Bab 2

1255 Words
Aku memarkirkan motor di teras rumah sebelum memasukkannya ke dalam garasi. Helm kulepas dan kusimpan di stang motor. Kupandangi motor hasil keringatku sendiri itu. Kuelus bodynya sambil menggumam pelan. "Kasihan banget lo Jago, belum pernah dipake boncengin cewek." Pintu terbuka menampakkan wanita tua yang masih cantik. Wanita yang telah merawatku sejak kecil. Ya, mbok Marni, pengasuhku sejak bayi. Mungkin juga mengasuh bang Revan, abang sulungku. Sedangkan Rayna, adik bungsuku punya pengasuh sendiri yang sudah tak bekerja lagi di sini. Keluarga kami lumayan berkecukupan. Walaupun, aku dan bang Revan tak pernah lagi bertegur sapa gara-gara kakakku itu menginginkan warisan dari papa. Sementara, papa masih bugar dan tidak menderita penyakit apapun. Bagaimana bisa bang Revan berbuat seperti itu. Mama selalu membela anak sulungnya. Bahkan sekarang, mama tinggal bersama bang Revan dan istrinya. Tak dipedulikannya lagi aku dan Rayna di rumah ini. "Aden, cepet masuk, di luar dingin. Nanti bisa sakit." Aku memeluk tubuh ringkih mbok Marni yang kian renta. Bisa kurasakan kasih sayang beliau padaku yang amat tulus. Jujur saja, aku merindukan mama tapi aku juga tak ingin bang Revan semena-mena terhadap papa. Bukan aku kemaruk atas harta peninggalan eyang yang papa miliki, tapi papa masih sanggup mengolah semuanya sendiri. Toh, nantinya juga akan diberikan pada anak-anaknya. Bang Revan saja yang tak sabaran. "Eh, eh, anaknya simbok kenapa?" Mbak Marni mengusap punggungku pelan. Damai sekali, bahkan mama tak pernah memelukku seperti ini. Kadang, aku berpikir apa iya aku bukan anak kadung mama makanya yang mama sayang cuma bang Revan? Tapi, semua dugaan itu terbantahkan dengan adanya foto mama menggendongku setelah dilahirkan. "Nggak papa Mbok, aku capek aja." "Ya sudah, cepat masuk, mandi dulu. Aden bau acem." Aku lalu mencium kedua ketiakku tapi gak tercium bau apapun selain parfum yang kupakai. "Mbok, aku masih wangi masa' dibilang bau acem." "Hehehe, simbok bercanda Den," Mbok Marni terkekeh menampilkan giginya yang sudah ompong. "Papa dimana, Mbok?" "Tuan baru saja selesai makan malam, mau istirahat katanya, capek seharian muterin kebun. Kan lagi musim panen, Den." "Emm, mama belum pulang juga ya, Mbok?" Wajah mbok Marni berubah sendu. "Belum Den, padahal sudah hampir dua bulan berlalu. Kasihan tuan kadang suka termenung sendiri. Duduk di depan televisi tapi malah televisi yang nonton tuan." "Abang bener-bener keterlaluan Mbok, gara-gara dia papa dan mama sampai pisah rumah. Aku nggak mau kalau mereka sampai bercerai. Kasihan Rayna." "Aden yang sabar, nanti juga kalau den Revan sudah sadar, keluarga ini pasti akan kembali seperti semula. Sekarang, aden bersih-bersih dulu, mbok siapkan makan malam buat aden." "Mbok masak? Kan aku udah bilang, mbok jangan terlalu kecapekan. Biar pekerjaan rumah dikerjakan sama mbak Narti." "Mbok ndak masak. Semua yang masak Narti, mbok cuma bantu sedikit kok. Kalau mbok diam saja, mbok malah nggak enak badannya, sakit semua." "Mbok kan sudah tua, aku pengen rawat simbok seperti mbok rawat aku dari kecil." "Aden, simbok masih kuat. Simbok ndak mau merepotkan aden dan keluarga." Aku tersenyum dan memeluk mbok Marni. "Mbok, aku sayang sama mbok Marni jadi jangan bilang kalau mbok merepotkan aku. Bahkan kalau aku menikah nanti, aku pengen mbok Marni ikut sama aku." "Deen ..." Mbok Marni menatapku dengan berkaca-kaca. "Ayo Mbok, kita ke dalam." Tanganku merangkul pundak mbok Marni dan menuntun wanita berusia tujuh puluh tahun itu. Papa keluar kamar ketika aku akan menyantap makanan yang disajikan mbok Marni. "Kamu baru pulang, Yan?" "Iya, Pa." Aku menyalami dan mencium tangan lelaki panutanku itu. "Papa sudah makan?" "Sudah tadi sama Rayna." Papa tampak melamun sambil menopang dagu. "Pa ..." "Pa ..." Aku menarik napas dan menghembuskannya kasar. Aku tak tega melihat papa seperti ini tapi aku juga nggak rela bang Revan menguasai semua perkebunan warisan eyang. Bukan aku serakah, tapi aku dan Rayna juga punya hak atas perkebunan itu. Eyang sudah mewanti-wanti agar papa adil dalam membagi hasil jerih payah eyang di masa lalu. Aku menyentuh pelan lengan kiri papa di sebelahku. Papa langsung menoleh padaku. "Papa kangen ya sama mama." "Kalau dibilang kangen, pasti papa akan mengatakan sangat merindukan mama kalian. Tapi, semua ini sudah jadi keputusan mama. Papa nggak bisa mencegah keinginan mama untuk bersama anak sulungnya." "Kalau seandainya surat-surat kepemilikan perkebunan dibalik nama jadi nama bang Revan apakah mama akan kembali ke rumah dan sikap bang Revan tak lagi memusuhi papa?" "Kamu jangan berpikir seperti itu Nak, kalian punya hak yang sama atas harta papa. Revan, kamu, Rayna, sama-sama anak papa jadi nggak mungkin papa membedakan kalian." "Pa, aku ingin semuanya membaik. Aku rela Pa, memberikan semuanya sama bang Revan asal mama sama papa nggak terpisah kayak gini. Kalau hanya sekedar menghidupi diri sendiri, aku masih sanggup, Pa. Yang aku khawatirkan itu Rayna. Dia masih kuliah, masih butuh banyak biaya. Aku takut kalau bang Revan sudah mengambil alih semuanya, abang nanti lupa membiayai kuliah Rayna." "Itu juga yang papa khawatirkan. Kamu tahu sendiri abangmu itu selalu dalam kendali istrinya. Papa kira dulu Vina anak yang baik, rupanya dia hanya menginginkan suami kaya raya. Kurang apa Revan selama ini memanjakan Vina dengan materi, sekarang malah menghasut suaminya untuk mengambil alih perkebunan. Papa takut, kalau sifat boros kakak ipar kamu, akan berimbas pada keuangan mereka nantinya. Jangan sampai perkebunan itu dijual. Itu satu-satunya warisan eyang kalian. Sudahlah, jangan dibahas lagi. Semoga Revan cepat sadar dan menerima jika perkebunan papa bagi tiga nantinya." "Pa, melihat abang mendapatkan istri seperti itu, membuat aku semakin enggan menikah. Aku takut jika nanti mendapatkan wanita yang serupa." "Jodoh setiap orang itu beda-beda, Nak. Papa doakan kamu mendapatkan istri yang baik dan bisa menerima keadaan keluarga kita." "Iya Pa, doakan saja." "Ya sudah, papa mau ke kamar lagi. Kamu cepat makan, lalu istirahat. Pasti capek bekerja seharian." "Selamat malam Pa, papa tidurlah yang nyenyak." Aku segera menghabiskan makanan di hadapanku. Setelah itu, menyimpan kembali lauk-pauk ke dalam lemari pendingin. Tak lupa juga mencuci piring dan gelas yang tadi kupakai. Sebisa mungkin, aku melakukan pekerjaan ringan seperti ini. Tak mungkin juga aku mengganggu art yang sudah seharian bekerja. Aku merebahkan badan di kasur king size milikku. Kasur yang lumayan luas jika kutempati sendiri. Sayangnya, belum ada seseorang yang akan menemaniku berbagi kehangatan di sini. Aku meraih handphone di nakas. Ku scroll sosial media yang hanya berisi curhatan teman-temanku di dunia maya. Ada yang lagi sedih, ada pula yang merasa bahagia. Entah mereka memang tak punya tempat berbagi perasaan ataukah sekedar menunjukkan diri bahwa dirinya eksis di dunia maya. Ting. Pesan masuk dari grup teman kantor satu divisi. Alfa : Malam semuanya, udah denger kabar terbaru belom? Syifa : Emang kabar apaan, Al? Awas lo kalo cuma sekedar gosip. Nayla : Ya bener, kalo berita yang lo bagiin nggak penting, lo wajib traktir gue makan siang seminggu. Alfa : Gue nggak pernah gosip, ya nggak bang Riyan? Riyan : Napa lo bawa-bawa nama gue. Alfa : Kan selama ini abang yang tahu gue jarang bawa berita bohong. Riyan : Emang lo bawa kabar apa sekarang? Alfa : Tadi gue nggak sengaja denger pak Fadli ngobrol sama pak Irwan. Nanyain surat kontrak buat karyawan baru udah selesai belom. Nah, berarti besok bakal ada karyawan baru di divisi kita. Nayla : Yang bener lo. Awas kalo salah. Alfa : Beneran Nay, gue denger sendiri. Kalo nggak percaya, kita buktiin aja besok. Emang bang Riyan nggak dikasih instrukai apa gitu sama bu Astuti? Riyan : Kagak. Dah lah, gue capek banget. Mau tidur duluan. See you all. Aku menaruh kembali ponsel ke ataa nakas dan melebarkan selimut. Mencoba menjemput mimpi berharap bertemu pujaan hati. Sekelebat bayangan saat menabrak perempuan di coffee shop tadi sore tiba-tiba saja muncul. Ah, kenapa malah jadi kepikiran ke sana. Aku memejamkan mata mencoba terlelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD