Keesokan harinya, suasana di mansion terasa berbeda — lebih tenang di permukaan, namun sesungguhnya menyimpan bara yang siap meledak kapan saja.
Aruna, yang masih merasa canggung setelah kejadian di kandang, memilih membantu di taman belakang. Ia memotong bunga mawar dan menatanya di vas kecil, berusaha mengusir rasa gelisahnya.
Dari arah lorong panjang yang dipenuhi lukisan keluarga besar Rafael, langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat perlahan. Angela muncul dengan senyum lembut di wajahnya, mengenakan gaun berwarna gading dan perhiasan berkilau di lehernya.
“Oh, ternyata kau di sini, Aruna.”
“Nyonya Angela…” Aruna berdiri cepat, hampir menjatuhkan gunting di tangannya.
“Tenang saja, sayang. Aku hanya ingin berbicara,” ucap Angela dengan nada lembut yang dibuat-buat.
Aruna mengangguk ragu, mencoba bersikap sopan. Angela berjalan mendekat, menatap gadis itu dari ujung kepala hingga kaki — dari pakaian sederhana Aruna hingga kulitnya yang pucat alami. Di dalam hatinya, Angela mendesis.
" Tidak ada yang istimewa dari gadis ini, tapi Rafael… bisa-bisanya kau memilih dia?"
Namun di wajahnya, ia tetap tersenyum manis. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tas tangannya dan membukanya di hadapan Aruna. Di dalamnya, berkilau gelang berlian tipis yang begitu indah.
“Aku melihat kau belum punya perhiasan apa pun. Gelang ini… cocok untuk pergelangan tanganmu yang mungil.”
“Untuk saya?” Aruna terkejut.
“Tentu saja. Anggap saja hadiah… karena kau sudah membuat Rafael lebih tenang belakangan ini.”
Angela memasangkan gelang itu perlahan ke tangan Aruna. Sentuhannya halus, tapi dingin. Aruna memandang perhiasan itu, sedikit tidak nyaman.
“Terima kasih, Nyonya… tapi saya tidak terbiasa menerima barang semewah ini.”
“Oh, jangan bodoh. Kau kini bagian dari kehidupan Rafael. Tak ada salahnya terlihat pantas di sisinya.”
Aruna menunduk malu.
Angela menatapnya lama — begitu lama, hingga senyumnya perlahan berubah menjadi tipis dan tajam.
“Kau tahu, Rafael pria yang sulit dicintai. Dunia di sekitarnya… berbahaya. Kadang, wanita yang terlalu lembut tidak akan bertahan lama di sampingnya.”
Aruna menatap Angela, bingung dengan arah pembicaraan itu.
“Saya ...tidak mengerti dengan ucapan Nyonya.”
Angela terkekeh pelan.
“Kau gadis yang polos. Tapi polos dalam dunia ini… adalah kelemahan, bukan kelebihan.”
Angela kemudian menepuk pipi Aruna lembut sebelum berbalik pergi.
“Nikmati saja hadiahnya, sayang. Dan pakailah saat makan malam nanti. Aku ingin melihat bagaimana Rafael bereaksi.”
Saat Angela berjalan menjauh, bayangan gaunnya lenyap di balik lorong. Aruna menatap gelang di tangannya yang terasa sedikit berat, seolah bukan hanya perhiasan, melainkan jebakan.
Sementara itu di ruang kerja, Rafael sedang berbicara dengan Riko.
“Aku ingin semua tamu dan penghuni mansion diperiksa diam-diam. Tidak boleh ada barang yang mencurigakan. Termasuk hadiah apa pun yang masuk.”
Riko mengangguk, lalu tiba-tiba terdiam saat menerima pesan dari sistem keamanan.
“Tuan, seseorang baru saja mencatat log izin masuk kamar Nyonya Angela… beberapa menit sebelum insiden di kandang terjadi.”
Rafael membeku sesaat. Tangannya mencengkeram meja kuat-kuat.
“Angela…” gumamnya pelan, matanya berkilat dingin.
Namun sebelum ia sempat menindaklanjuti, pintu terbuka, dan Aruna masuk sambil tersenyum kecil, memperlihatkan gelang di pergelangan tangannya.
“Angela memberikannya padaku. Katanya… hadiah.”
Tatapan Rafael langsung berubah. Pandangannya jatuh pada gelang itu, yang memantulkan cahaya samar — dan di balik kilaunya, nalurinya sebagai mafia langsung berkata: ada sesuatu yang salah.
“Lepaskan gelang itu sekarang juga.”
Aruna terkejut.
“Tapi kenapa—”
“Cepat, Aruna! Lepaskan!”
Nada suaranya berat dan penuh tekanan, membuat Aruna buru-buru melepaskannya. Begitu Rafael mengambil gelang itu, ia menatapnya tajam. Matanya memperhatikan sisi dalam perhiasan — dan benar saja, ada lubang kecil seperti titik hitam.
Rafael menatap gelang itu dengan ekspresi dingin.
“Gelang ini bukan hadiah,” katanya pelan.
“Ini alat pelacak.”
Aruna menatapnya dengan mata membulat tak percaya.
Dan di kamar pribadinya, Angela yang memandangi layar kecil dari alat tersembunyi di lacinya, menatap dengan senyum puas.
“Kau tertangkap, sayang sekali. Sekarang aku tahu setiap langkahmu.”Angela menarik sudut bibirnya tersenyum licik.
"Angela... "Suara bariton terdengar.
"Hahhhh...K-kau... Rafael..iini tidak seperti yang kau lihat."Angela nampak sangat gugup.
"Aku tahu?Ahh kurasa perlu mengingatkanmu sekali lagi."Rafael mendekatkan wajahnya ke telinga Angela dan berbisik,"Aku adalah Rafael Adrianno Mafia besar yang terkenal kejam di kota ini."
Angel gemetar, bibirnya bergetar, matanya membulat. Lidahnya seolah terkunci tak dapat lagi bicara.
"Ada apa?Kau takut?Sudah kukatakan padamu, jangan campuri urusanku,"Rafael pergi berlalu dari hadapan Angela yang membeku. Dan pintu kamar Angel tertutup seiring suara pintu itu, Angel menghela napasnya.
"Huhhhh, huhhh, Rafael... kau terlalu berlebihan membela gadis sialan itu."Angel memukul meja di kamarnya.
********
Rafael melihat Aruna di taman sedang merapikan tanaman hias. Mawar-mawar itu bermekaran indah semenjak Aruna merawatnya. Saat rambut kecoklatan Aruna tertiup angin, "Deg deg."jantung Rafael nampak berdegup kencang.
"Ada apa denganku, jantungku kenapa berdegup kencang begini?"Rafael pergi menuju halaman, anak buahnya sudah menunggu untuk menuju markas mereka.
"Aku pergi, kau... jangan pergi kemanapun, tanpa seijinku,"ucap dingin Rafael.
"Iya, baiklah."Aruna menjawab dengan santai. Para pelayan dan juga anak buahnya bingung, karena Rafael tidak peduli saat Aruna bersikap kurang hormat padanya.
"Bos sangat berubah, biasanya jika orang menjawab dengan sikap acuh. dia akan langsung marah!"Darren berbisik pada Dario.
"Benar sekali, sangat berbeda."
"Hei... kalian sedang apa ayo berangkat!"Teriak Rafael.
"Baik bos."Darren langsung bergegas.
*****
"Rafael...malam ini Ayah ingin mengundangmu makan malam, di mansion, kau harus datang."Pesan singkat dari tuan Damian Adrianno.
"Hufft, ada dia mengundangku,"gumam pelan Rafael.
"Dora...siapkan Aruna, sore ini aku akan membawanya ke rumah ayahku!"
"Baik tuan."Jawaban Dora.
"Aruna, ayo ikut aku,"
"Kemana?"
"Ayo ...ini perintah tuan Rafael."Dora penuh semangat.
Malam itu, suasana di mansion keluarga Adriano tampak mewah dan berkelas seperti biasa. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut di ruang makan besar yang didekorasi dengan bunga putih dan perak — elegan, tapi terasa dingin dan penuh gengsi.
Tuan Adriano duduk di kursi utama dengan jas hitam rapi dan wajah berwibawa. Di sampingnya, Angela tampil memesona dengan gaun merah maroon yang menonjolkan lekuk tubuhnya, senyum manisnya terselubung misteri. Di seberang meja, Rafael datang bersama Aruna, yang mengenakan gaun pastel sederhana — tidak semewah tamu lain, tapi justru membuatnya tampak anggun dan berbeda.
Kerabat-kerabat dekat keluarga Adriano telah hadir — para pengusaha, politisi, dan kenalan lama keluarga yang menatap ingin tahu ke arah Aruna.
“Rafael, kau datang juga akhirnya,” sapa Tuan Adriano dengan nada berat, meski matanya penuh pengawasan.
“Tentu saja, Ayah,” jawab Rafael datar. Ia lalu menarik kursi untuk Aruna. “Duduklah di sini.”
Angela tersenyum tipis.
“Sopan sekali kau malam ini, Rafael. Sepertinya gadis kecilmu membawa keberuntungan.”
Aruna menunduk sopan.
“Terima kasih, Nyonya.”
Makan malam dimulai. Suara alat makan beradu lembut dengan denting musik klasik. Namun di balik keanggunan itu, suasananya menegangkan. Tatapan Angela dan Aruna sesekali bertemu, seolah saling mengukur.
Tuan Adriano menatap Aruna lama, lalu berdeham.
“Jadi ini gadis yang banyak kau lindungi, Rafael?”
“Namanya Aruna,” jawab Rafael singkat.
“Menarik. Dari mana asalmu, Nak?”
“Saya… dari keluarga biasa saja, Tuan,” jawab Aruna gugup.
Angela tersenyum, mengaduk anggurnya perlahan.
“Sangat biasa, rupanya. Tapi Rafael memang punya selera unik. Biasanya pria sepertinya memilih wanita dengan kelas yang sama.”
Rafael menatap Angela tajam.
“Angela.”
“Apa? Aku hanya bercanda, sayang.” Angela menatapnya balik dengan tatapan menggoda namun penuh tantangan.
Aruna merasa canggung, namun berusaha menahan diri. Ia tahu posisinya tidak sepadan dengan orang-orang di meja itu, tapi ia juga tak ingin mempermalukan Rafael.
Beberapa kerabat lain mulai berbisik pelan, sebagian tersenyum sinis melihat keakraban canggung itu. Hingga akhirnya Tuan Adriano menaruh sendoknya dan menatap Rafael serius.
“Rafael, kita tidak sedang di meja perundingan bisnis. Tapi aku ingin tahu satu hal — kau serius dengan gadis ini?”
Semua mata kini tertuju pada Rafael. Bahkan Angela menahan napas, bibirnya perlahan melengkung menanti jawaban.
Rafael menatap Aruna sejenak, dan dalam tatapan itu ada banyak hal: perlindungan, kekhawatiran, dan sesuatu yang belum ia akui bahkan pada dirinya sendiri.
“Ya,” jawabnya mantap. “Dia wanita yang ingin aku lindungi.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Beberapa tamu saling berpandangan, dan Angela menggenggam gelas anggurnya dengan kuat hingga jarinya memutih.
“Lindungi?” Angela tersenyum sinis. “Itu kata yang menarik, Rafael. Tapi kau tahu, dalam keluarga kita… melindungi berarti mengikat. Jangan main-main dengan kata itu.”
Rafael menatap Angela dingin.
“Aku tidak pernah bermain dengan apa pun yang menjadi milikku.”
Kata-katanya tegas, berat, dan membuat Angela menahan amarah di balik senyum palsunya.
Aruna menunduk, pipinya memerah. Ia tidak tahu apakah harus merasa bangga… atau takut dengan kalimat itu.
Tuan Adriano meneguk anggurnya dan menghela napas panjang.
“Kalau begitu, semoga kau tahu apa yang kau lakukan, Rafael. Dunia kita bukan tempat bagi cinta yang rapuh.”
Angela menatap Aruna dengan tatapan tajam, seolah berkata dalam hati:
"Kalau kau pikir bisa memenangkan hatinya dengan polosmu, kau salah besar, gadis kecil. Aku akan buat makan malam ini menjadi awal kehancuranmu."