chapter 2

1540 Words
Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai tipis kamar besar itu. Aruna masih duduk di tepi ranjang dengan pakaian yang sama seperti semalam kemeja putih lusuh dan rok kampus yang kini kusut. Matanya sembab karena menangis, tapi sorotnya tetap keras. Beberapa maid masuk perlahan sambil membawa pakaian bersih dan perlengkapan mandi. Mereka saling pandang dengan ragu sebelum salah satu dari mereka berbicara lembut, “Nona… mohon maaf, Tuan Rafael meminta kami membantu Anda bersih-bersih dulu. Setelah itu, sarapan sudah disiapkan di ruang makan.” Aruna menatap mereka tajam. “Aku tidak butuh bantuan siapa pun.” “Tapi, Nona…” “Aku bilang tidak!” suaranya meninggi, membuat para maid saling berpandangan ketakutan. Dengan rahang yang mengetat Aruna pun kembali meluapkan emosinya."Bilang pada pria kejam itu, aku bukan tawanannya, aku hanya gadis biasa, dan tolong lepaskan aku." "Nona, kurasa, semua ucapanmu itu, takkan ada gunanya di sini. Kamu bukanlah yang pertama, yang merengek ingin dibebaskan dari mansion ini!"Seorang maid senior bernama Dora, dengan suara pelan namun penuh penekanan. Aruna pun bangkit, berdiri tegak meski tubuhnya lemah. “Kalian pikir aku akan berpura-pura nyaman di sini? Aku bukan tamu, aku tebusan hutang! Jadi berhenti memperlakukanku seperti orang yang ingin tinggal di sini.” Maid yang paling tua menunduk, suaranya bergetar, “Tuan Rafael akan marah kalau kami tak melakukan tugas kami, Nona…” Aruna menatap mereka sejenak, lalu berkata dingin, “Itu urusan kalian. Aku tidak akan mengganti pakaian, dan aku tidak akan menyentuh apa pun dari rumah ini.” Ketegangan itu akhirnya terdengar sampai ke bawah. Seorang penjaga melapor kepada Rafael yang tengah membaca laporan di ruang kerjanya. Dengan wajah datar, pria itu berdiri dan melangkah naik ke lantai dua. Begitu pintu kamar terbuka, para maid langsung menunduk ketakutan. Rafael berdiri di ambang pintu, menatap Aruna yang masih berdiri tegak di tengah ruangan. Gadis itu menatap balik tanpa gentar. “Kenapa kau menolak mereka?” tanyanya datar. Aruna menegakkan bahunya. “Karena aku tidak akan bersikap seperti b***k yang berterima kasih sudah dikurung di istana.” Rafael mendengus pelan, kemudian melangkah masuk. “Kau bisa membuat hidupmu di sini lebih mudah kalau tidak melawan. Aku tidak akan menyakitimu, Aruna. Tapi aku juga tidak akan mentolerir pembangkangan.” Aruna menatapnya dengan mata basah, suaranya lirih tapi tegas, “Lalu apa bedanya kau dengan penculik? Kau mengambilku dari rumahku, dari hidupku, lalu bilang aku bebas kalau utang ayahku lunas? Aku bahkan tidak tahu berapa besar hutang itu.” Rafael terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yang bergetar, rasa yang aneh, antara kesal dan kagum. Ia menatap gadis itu lama, lalu berkata dengan suara dalam, “Cucilah wajahmu. Sarapan." Namun Aruna memalingkan wajahnya."Huhh, tidak mau, aku tidak akan makan apapun." Pria dingin melawan keras kepala, dua dunia yang begitu berbeda, tapi perlahan mulai saling mengguncang. Akhirnya Rafael menarik napas dan berbalik. “Baik. Kalau kau ingin perang dingin, aku tak masalah. Tapi kau akan tetap makan hari ini, mau tidak mau. Dan ingat, jangan merasa jika kau akan diperlakukan istimewa disini!” Pintu menutup perlahan, meninggalkan Aruna yang mulai menangis diam-diam. Ia membenci Rafael. “Laki-laki kejam, tak berperasaan,”gerutu pelan Aruna sambil mengepalkan tangannya. Rafael turun ke ruang kerjanya dengan langkah tenang, wajahnya tanpa ekspresi. Ia menyalakan sebatang rokok, duduk di kursi kulit hitam, dan menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan taman belakang mansion. Anak buahnya, Marco, masuk membawa laporan keuangan dari bisnis malam sebelumnya, namun ia ragu-ragu membuka percakapan. “Bos… gadis itu, yang dari rumah si Bimo, dia menolak makan dan mandi. Mau kami paksa?” Rafael menghembuskan asap rokoknya perlahan, lalu tersenyum tipis — senyum tanpa emosi. “Tidak perlu. Biarkan dia lapar. Cepat atau lambat, dia akan menyerah sendiri.” Marco menelan ludah. “Baik, Bos. Tapi… gadis itu terlihat ketakutan. Dia...” “Cukup.” Suara Rafael tajam. “Jangan bicara seolah aku akan peduli pada gadis itu.” Ia mematikan rokok di asbak kaca, lalu menatap Marco tajam. “Dia hanya bagian dari permainan. Tak lebih dari alat untuk memastikan Bimo tak bisa kabur dari tanggung jawabnya. Setelah aku puas, setelah semua urusan selesai, gadis itu akan bebas. Tapi sampai saat itu tiba, dia milikku sepenuhnya. Nada suaranya datar, namun dinginnya menembus udara. Tak ada belas kasihan dalam tatapan matanya, hanya kalkulasi dan kekuasaan. Sementara itu, di kamar lantai dua, Aruna masih duduk memeluk lutut di pojok tempat tidur. Ia mendengar langkah kaki para penjaga di luar pintu, tapi tak ada yang berani masuk. Perutnya sudah mulai terasa lapar, namun gengsinya menahan semua itu. “Kalau aku menyerah sekarang,” bisiknya pelan, “aku akan benar-benar kehilangan diriku.” Malam mulai turun. Rafael naik ke lantai dua, bukan untuk menemuinya — hanya melintas menuju kamarnya sendiri. Tapi saat melewati kamar Aruna, ia berhenti sejenak. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara isakan kecil. Rafael diam. Tak ada rasa iba, tak ada niat untuk menenangkan. Baginya, belas kasihan hanyalah kelemahan — sesuatu yang tak boleh dimiliki seorang pria seperti dirinya. Ia melangkah lagi, tanpa menoleh. Karena bagi Rafael Adrianno, Aruna hanyalah bidak kecil dalam permainan besar, bukan seseorang yang layak mengubah isi hatinya. Ketukan keras terdengar di pintu kamar. Sebelum Aruna sempat menjawab, pintu terbuka, dan Rafael melangkah masuk dengan langkah tenang namun mengintimidasi. Para maid langsung menunduk dalam, lalu mundur keluar meninggalkan mereka berdua. Aruna berdiri kaku, menatap pria itu dengan mata waspada. Rafael menatap gadis itu dari ujung kepala hingga kaki — pakaiannya masih sama seperti kemarin, wajahnya pucat, dan rambutnya kusut. “Jadi ini caramu menunjukkan perlawanan?” suaranya dalam dan dingin. “Aku tidak berhutang apa pun padamu,”jawab Aruna tegas. “Kalau kau pikir aku akan berubah hanya karena tinggal di rumah besar ini, kau salah.” Rafael tersenyum sinis, langkahnya perlahan mendekat. “Berani sekali bicara seperti itu padaku.” Ia berhenti tepat di depannya, menatap lurus ke mata Aruna. “Kau berada di rumahku, di bawah perintahku. Dan aku tidak suka wanita yang keras kepala.” “Aku tidak peduli.” Rafael mendengus pelan. “Kalau begitu, aku akan berikan dua pilihan padamu.” Ia berjalan memutar, suaranya datar namun menusuk. “Kau bisa memilih untuk bekerja di sini, membantu para maid, melakukan pekerjaan rumah, menjadi seseorang yang berguna. Dan kau tahu posisimu tak lebih dari penebus hutang dan pelayan rendahan.” Ia berhenti sejenak, lalu menatap tajam. “Atau… kau bisa tetap keras kepala, dan aku akan memastikan kau belajar dengan cara yang tidak menyenangkan.” Aruna menegakkan bahunya, menatap tanpa gentar meski jantungnya berdegup kencang. “Lakukan apa pun sesukamu. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku kehilangan harga diri hanya karena takut padamu. Aku lebih suka menjadi seorang pelayan, hening sejenak. Tatapan Rafael mengeras, tapi di balik dinginnya, ada sesuatu yang sulit diuraikan rasa kagum yang tidak ia inginkan. Akhirnya ia melangkah mundur. “Baik. Kita lihat seberapa lama kau bisa mempertahankan keberanianmu.” Ia menatap para maid di luar pintu. “Berikan dia pakaian kerja. Mulai hari ini, dia akan membantu di dapur.” Lalu ia pergi, meninggalkan Aruna yang masih berdiri di tempat, menahan air mata yang mulai jatuh. Sore itu, Aruna baru saja menurunkan baki gelas dari meja makan ketika langkah kaki beberapa orang wanita terdengar dari arah koridor utama. Suara tawa menggema pelan, berbaur dengan aroma parfum mahal yang menusuk hidung. Ia menoleh. Dua anak buah Rafael tampak menuntun seorang wanita berpenampilan mencolok, gaun hitam ketat, bibir merah menyala, langkah percaya diri yang kontras dengan kesederhanaan rumah tangga yang tadi sibuk di dapur. “Siapa dia?” bisik salah satu maid di belakang Aruna. Aruna hanya terdiam. Tapi matanya menangkap dengan jelas saat wanita itu melangkah menuju tangga, menebar senyum pada penjaga, lalu menaiki anak tangga menuju lantai atas, ke arah kamar Rafael. “Jangan-jangan wanita itu...teman ranjangnya tuan Rafael?”Aruna dalam batinnya. Jantung Aruna tiba-tiba berdegup lebih cepat tanpa alasan. Ada perasaan aneh di dadanya, campuran bingung, muak, dan… entah kenapa, sedikit bingung. Salah satu anak buah Rafael sempat berhenti di dekat Aruna dan berujar datar, “Jangan heran, gadis. Dunia Tuan Rafael memang begitu. Kau bukan satu-satunya yang ada di rumah ini.” “Tapi...Aku enggak mau menjadi seperti wanita itu. Yang dijadikan pemuas hasrat seorang Rafael Adrianno,”bisik Aruna nyaris tak terdengar. Aruna menggenggam tangan di depannya, menahan getar di dadanya. Ia tidak tahu kenapa ia peduli seharusnya ia membenci pria itu, bukan merasa terguncang. Beberapa jam kemudian, mansion itu sunyi. Para maid sudah pergi ke kamar masing-masing, namun Aruna masih terjaga. Dari balkon kamarnya yang kecil, ia melihat cahaya lampu di lantai atas masih menyala samar. Ia memandang ke arah jendela kamar Rafael, perasaannya campur aduk. “Dia pria kejam,” bisiknya pelan. “Kebiasaannya bermain wanita, sama.saja dengan pria bejad pada umumnya.” Namun, d**a Aruna tetap terasa sesak, seolah hatinya sedang menolak sesuatu yang belum semestinya tumbuh. Sementara di ruang kamar luas dan mewah dengan desain klasik dan elegan. Kini berdiri seorang wanita yang hanya memakai lingerie seksi. “Tuan....apa anda ingin dipijit?”Tanya Alexa. “Heumm, jangan bertindak tanpa seizinku. Aku tak suka disentuh sembarangan,”ucap dingin Rafael. Dia sedang duduk di sofa sambil menikmati minuman di gelas crystal. “Bbaik tuan, tapi...bukankah malam ini adalah waktunya rileksasi di Sauna?Aku bisa membantumu agar lebih rilex, tuan.”Alexa menghampiri Rafael dan mengelus pundaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD