dia sudah direpotkan dengan mencari keberadaan Kristal yang ternyata sejak semalam tidak pulang dan dia baru menyadarinya, lalu ketika anak buah Kaisar datang untuk membawanya paksa, wanita itu juga ketakutan setengah mati.
Masih terus mengedarkan pandangannya, Yura menatap ke seluruh penjuru ruangan yang di d******i warna putih dan abu-abu itu.
"Silakan diminum Nona," ujar Sherly, ramah. Beberapa cangkir teh berhasil dia turunkan dari nampan, juga toples camilan.
"Eh, Bi. Kalau boleh tahu ini di mana ya? Aku merasa seperti sedang diculik tapi tidak terjadi sesuatu padaku? Aku takut Bi," oceh Yura.
"Akan ada seseorang yang datang untuk menjelaskan pada Nona nanti." kepala pelayan itu menyahut.
"Aduh, kenapa berbelit-belit begini Bi, aku kan hanya penasaran," cecar Yura.
"Mohon maaf Nona, bukan kapasitas saya untuk buka suara. Tunggu sebentar lagi, saya permisi dulu," pamit Sherly, kembali membawa nampan ke belakang.
Ketukan sepatu yang beradu dengan lantai menuntun pandangan Yura ke arah lorong panjang di depannya. Gadis itu membekap mulutnya ketika melihat sesosok pria yang sangat mirip dewa, datang mendekat.
Wajah dengan rahang tegas, manik mata tajam, Yura sungguh sulit mendeskripsikan pria itu. Satu kata, sempurna. Ketampanannya jelas tak tertandingi.
Kaisar menghempaskan bokongnya di sofa dan melipat satu kakinya. Pembawaannya sungguh anggun, citra seorang raja melekat kuat dalam dirinya.
'Apa aku sedang bertemu dengan salah satu malaikat? Kenapa dia sangat tampan. Luar biasa, aku berani bersumpah jika dia adalah pria tertampan di dunia yang pernah aku lihat. Jikapun dia malaikat pencabut nyawa, maka aku akan dengan senang hati ikut dengannya,' girang Yura dalam hati.
Kaisar menjentikkan jarinya pada Romy yang seperti biasa, selalu berada tiga langkah di dekatnya tak ubahnya bayangan.
Romy membungkuk hormat. "Jadi Anda yang bernama Yura?"
Sesi interogasi dimulai.
"Ya benar, maaf ... Anda ini siapa ya? Dan apa tujuan Anda menyuruh pengawal untuk membawa paksa saya ke mari?" Yura menjawab dengan sedikit grogi.
"Semua pertanyaan Anda akan terjawab nanti, tapi sebaiknya untuk saat ini Anda diam dan hanya menjawab pertanyaan saya saja. Jangan menyulitkan saya karena jika itu terjadi maka Anda juga akan mengalami kesulitan," kata Romy.
"Anda yang membawaku ke sini dengan paksa, dan saya malah diperlakukan seperti tawanan?" Yura mulai menunjukkan sifat aslinya yang sedikit bar-bar.
"Lakukan sesuai perintah saya, atau Anda akan kami jadikan makanan anjing," ancam Romy.
"Uhuk ... Uhuk!" Yura tersedak ludahnya sendiri, mendadak nyalinya menciut mendengar ancaman itu. Meski ia menguasai beberapa ilmu beladiri, tetap saja tenaganya tak sebanding jika harus berhadapan dengan para pengawal yang tersebar di hampir setiap sudut bangunan megah itu.
Air muka Romy cukup membuktikan bahwa pria itu serius dengan ucapannya. Belum lagi melihat tatapan Kaisar yang begitu menyeramkan. Lelaki itu Yura puji dan takuti secara bersamaan.
"Ba ... Baiklah Tuan. Katakan apa yang harus saya lakukan?"
"Anda manajer Nona Kristal bukan?"
"Ya."
"Tolong Anda atur ulang jadwal Nona Kristal selama satu Minggu ke depan!" titah Romy layaknya atasan.
"Lho, Anda tidak bisa seenaknya mengubah jadwal yang sudah saya susun rapi. Kristal itu sudah terikat kontrak dengan beberapa pihak terkait, dia hanya memiliki satu hari libur yaitu hari ini saja. Memangnya Anda pikir siapa Anda, main perintah seenaknya," omel Yura.
"Joni!" Teriak Romy.
"Ya Tuan." pria berkepala botak mendekat ke arah Romy.
"Ambil jarum dan benang jahit, siapa tahu wanita itu ingin merasakan jahitan di mulutnya!" Titah Romy.
Sontak Yura membungkam mulutnya. Sungguh, otaknya sama sekali tak bisa berfungsi saat ini. Dia masih belum bisa menebak apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sementara Romy sibuk menjalankan tugasnya, Kaisar masih duduk anggun menyaksikan perundingan ini tanpa ekspresi.
"Baik Tuan," sahut Joni.
"Jangan, jangan! Ya, baik. Saya akan atur ulang jadwalnya." Pada akhirnya Yura kalah.
"Berikan ini padanya Jon, suruh dia baca dengan jeli!" Menyodorkan map cokelat pada Joni.
Ragu, Yura menerimanya. Entahlah, perasaannya mengatakan ini bukan sesuatu yang baik. Perlahan, Yura mulai membaca barisan kata yang tertuang dalam lembaran kertas itu. Sesekali matanya mendelik ketika melihat tulisan yang janggal menurutnya.
"Apa aku boleh bertanya?" Yura memberanikan diri menatap Kaisar.
"Jangan kurang aj ..."
Kaisar mengangkat tangannya, mengkode agar Romy diam.
"Silakan."
Sial!
Bahkan mendengar suara Kaisar saja sudah berhasil membuat jantung Yura berdegup tak karuan, akan tetapi Yura mencoba menguasai dirinya.
"Di mana Kristal sekarang?" Tanya gadis itu dengan bibir bergetar.
"Ada di kamarku."
Deg.
Yura mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berkecamuk. Dia perlu mengetahui lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Lalu maksudnya dari poin lima ini apa?" lagi, Yura bertanya meski dia tahu, dia paham dengan jelas maksud dari setiap poin yang tertulis pada lembaran kertas itu.
"Apa Anda buta huruf," sinis Romy.
"Diam kau! Aku sedang tidak bicara denganmu! Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu pada Kristal, maka aku akan ...,"
"Hei!" Hardik Romy.
"Cukup!" Lerai Kaisar.
Ketegangan terjadi di ruangan itu. Sirkulasi udara terjaga dengan baik, pendingin udara juga masih berfungsi normal, tapi mendadak hawa panas tercipta. Seakan tak ada pasokan udara yang cukup hingga membuat sesak napas.
"Anda sudah membaca isi surat perjanjian itu bukan?" Tanya Kaisar.
"Sudah."
"Bagus. Saya yakin Anda orang yang cukup cerdas untuk bisa mencerna maksud dari setiap poin yang ada di dalam surat perjanjian itu."
"Apa yang membuat Anda melakukan ini Tuan? Kristal bukan barang, dia bahkan sudah berencana untuk menikah dengan kekasihnya yang juga sesama artis."
Air mata Yura mulai luruh, isi surat perjanjian itu memang tidak sepenuhnya membuat kerugian, tapi tetap saja akan memberatkan Kristal.
"Urus dia Rom!" Kaisar beranjak dari duduknya dan berlalu begitu saja.
Yura menangis sesenggukan. Dia sungguh tak mengerti dengan semua ini.
"Rasanya seperti mimpi, kenapa semuanya menjadi seperti ini," ratap Yura di sela-sela tangisannya.
"Mulai detik ini, Anda akan tinggal di sini, masih sebagai asisten sekaligus manajer Nona Kristal. Saya akan menyuruh orang untuk membawa barang-barang Anda dan Nona Kristal dari apartemen itu," pungkas Romy.
Yura meraih pot kaca yang ada di meja dan membantingnya hingga benda itu hancur berkeping-keping.
"b******n! b*****h! Manusia tidak punya moral!" Makinya sambil menangis.
.
.
Kristal mengerjapkan matanya. Perlahan ia mencoba bangkit meskipun kepalanya pening luar biasa.
Buru-buru Sherly menekan tombol intercom yang terhubung langsung dengan kamar majikannya.
"Tuan, nona baru saja sadar."
Tak berselang lama pintu pun terbuka, Kaisar memangkas jarak dengan pujaan hatinya itu.
Sherly pergi untuk membiarkan dua orang itu bicara.
Kaisar menyodorkan segelas air pada gadis itu. Kristal menatap Kaisar sangat tajam, membuat pria itu mengalihkan pandangannya. Kaisar tak sanggup melihat cara Kristal yang menatapnya penuh kebencian.
Merenggut dengan kasar gelas dari tangan Kaisar, Kristal menyiramkan airnya di wajah pria itu. Tak cukup sampai di situ, Kristal juga membanting gelas itu.
"Untuk apa kau ke mari? Mau mentertawakan keadaanku, begitu? Atau kau masih belum puas dengan tubuh ini? Ayo, mari kita lakukan lagi. Lakukan sampai kau puas!"
Kristal melucuti pakaiannya, tapi dengan cepat Kaisar menahannya.
"Kenapa? Bukankah ini yang kau inginkan? Ayo, lakukan lagi! Aku akan ingatkan betapa ganasnya dirimu saat mengambil harta paling berharga yang kupunya, takut kau lupa. Kau berpikir aku wanita seperti itu kan?"
Kaisar terdiam. Bukan hanya Kristal yang terluka, jauh di sudut hatinya, Kaisar juga menyimpan luka itu.
Kristal berhasil melepaskan piyamanya. "Katakan padaku, bagian mana dari tubuhku yang paling kau sukai?"
Celananya pun telah Kristal lepas, menyisakan kain penutup d**a hitam dengan kain segitiga berenda dengan warna senada.
"Katakan! Bagian tubuhku yang mana yang paling kau sukai!" bentak Kristal.
Gadis itu meraih tangan Kaisar dan membawanya di dadanya. "Ini, atau ini?" Tangan Kristal turun ke bawah.
Kaisar menepis tangan Kristal.
"Kenapa diam saja? Kenapa tidak kau bunuh aku saja sekalian, b******n!" Kristal yang kalap merenggut kerah baju Kaisar dan memukuli d**a pria itu.
"Jangan hanya diam b******k! Katakan sesuatu! Kenapa kau melakukan semua ini padaku? Kenapa harus aku?"
Kaisar bergeming. Pukulan Kristal kian melemah, gadis itu turun dari kasur dan meraih pecahan beling.
"Buang itu Kris!" Teriak Kaisar.
Ini untuk pertama kalinya Kristal mendengar suara laki-laki kurang ajar yang telah merenggut kehormatannya itu. Selain desah penuh kepuasan Kaisar semalam, tentu saja.
"Kau sudah menghancurkan hidupku, kau mengambil hartaku yang paling berharga. Apa yang harus aku katakan pada calon suamiku kelak?"
"Ayo kita bicara baik-baik, tapi singkirkan itu dulu!"
"Ke mana saja kau sejak semalam? Aku sudah memohon, aku mengiba belas kasihmu dan kau tetap melakukan itu kan? Sudah terlambat, lebih aku mati dari pada tetap hidup dengan menanggung malu. Bagi seorang wanita, kehormatannya adalah harga dirinya, dan aku sudah kehilangan itu semua."
"Tolong Kris, buang itu!" bentak Kaisar.
"Kau pikir untuk apa aku hidup? Untuk menjadi pemuas nafsumu? Menjadi simpananmu, atau pelacurmu?"
"Kau bukan simpanan, p*****r atau apa pun itu," sanggah Kaisar.
"Lalu apa sebutan yang pas untukku?"
"Kau adalah ..." Kaisar menggantung ucapannya.
"Lebih baik aku mati." Kristal mengarahkan pecahan kaca itu ke tangannya.
Sigap, Kaisar maju dan merebut benda itu dari tangan Kristal.
"Kembalikan! Kembalikan itu padaku!" Kristal meronta. Gadis itu begitu murka ketika Kaisar membuang pecahan beling itu dan mendekapnya dengan sangat erat.
"Jangan sakiti dirimu, aku mohon," cicit Kaisar.
"Lalu membiarkanmu menyakitiku? Katakan apa salahku? Mengapa kau melakukan ini padaku, katakan!"
Tangis Kristal pecah. Terlalu menghayatinya hingga gadis itu tak sadar kalau sekarang dirinya tengah berada dalam pelukan Kaisar.
Lambat laun tangis Kristal mereda, dia menoleh ketika merasakan sesuatu mengalir di lengannya. Bau anyir itu cukup menyengat dan membuatnya panik begitu menyadari dari mana cairan itu berasal.
"Ya Tuhan, kau ...,"
Masih sambil memeluk Kristal, Kaisar berusaha meraih tombol intercom di dekat nakas.
Kristal yang panik pun buru-buru memencet tombol itu.
"Siapa pun di sana, tolong kemarilah! Tuan kalian terluka, cepat!" Teriaknya.
Kristal membimbing Kaisar untuk duduk di kasur. Gadis itu ternganga melihat luka di tangan Kaisar. Sedetik kemudian tangisnya kembali pecah.
"Kau terluka, ya Tuhan ... Darahnya banyak sekali. Kau terluka karena aku, maafkan aku ...." Kristal tampak panik.
Sebuah lengkungan yang amat sangat samar tercetak di bibir pria itu.
'Kau masih sama seperti Kristalku yang dulu. Kecantikan hatimu sungguh sebanding dengan segala bentuk keindahan yang ada dalam dirimu. Kau adalah Kristalku, malaikatku.'
Pria itu menyembunyikan senyumnya melihat kepanikan dalam diri Kristal. Jika saja wanita itu melihat tawanya, bisa saja Kristal menganggapnya gila.
Namun, Kaisar tak peduli. Baginya, luka gores di tangannya itu tak sebanding dengan kebahagiaan yang tengah menyusupi relung hatinya.