Meski Aruna merintih kesakitan, Rafael tidak peduli. Bahkan dia mengulangi aksinya hingga 3 kali. Aktifitas berkeringat itu membuat Aruna tak berdaya. Hingga dia tak sadarkan diri akibat ulah Rafael. Yang menggagahinya dan memaksanya melayani hasratnya.
"Kau... terlalu indah Sweety, "seru Rafael setelah mencapai puncak ketiga kalinya.
Pagi itu matahari mulai terlihat terang melalui celah jendela yang tertutupi gorden mahal.rumah Rafael.
Aruna masih berada di ruangan itu, wajahnya pucat, napasnya tidak teratur. Semalaman ia tidak tidur, kelelahan fisik dan psikis memikirkan orangtuanya membuat tubuhnya nyaris tak kuat lagi menahan beban.
Saat Rafael keluar dari kamar mandi, ia menemukan Aruna tergeletak di lantai, tubuhnya dingin dan lemah.
"Hei... kau tidur?"Rafael menggoyangkan tubuh Aruna. Namun tidak bergerak.
"Hei... bangun, "Rafael menepuk pipi Aruna.
“Aruna!” serunya kaget, segera berlutut di samping gadis itu.
Rafael menepuk pipinya pelan, mencoba membangunkannya. Tak ada respons.
Untuk pertama kalinya, ekspresi dingin yang selalu ia tunjukkan memudar, digantikan oleh kepanikan yang tak bisa ia sembunyikan.
Arggh shit."Rafael langsung memakaikan Aruna pakaian. Begitupun dengan dirinya. Kemudian dia memanggil dokter pribadinya.
Ia segera memanggil asistennya lewat interkom.
“Panggil dokter sekarang juga! Cepat!”
Beberapa menit kemudian, seorang dokter pribadi datang tergesa.
Pemeriksaan berlangsung singkat tapi tegang. Rafael mondar-mandir di depan tempat tidur, tak tenang sedikit pun.
“Bagaimana keadaannya?” tanyanya cepat.
“Tubuhnya kelelahan, Tuan,” jawab dokter tenang. “Dia butuh istirahat total. Jika terus dipaksa, kondisinya bisa semakin memburuk.”
Rafael diam. Rahangnya mengeras, matanya menatap Aruna yang masih terbaring lemah.
Wajah gadis itu terlihat begitu damai dalam tidurnya dan entah mengapa, pemandangan itu menusuk hatinya lebih dalam dari yang ia duga.
Setelah dokter pergi, Rafael duduk di sisi tempat tidur.
Tangannya terulur pelan, menyentuh dahi Aruna untuk memastikan suhu tubuhnya.
Hangat. Tapi bukan hangat yang menenangkan — hangat yang menandakan tubuhnya kelelahan parah.
“Kau menyulitkan aku lagi, Aruna,” gumamnya lirih. Tapi suaranya bergetar, mengandung sesuatu yang tak ia pahami.
Ia menatap wajah gadis itu lama. Untuk sesaat, seluruh dinding dingin yang ia bangun di sekeliling dirinya mulai retak sedikit demi sedikit.
“Istirahatlah,” katanya pelan. “Kali ini… aku tidak akan menyakitimu.”
"Awww, sakiit."Pekik Aruna, sambil berusaha untuk berjalan.
"Hahhh, kau... kenapa ?"Tanya Rafael tanpa merasa bersalah.
"Kau...bertanya tuan?Ini akibat ulahmu, apa anda tidak ingat semalam. bagaimana kau menjelma menjadi binatang buas?"Aruna dengan suara gemetar.
"Hei... mau dibawa kemana aku, lepaskan."Aruna menjerit.
"Diam, bukankah kamu bilang sakit saat berjalan, kenapa suka sekali berteriak?"Rafael menggendong Aruna dan membawanya ke kemar mandi. Pertama kalinya dalam sejarah, seorang mafia kejam.menyalakan air hangat untuk seorang pelayan seperti Aruna.
"Berendamlah, aku sudah menurunkan derajatku, menyiapkan air hangat untuk gadis penebus hutang sepertimu!"Rafael langsung pergi meninggalkan Aruna.
"Aku tidak minta kau melakukannya,"bisik Aruna nyaris tak terdengar. "Ayah, ibu, anakmu ini susah kotor, bahkan aku...tak berani berhadapan dengan kalian!"Aruna memeluk lututnya. Dia sempat ingin membenamkan diri di dalam bathtub tersebut. "Apa aku harus pergi dari dunia ini?"
."Jangan-jangan...di bunuh diri?Argggh menyusahkan saja, apa peduliku, bukankah bagiku wanita hanya untuk kesenangan saja?:Rafael berdiri di balkon memandang luasnya perkebunan miliknya sambil menikmati sarapan paginya.
"Lama sekali dia, sepertinya aku harus melihatnya."Dengan tergesa-gesa Rafael menuju kamar mandi. Dan benar saja, Aruna nampak sudah membenamkan dirinya di dalam bathtub .
"Hei...hei... Aruna... bangun."Rafael menepuk dan mengeluarkan air dalam tubuh Aruna.
"Uhug uhug.."Aruna mulai tersadar dengan mengeluarkan air dari dalam hidung dan mulutnya.
"Bodoh! Dasar bodoh. Apa yang kau lakukan hahh!"Rafael nampak sangat marah campur khawatir.
"Aku sudah membayar hutang ayahku dengan tubuhku tuan, bukankah tugasku sudah selesai?Aku tak punya alasan lagi untuk hidup tuan."
"Kau harus tetap hidup, itu perintah, jangan membuat masalah lagi, sekarang...istirahat dan makanlah."Rafael menelpon pelayan untuk menyiapkan pakaian dan makan untuk Aruna.
*******
Rafael dan anak buahnya meninggalkan mansion miliknya.
Berikut kelanjutan adegan yang memperlihatkan sisi gelap dan dingin Rafael saat kembali ke dunianya sebagai pemimpin mafia — kontras dengan kelembutan sesaat yang ia tunjukkan pada Aruna 👇
---
Bab: Kembali ke Bayangan
Malam itu, langit dipenuhi awan gelap.
Rafael berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam dengan kemeja berwarna arang. Tatapannya tajam, tanpa keraguan — seperti pria yang sudah terbiasa hidup berdampingan dengan bahaya dan darah.
Di meja kerja, ponselnya berdering pendek.
> “Mereka menyerang gudang di pelabuhan, Tuan,” suara di seberang terdengar tegang. “Beberapa orang kita terluka. Kami menunggu perintah.”
Rafael memejamkan mata sesaat. Saat dibukanya lagi, sorot matanya sudah berubah — dingin, mematikan.
> “Kumpulkan semua orang. Aku yang akan memimpin sendiri.”
Dalam hitungan menit, ia sudah berada di garasi bawah tanah mansion.
Mobil hitam berlapis baja menunggu, bersama beberapa pria bersenjata lengkap. Asisten kepercayaannya, Miguel, berdiri di sisi pintu, menyerahkan pistol berlapis perak.
> “Tuan, Anda yakin ingin turun langsung?” tanya Miguel dengan nada khawatir.
“Mereka menyentuh wilayahku,” jawab Rafael tajam. “Kalau aku diam, besok mereka akan berani menyentuh lebih dari itu.”
Mobil melaju cepat menembus jalanan malam. Lampu kota terlihat berlari di kaca, memantulkan kilatan merah kebiruan dari sirene yang jauh.
Sepanjang perjalanan, Rafael hanya diam. Tapi pikirannya penuh gejolak.
Ia bukan hanya memikirkan perang yang akan datang, tapi juga seseorang yang ia tinggalkan di kamar atas.
Aruna.
“Dia bukan urusanku,” katanya dalam hati, mencoba menepis bayangan wajah gadis itu. “Dia hanya tebusan.”
Namun, bahkan dalam suara hatinya sendiri, kalimat itu terdengar seperti kebohongan.
Mobil berhenti di pelabuhan. Bau asap dan logam terbakar memenuhi udara. Beberapa anak buahnya sudah berjaga, menunduk hormat ketika Rafael turun dari mobil.
> “Tuan, mereka bersembunyi di gudang bagian timur!” seru salah satu penjaga.
Rafael menarik nafas panjang. Ia berjalan tegak, mantel panjangnya berkibar diterpa angin laut yang dingin.
Tatapan matanya seperti pisau — siap menebas siapa pun yang berani menantang namanya malam itu.
> “Tidak ada negosiasi,” ucapnya dingin. “Kita habisi mereka semua.”
Dan ketika Rafael melangkah masuk ke dalam kegelapan gudang itu, malam pun berubah menjadi medan perang.
Dentuman senjata, jeritan, dan suara perintah bergema — tapi di balik semua kekerasan itu, ada satu hal yang tak bisa ia singkirkan dari pikirannya:
sepasang mata lembut milik gadis yang kini menunggu tanpa tahu apakah pria yang mengancam hidupnya… akan pulang dengan tangan berlumur darah atau tidak.
******
"Ini dosa, dia tidak mengerti yang namanya dosa."Aruna terus saja berbisik."Ya Tuhan, aku mohon, keluarkan aku dari sini, aku... tidak ingin terus menerus menjadi tawanan laki-laki kejam itu!"
Aruna pun tertidur lelap, dikamarnya. Dia tak mau tidur. di kamar Rafael lagi. Dia memilih kamar kecil di belakang mansion Rafael.
*****
Langit dini hari masih kelam ketika Rafael akhirnya kembali ke mansion.
Langkahnya berat, namun tegap seperti biasa.
Kemeja hitam yang ia kenakan berlumur noda darah — sebagian milik musuh, sebagian miliknya sendiri. Pistol di pinggangnya masih hangat, sisa dari pertempuran yang baru saja berakhir.
Begitu memasuki ruang utama, para penjaga langsung menunduk. Tak ada yang berani menatap wajahnya terlalu lama. Aura dingin dan berbahaya itu kembali menyelimuti sosok sang pemimpin.
Rafael melepas jasnya, melemparkannya ke kursi. Ia berjalan lurus menuju kamarnya — hanya satu hal yang ingin ia lihat malam itu: Aruna.
Pintu kamar terbuka perlahan.
Namun saat matanya menyapu ruangan, tempat tidur itu kosong. Selimutnya terlipat rapi, tirainya bergerak lembut tertiup angin dari jendela yang sedikit terbuka.
Alis Rafael mengernyit.
“Aruna?” panggilnya pelan. Tak ada jawaban.
Ia memeriksa kamar mandi — kosong. Lemari terbuka sedikit, tapi tidak ada tanda gadis itu.
Darahnya mulai dingin. Sebuah rasa asing menjalar dalam dirinya — cemas.
Rafael menekan tombol interkom di meja.
> “Miguel,” suaranya berat. “Di mana Aruna?”
Hening sejenak, lalu terdengar jawaban.
“Saya belum melihatnya sejak sore, Tuan. Mungkin masih di dapur atau taman belakang.”
Rafael langsung keluar dari kamar, langkahnya cepat. Luka di bahunya mulai berdarah lagi, tapi ia tidak peduli.
Ia menuruni tangga besar, melewati lorong-lorong panjang, matanya tajam memindai setiap sudut.
Di dapur, kosong.
Di ruang cuci, tidak ada.
Hanya udara dingin dan sisa aroma masakan pagi tadi yang menemani.
“Ke mana dia pergi…” gumam Rafael dengan nada yang jarang terdengar: panik.
Ia berjalan menuju taman belakang. Hujan sempat turun malam itu, tanah masih basah, dan di bawah sinar rembulan samar, Rafael melihat sesuatu — jejak kaki kecil yang meninggalkan bekas di tanah lembap.
Dadanya terasa sesak.
“Aruna…”
Suara itu nyaris seperti bisikan, tapi mengandung ketegangan yang dalam.
Untuk pertama kalinya, bukan amarah yang menguasai Rafael, melainkan ketakutan kehilangan , sesuatu yang bahkan peluru pun tak mampu lukai seperti ini.
"Gadis itu...berani sekali mempermainkanku, dia akan tahu akibatnya."
---