Chapter 10

1282 Words
Hari mulai beranjak siang. Aruna yang sudah sedikit pulih memutuskan kembali bekerja — menyapu halaman, merapikan ruang tamu, dan membantu di dapur. Ia tak ingin menjadi beban. Bagi Aruna, bekerja adalah satu-satunya cara agar bisa tetap kuat di tengah dunia asing yang menakutkan ini. Namun, setiap langkahnya tak lepas dari pengawasan seseorang. Dari balkon lantai dua, Alexa berdiri sambil menatap tajam, senyum samar di bibirnya. > “Lihatlah kau sekarang, gadis kecil. Masih sempat tersenyum meski hidupmu di tangan orang lain…” gumamnya pelan. Ia memanggil salah satu pelayan senior, lalu berbisik sesuatu di telinganya. Pelayan itu tampak ragu, tapi Alexa menatapnya tajam — cukup untuk membuat siapa pun menelan ketakutan mereka. Tak lama kemudian, pelayan itu membawa sebuah vas bunga mahal dari ruang tamu dan sengaja menaruhnya di meja dekat tempat Aruna sedang membersihkan lantai. Beberapa menit berlalu. Alexa turun perlahan, pura-pura berbicara dengan nada ramah. “Aruna, sayang… kau rajin sekali,” ujarnya lembut. Aruna mengangguk sopan, “Saya hanya melakukan tugas saya, Nona Alexa.” Alexa mendekat, berpura-pura memperhatikan hasil kerja Aruna. Namun tanpa sengaja—atau mungkin memang direncanakan—ujung gaunnya menyenggol meja kecil itu, dan crash! Vas bunga pecah berantakan di lantai marmer. Alexa berteriak kecil. “ASTAGA! Vas itu hadiah dari Rafael! Apa yang kau lakukan, Aruna!?” Aruna membeku. Ia menatap pecahan kaca itu dengan kaget, matanya melebar panik. “S-saya tidak—Nona, itu bukan saya! Saya—” Namun sebelum ia sempat menjelaskan, Rafael muncul dari ruang sebelah, wajahnya tegas dan dingin. “Ada apa ini?” tanyanya keras. Alexa buru-buru berlari ke arahnya, berpura-pura menahan tangis. “Rafael… aku cuma ingin melihat pekerjaan pelayanmu, tapi dia—dia menjatuhkan vas hadiahmu dari klan Italia. Aku hampir terluka!” Rafael menatap ke arah pecahan vas, lalu ke Aruna yang gemetar. Untuk sesaat, matanya terlihat ragu. Tapi wajahnya kembali datar. “Cukup,” katanya tegas. “Bersihkan semuanya. Dan kau,” ujarnya menatap Aruna dalam, “lebih hati-hati lain kali.” "B-baik tuan."Aruna hanya bisa menunduk, bibirnya bergetar. Ia ingin menjelaskan, tapi Rafael sudah berbalik. Sementara itu, Alexa berdiri di belakangnya, menahan senyum kemenangan. “Satu langkah sudah cukup,” bisiknya pelan. “Lihat saja, Aruna. Aku akan membuatmu terhempas keluar dari hidupnya.” "Baik nona, tuan, saya permisi." --- Terlihat Rafael.dan para anak buahnya tengah bersiap pergi dan mengendarai mobil hitam. "Malam ini kita bergerak, pokonya ...kita akan habisi mereka."Rafael mengepalkan kedua tangannya. Saat Rafael menatap jendela, terlihat Aruna tengah menyiram.tanaman, di halaman luas mansion Rafael. "Gadis itu, kenapa mengganggu pikiranku!"Rafael memalingkan wajahnya sambil mengerutkan rahangnya. Baginya cinta bukanlah sesuatu yang cocok bagi kehidupan kelamnya. Karena akan membahayakan siapapun wanita yang dekat dengannya. Aruna melirik ke arah mobil yang dinaiki Rafael. Seperti iring-iringan mobil pejabat. "Aruna, kamu tahu tidak, itu artinya tuan Rafael akan melakukan peperangan dengan klan mafia musuhnya,"ujar Dora. “Tuhan… lindungi dia,” bisiknya pelan. “Meski dia bukan orang baik, aku tahu… hatinya sedang berjuang jadi manusia lagi.” ******* Pelabuhan timur malam itu dipenuhi cahaya lampu kapal dan aroma tajam bahan bakar. Suara ombak beradu dengan deru mesin mobil hitam yang berhenti berbaris di sisi dermaga. Dari dalam mobil paling depan, Rafael turun dengan tatapan tajam. Angin laut menerpa jas hitamnya, membuat siluetnya tampak gagah dan berbahaya di bawah cahaya remang. “Pastikan semua posisi aman,” perintahnya dingin. Darren mengangguk. “Anak buah mereka ada di gudang nomor empat. Senjata berat.” Rafael tersenyum miring. “Bagus, lebih mudah kalau mereka tidak bersembunyi.” Ia berjalan perlahan, disusul belasan anak buahnya bersenjata lengkap. Suara langkah sepatu mereka bergema, berat dan berirama. Namun belum jauh, tembakan pertama pecah. “Sial! Mereka sudah tahu kita datang!” teriak salah satu anak buahnya. Peluru berdesing menembus udara. Rafael berlindung di balik kontainer, menarik pistolnya cepat. Satu tembakan darinya , tepat, dingin, dan mematikan. Satu orang Gervano tumbang seketika. “Maju terus! Jangan beri mereka waktu mundur!” Suara Rafael menggema, penuh wibawa. Ia bukan hanya bos, ia adalah prajurit di medan perang. Setiap gerakannya tajam, setiap keputusan cepat. Ledakan kecil mengguncang gudang, menimbulkan kepulan asap tebal. Di tengah kekacauan itu, Rafael dan Darren menerobos ke dalam. Lampu-lampu berkedip, bayangan menari di antara peti-peti kargo. “Rafael!” teriak Darren, tapi belum sempat ia lanjut, seseorang menodongkan senjata dari atas tumpukan peti. Rafael berbalik, dor! Peluru nyaris mengenai bahunya, tapi ia berhasil menunduk cepat dan membalas tembakan, tepat di d**a musuh. Namun saat situasi mulai terkendali, suara langkah berat terdengar dari belakang. Rafael menoleh , dan di sanalah Giorgio Gervano, pemimpin klan musuh, muncul dengan senyum sinis. “Kau akhirnya datang sendiri, Rafael.” “Kau pikir aku akan bersembunyi?” balas Rafael datar. Giorgio tertawa rendah. “Kau sama seperti ayahmu dulu, keras kepala. Tapi kali ini, garis darah Black Rose akan berakhir di sini.” Pertarungan pun pecah. Tembakan saling bersahut, darah tercecer di lantai gudang. Rafael sempat terkena serpihan peluru di lengan, namun tak sedikitpun ia goyah. Ia terus maju, memukul keras lawan yang mencoba menyerangnya dari belakang. Sampai akhirnya, hanya tersisa Rafael dan Giorgio. Keduanya saling menatap, dua pemimpin, dua darah yang sama-sama berdarah dingin. “Kau menghancurkan bisnis kecil di wilayahku,” desis Rafael. “Kau menyentuh orang-orangku. Sekarang kau bayar harganya.” Giorgio menodongkan pistol, tapi Rafael lebih cepat. Tembakan tunggal menggema, dan Giorgio terjatuh, darah mengalir di antara peti-peti besi. Rafael menatapnya beberapa detik, napasnya berat. “Black Rose tidak menyentuh orang lemah,” katanya pelan sebelum berbalik. Darren menghampiri dengan wajah lega. “Pelabuhan aman, bos. Mereka kabur semua.” Rafael hanya mengangguk, menatap tangannya yang berlumuran darah sendiri. --- Beberapa jam kemudian, Aruna menunggu di ruang tamu mansion. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi ia tak bisa tidur. Begitu suara mobil terdengar di luar, ia segera berlari ke arah pintu. Rafael masuk, sedikit pincang, dan darah mengering di lengannya. Aruna menahan napas, air matanya langsung jatuh. “Kau… terluka…” Rafael hanya tersenyum samar. “Hanya goresan kecil.” Tanpa berpikir panjang, Aruna menggenggam tangannya. “Duduk. Aku akan membersihkannya.” Ia membawa kotak P3K, menyalakan lampu meja, dan perlahan membersihkan luka di lengan Rafael. Rafael terdiam, menatap wajah gadis itu yang begitu lembut dan serius. Setiap sentuhan Aruna terasa seperti menenangkan luka di hatinya juga. “Kau bilang cuma goresan,” gumam Aruna pelan sambil menatap matanya. "Kau banyak bicara” jawab Rafael dingin tapi matanya menatap Aruna dalam sekali. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Tak ada suara perang, tak ada darah, hanya keheningan, dan dua jiwa yang perlahan saling menemukan maknanya. Saat Aruna hendak pergi, tiba-tiba saja, Rafael menarik Aruna ke pangkuannya."Mau kemana heum?" Jantung Aruna berdegup kencang, bayangan malam saat pertama kali Rafael merenggut kesuciannya kembali terbayang. "M-mau...ke kamarku, aku...harus istirahat!" "Bukankah sudah kita sepakati, kau akan menuruti perintahku!"Rafael mendekatkan wajahnya ke arah Aruna. Dan Aruna nampak memejamkan matanya. Rasa sakit yang kemarin masih terasa. Rafael membawa tubuh mungil Aruna ke ranjangnya, kali ini dia bermain lembut, membuat Aruna sesekali mengeluarkan suara yang tak diinginkan olehnya. "Tunggu..."Aruna mencegah Rafael saat hendak mengungkung nya. "Hei...ada apa ?"Rafael mengeratkan rahangnya. "Bukankah...ini perbuatan dosa, bagaimana jika...kita menikah saja ?"Aruna dengan suara terbata-bata. "Menikah?"Mata Rafael membulat. Dia berkacak pinggang. "Kau terlalu naif dan polos nona!"Rafael menarik sudut bibirnya. Dan langsung melakukan aksinya kembali menikmati melakukan penyatuan yang diinginkan secara sepihak. Tanpa peduli saat Aruna berusaha memberontak. "Tua...n hentikan... cukup...aku sudah lelah." Suara yang keluar dari bibir Aruna. Dia menangis hingga suara nya hampir serak. Setelah 3 kali Rafael berhasil menuntaskan hasratnya malam itu, barulah dia melepaskan Aruna. Nampak Aruna terpejam, hingga terkulai lemas. Dan Rafael menutupi tubuh Aruna dengan selimut. "Tidurlah, maaf aku tidak bisa mengendalikan diri." Malam itu tanpa Rafael sadari , jjka musuhnya tengah mengintai bahkan siap menyerang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD