Bab 1. Tercampakan

1891 Words
"Raka!" teriakku dengan nada yang tinggi dan penuh emosi. Aku melihat pacarku bersama seorang wanita di parkiran minimarket, dan darahku langsung mendidih. "Pak, berhenti di sini!" Aku menepuk bahu bapak ojek online yang aku tumpangi dengan gestur yang agak kasar. "Tapi, neng belum sampe tujuan," ucap bapak itu dengan nada yang sedikit heran, menghentikan motornya di pinggir jalan. "Bapak tunggu di sini dulu, aku ada perlu sebentar," ucapku dengan terburu-buru, sudah tidak sabar untuk menghadapi Raka. "Ok, neng," jawab bapak itu dengan nada yang santai. Aku turun dari atas motor dengan cepat, dan berlari kecil menuju di mana Raka dan wanita itu berada. Dadaku terasa terbakar, begitu melihat dengan jelas pria yang selama lima tahun berpacaran denganku sedang membukakan pintu mobil untuk wanita cantik itu dengan penuh perhatian. "Raka!" teriakku keras, membuat pria itu tersentak kaget melihatku menghampirinya. "Rania," gumamnya terlihat gugup dan salah tingkah. "Raka, wanita ini siapa? Kok, kaya preman," ucap wanita disebelah Raka dengan nada yang santai tapi menyakitkan. Menatapku dengan sinis sambil merangkul tangan kekasihku. Mendengar perkataan wanita itu, aku merasa marah dan tersinggung dengan kata-katanya. Apa dia tidak tahu aku adalah pacar Raka? Seharusnya aku yang marah dan bertanya siapa dirinya yang bermesraan-mesraan dengan cowok orang. Tapi, sebelum aku bisa mengucapkan apa pun, Raka sudah mengambil alih situasi dengan kata-katanya yang membuatku semakin marah. "Dia hanya temanku, Sayang. Sudah, jangan hiraukan wanita ini," ucap Raka dengan nada yang santai dan tidak peduli. Mulutku melongo tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Raka tidak mengakui aku pacarnya di depan selingkuhannya. "Apa! Kamu bilang aku temanmu? Raka, kita pacaran selama lima tahun tapi kamu mengatakan aku hanya teman kamu! Apa kamu sudah tidak waras!" bentakku emosi, merasa sakit hati dan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Raka tidak menunjukkan reaksi apa pun terhadap kemarahanku. Malahan, dia terlihat santai dan tidak peduli. "Rania, aku tahu kamu mencintaiku dan terus-terusan mengejar aku. Tapi, sekarang aku mau katakan sama kamu. Mulai sekarang kamu jangan mendekatiku lagi, karena aku sudah punya calon istri," ucapnya sambil merangkul bahu wanita cantik di sebelahnya. Aku terpukul oleh kata-katanya. Sakit hati dan kemarahan yang tadinya memuncak, sekarang berubah menjadi perasaan sedih, kecewa, benci yang mendalam. "Kamu bilang kalau kamu sudah diangkat menjadi manager, kamu akan menikahiku. Tapi, apa yang aku dapat? Aku berkorban banyak untuk membiayai kamu kuliah, agar kamu bisa mendapatkan kerja lebih baik. Sampai aku rela bekerja menjadi Office girl untuk membayar kuliah kamu, lalu ini yang aku dapatkan!" teriakku dengan perasaan hancur. "Rania, aku dan kamu itu sudah tidak selevel. Kamu itu cuma Office Girl, sedangkan aku sudah menjadi manager. Kita tidak seimbang, mulai sekarang jangan cari aku lagi. Kita putus!" ucap Raka. "Kamu dengarkan, dia sudah memutuskan kamu. Lebih baik jauhi Raka, karena kamu hanya seorang Office Girl miskin tidak selevel dengan Raka," ejek wanita disebelah Raka sambil tersenyum sinis. Tanpa terasa, air mataku luruh, dan rasanya begitu sakit tidak dianggap dan dihina oleh orang yang aku cintai dengan setulus hati. Aku sangat terluka dan tidak mengerti apa salahku sampai Raka begitu kejam denganku. Semalam kami masih baik-baik saja, tidak ada pertengkaran apapun. Suara bisik-bisik di sekitar membuatku tersadar. Aku melihat sekeliling dan menyadari sudah banyak orang yang sedang menonton pertengkaran kami. Ada yang melihatku dengan tatapan kasihan, tapi ada juga yang menatapku dengan pandangan mengejek. Mungkin mereka melihat seragam yang aku kenakan tidak sebanding dengan penampilan Raka dan selingkuhannya yang berkelas. Aku malu sudah menjadi perhatian orang-orang di sekitar. Kuhapus air mataku dengan kasar, lebih baik aku pergi dari sini. Walau aku hanya bekerja menjadi Office Girl, aku masih memiliki harga diri. Tapi, sebelum itu aku harus menyelesaikan sesuatu. Kulangkahkan kakiku mendekati Raka, pria itu terlihat menautkan kedua alisnya melihatku mendekatinya dengan langkah yang tegap dan penuh kemarahan. Plak! Suara tamparan mengalun merdu mengenai kulit wajah Raka, membuatnya terdiam dengan wajah syok. Aku merasakan tanganku terasa panas dan bergetar setelah melakukan itu. Sebuah senyum sinis kuukir di sudut bibirku, sebagai ungkapan kepuasan atas tindakan yang baru saja kulakukan. "Tamparan ini sebagai pengganti waktuku lima tahun yang sudah tersia-siakan menemani pria pengkhianat seperti kamu!" ucapku dengan penuh penekanan dan kemarahan, membuat suaraku terdengar lebih keras dan tegas. Plak! Kini suara tamparan terdengar berasal dari pipi wanita di samping Raka. Wanita itu terlihat terkejut dan menyentuh pipinya yang merah. "Tamparan ini anggap saja sebagai pengganti karena kamu sudah mengambil Raka, kita sudah impas. Ambil sampahku!" ucapku pelan, tapi tegas. Mereka terdiam masih syok, dan mungkin tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Sebelum mereka sadar, cepat kulangkahkan kakiku meninggalkan mereka. Aku tidak ingin mendengar apa pun yang akan mereka katakan. Suara riuh dan tepuk tangan terdengar di belakangku, dan juga teriakan dan makian dari mulut sampah Raka dan juga wanita selingkuhan. Aku tidak menoleh ke belakang, karena aku tidak ingin melihat mereka lagi. Aku melangkah dengan dagu terangkat, mendekati ojek online yang tadi menungguku. Aku merasa lega dan puas setelah melakukan apa yang baru saja kulakukan. "Neng, keren! Bapak kaget melihat neng berani menampar mereka," ucap bapak ojek online dengan nada yang kagum. "Bapak pikir neng akan menangis terus, bunuh diri karena patah hati," lanjutnya. Aku tersenyum tipis mendengar kata-kata bapak ojek online. Aku sekarang sangat lega dan puas karena bisa menunjukkan keberanianku membalas mereka yang sudah menyakitiku. Kulirik jam di pergelangan tangan, dan aku terkejut karena ternyata aku sudah telat masuk kerja. Aku tidak ingin terlambat lebih lama lagi, jadi aku meminta bapak ojek online untuk mempercepat perjalanan. "Pak, ngebut ya bawa motornya," ucapku setelah aku naik ke jok motor ojek online, dengan nada yang sedikit terburu-buru. Bapak ojek online hanya mengangguk dan mempercepat laju motornya. Aku memegang erat jok motor dan berharap aku bisa sampai di kantor sebelum terlambat lebih lama lagi. Dengan kecepatan tinggi, ojek online yang aku tumpangi sampai juga di depan gedung pencakar langit. Aku menarik napas lega karena bisa sampai di kantor, meskipun sudah telat. "Terima kasih, ya, Pak," ucapku sembari menyarahkan ongkos, dengan nada yang sopan. "Sama-sama, Mbak," jawab bapak itu, dengan senyum yang ramah. Aku bergegas masuk ke dalam kantor dengan terburu-buru, karena aku sudah telat hampir satu jam. Aku khawatir akan kena marah kepala OB, Mbak Susi. Aku berharap Mbak Susi tidak memecatku dan mau mendengar penjelasan alasan keterlambatanku. Mbak Susi melihatku dengan wajah marah begitu aku tiba di pantry. Aku bisa merasakan kemarahan yang terpancar dari matanya. "Rania, ini sudah jam berapa! Kamu masih mau niat kerja, tidak!" bentaknya dengan nada yang keras dan tidak sabar. Aku merasa bersalah dan langsung meminta maaf. "Mbak, aku minta maaf. Tadi aku ada keperluan mendesak, aku janji ini untuk terakhir aku terlambat," ucapku dengan nada yang lembut dan berharap Mbak Susi tidak memecatku. Wanita bertubuh tambun itu menghela napas perlahan, seolah-olah sedang mempertimbangkan apakah akan memaafkanku atau tidak. "Ok, aku maafkan kali ini. Karena kamu terlambat kamu harus lembur," ucapnya dengan nada yang masih terdengar sedikit keras. Aku tersenyum lega dan bersyukur karena Mbak Susi masih mau memaafkanku. "Baik, Mbak," ucapku dengan semangat dan berharap bisa memulai kembali dengan baik. Walau aku baru putus dengan Raka, aku tidak boleh putus asa. Aku harus terus maju dan fokus pada pekerjaanku. Hari ini aku sangat bersemangat melakukan pekerjaanku. Rasa marah dan kecewa yang masih terasa setelah pertengkaran dengan Raka, aku alihkan dengan melakukan semua pekerjaan dengan baik dan teliti. Aku fokus pada tugas-tugas yang harus aku selesaikan, dan tanpa terasa sudah malam. Karyawan kantor sudah pulang dari kantor, meninggalkan aku sendirian di ruangan yang sekarang terasa sunyi. Aku merasa puas dengan apa yang telah aku capai hari ini. Dengan mengalihkan perhatianku pada pekerjaan, aku berhasil melupakan sejenak rasa sakit dan kecewa yang masih terasa. Aku mengambil tasku dan memandang jam di tanganku. Sudah pukul sepuluh malam, aku harus pulang. Aku sedikit takut karena harus berjalan sendirian di koridor yang gelap dan sepi. Kulangkahkan kakiku melewati koridor, dan beberapa ruangan yang lampunya sudah dimatikan. Suasana yang gelap dan sunyi membuatku bergidik takut. Aku mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal yang menakutkan, tapi suara langkahku yang menggema di ruangan yang sepi membuat nyaliku ciut. Sesekali kulirik sekitar, khawatir tiba-tiba ada sosok perempuan bergaun putih yang sering menjadi topik gosip di kalangan karyawan. Konon, ada satpam kantor yang pernah bertemu sosok astral itu, dan sejak itu, banyak karyawan yang takut untuk berada di kantor sendirian pada malam hari. Aku mencoba untuk mempercepat langkahku, berharap bisa segera keluar dari kantor dan meninggalkan suasana yang menakutkan ini. Prang! Suara berisik yang tiba-tiba terdengar dari dalam ruangan Direktur Utama membuatku tersentak kaget. Aku merasakan jantungku berdegup kencang, dan tubuhku gemetar karena takut. Seketika, aku ingin berlari menjauh dari situ, tapi tiba-tiba kaki ini terasa berat, seolah-olah tidak bisa digerakkan. Aku bingung dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi, rasa penasaran yang kuat membuatku melangkah masuk ke dalam ruangan Direktur Utama. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan suara berisik itu, dan apa yang sedang terjadi di dalam ruangan tersebut. Aku melangkah masuk dengan hati-hati, siap untuk menghadapi risiko apapun yang akan aku temukan di dalam ruangan itu. Kulebarkan bola mataku untuk melihat lebih jelas keadaan di dalam ruangan. Begitu melihat sosok pria dengan tubuh tegap tergeletak di lantai, aku terkejut dan khawatir. Aku bergegas mendekati pria itu, ingin membantunya. Dengan susah payah, aku membantu mengangkat tubuh gagahnya. Aku sedikit kesulitan karena tubuhnya yang kekar dan berat. Namun, aku tidak menyerah dan terus berusaha untuk membantunya. Akhirnya, aku berhasil meletakkan pria itu di atas sofa. Aku menarik napas lega karena bisa membantunya, tapi juga khawatir sebenarnya apa yang terjadi padanya. "Aruna, jangan tinggalkan aku," gumamnya dengan mata masih terpejam sambil memegang pergelangan tanganku. Aku tersentak karena sentuhannya yang tidak terduga. Aku menatap pria yang selama ini aku hanya bisa lihat dari jauh. Dia adalah Pemilik perusahaan ini, pria yang sangat tampan dan selalu terlihat dingin. Seketika aku gugup karena berada begitu dekat dengannya. "Pak, saya bukan Mbak Aruna. Saya Rania," ucapku berusaha melepaskan gegaman tangannya. Aku merasa tidak nyaman dengan sentuhannya yang masih memegang pergelangan tanganku. Tiba-tiba, mata Pak Kaiden terbuka, dan dia menatapku dengan mata merah yang tajam. Tubuhku menegang ketakutan karena tatapannya yang begitu bengis. Belum sempat aku membuka suara, pria itu menarik tanganku dengan kuat, membuat tubuhku terjatuh ke dalam tubuh gagahnya. Aku terkejut dan tidak bisa mengelak. Tanpa bisa menghindar, dia menarik kepalaku dan membenamkan bibir sensualnya ke bibirku dengan kasar. Aku terkejut dan tidak bisa bergerak, karena satu tangannya memeluk pinggangku dengan erat. Dengan gerakan cepat dan kasar, dia membalikan tubuhku, sehingga aku kini berada di bawah kungkungannya. Tangannya bergerak liar, menyelusuri setiap jengkal tubuhku dengan sentuhan yang membuatku ketakutan. Aku mencoba untuk membebaskan diri, tapi dia terlalu kuat. Aku merasa sangat takut. "Pak, saya mohon jangan lakukan ini," ucapku dengan wajah memohon, berharap dia akan mendengarkan permintaanku. Pria itu tidak berbicara, hanya menatapku dengan pandangan marah yang penuh gairah. Matanya terlihat merah dan tajam, membuat tubuhku semakin gemetar dengan kuat. Tiba-tiba, sebuah senyum aneh terukir di sudut bibirnya. Aku semakin terganggu dengan senyum itu, tapi belum sempat aku mencerna ekspresinya, dia sudah menarik kemejaku dengan kasar. Aku tersentak dengan mata terbelalak ketika seluruh kancing kemejaku terlepas. Dengan cepat, aku menutup dadaku dengan kedua tangan, berusaha untuk melindungi diri dari sentuhan yang tidak diinginkan. Aku takut dan merasa terancam. Tidak sampai di situ, Pak Kaiden menarik tanganku yang menutup dadaku, membuatku semakin tidak berdaya. Dia langsung membenamkan kepalanya ke dadaku dengan kasar, membuatku merasa kesakitan yang sangat. "Aaargh!" pekikku, berusaha melepaskan diri dari genggamannya yang kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD