Chapter 6

1294 Words
Malam turun perlahan, menelan seluruh penjuru mansion ke dalam keheningan. Hanya suara lembut rintik hujan di luar jendela yang menemani Rafael di ruang kerjanya. Segelas wine merah berada di tangannya, berkilau di bawah lampu temaram. Ia menatap cairan itu lama, lalu meneguknya perlahan. Hangatnya mengalir di tenggorokan, namun bukan rasa tenang yang datang, melainkan keresahan. Bayangan Aruna tiba-tiba muncul di pikirannya: gadis itu dengan wajah pucat, tangan kecilnya yang tetap bekerja meski tubuhnya gemetar, tatapan matanya yang keras kepala tapi jujur. Semua itu membuat d**a Rafael terasa aneh. Sesuatu yang tak seharusnya dirasakan oleh seorang pria sepertinya. “Gadis bodoh,” gumamnya lirih. “Kenapa kau terus muncul di kepalaku?” Ia meneguk wine lagi, kali ini lebih cepat. Matanya menatap kosong ke arah perapian yang menyala redup. Rafael tahu betul bahwa hatinya sedang berubah, tapi gengsinya, egonya, dan masa lalunya yang kelam membuat ia menolak mengakuinya. Ia teringat tatapan Aruna tadi siang, tatapan penuh luka yang ia sendiri ciptakan. Rafael menghela napas berat, memejamkan mata sejenak. Mungkin ia terlalu jauh. Mungkin ia sudah mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri. “Tidak,” katanya akhirnya, setengah untuk meyakinkan diri sendiri. “Dia cuma pelayan. Hanya pelayan.” Namun suara hatinya berbisik hal lain, lebih jujur, lebih dalam. Jika Aruna hanyalah pelayan, mengapa setiap ia menutup mata, wajah gadis itu yang muncul pertama kali? Gelas wine di tangannya nyaris jatuh ketika Rafael menatap jendela. Hujan deras di luar mencerminkan hatinya yang tak tenang. Ia tertawa kecil, getir. “Kau benar-benar gila, Rafael,” gumamnya pada diri sendiri. Untuk pertama kalinya, Rafael sang mafia merasa takut, bukan pada peluru, bukan pada musuh, tapi pada satu hal yang paling ia benci: perasaan. --- Pagi di mansion keluarga De Adrianno selalu dimulai dengan kesunyian dan aroma kopi hitam yang tajam. Namun bagi Aruna, hari-hari itu dimulai lebih awal — jauh sebelum penghuni rumah lain terbangun. Dengan mengenakan seragam pelayan sederhana, ia membawa ember dan kain lap ke setiap ruangan di mansion itu. Langkahnya ringan tapi mantap. Lantai marmer yang dingin kini menjadi saksi bisu ketekunan seorang gadis yang dulunya adalah tebusan, kini memilih menjalani hidup sebagai pelayan tanpa keluhan. Aruna menatap kaca besar di ruang tamu dan menghapusnya perlahan. Bayangannya sendiri terlihat di sana, wajah pucat, rambut yang selalu tertutup rapi, namun di matanya ada keteguhan baru. "Menjadi pelayan… setidaknya membuatku merasa berguna,” gumamnya pelan. “Lebih baik begini, daripada terus dikasihani.” Ia menyapu debu di kamar tamu, menata bantal, lalu beranjak ke kamar lain. Setiap kali pintu dibuka, ada aroma berbeda, kisah berbeda — tapi semua ruang itu memiliki satu kesamaan: kesepian. Hingga tanpa sadar, langkahnya terhenti di depan kamar Rafael. Pintu itu sedikit terbuka. Ia menelan ludah, ragu untuk masuk, tapi pekerjaan adalah pekerjaan. Maka dengan hati-hati, ia melangkah masuk. Ruangan itu besar, beraroma kayu dan wine. Di meja, berkas-berkas berserakan, dan di dekat jendela berdiri Rafael — mengenakan kemeja putih yang digulung di lengan, memandangi luar jendela dengan pandangan kosong. Rafael menoleh sekilas ketika mendengar suara pelan dari ember Aruna yang bergeser. Tatapan mereka bertemu sesaat. “Pagi, Tuan,” ucap Aruna singkat, menunduk sopan. Rafael tidak menjawab. Ia hanya memperhatikan gerakan gadis itu yang mulai membersihkan meja dengan hati-hati, seolah setiap sentuhan dilakukan dengan penuh hormat. Rafael memejamkan mata sebentar. Di dalam dirinya, ada perasaan aneh yang tumbuh — kagum, sekaligus bersalah. Ia berjalan mendekat, lalu berkata dengan nada datar, “Kau tidak perlu membersihkan kamarku hari ini.” Aruna menghentikan gerakannya. “Tapi saya sudah menjadwalkan semua kamar, Tuan. Tidak adil kalau..” Rafael memotongnya pelan, “Kau keras kepala seperti biasanya.” Ada senyum samar di ujung bibirnya, sesuatu yang jarang terlihat darinya. Aruna menunduk lagi, berusaha menutupi rasa gugup. “Saya hanya berusaha melakukan yang benar.” Rafael menatapnya lama. “Dan itulah yang membuatmu berbeda dari orang lain di rumah ini.” Suasana menjadi hening sejenak, hanya suara lembut kain lap yang bergesek dengan meja kayu. Rafael berbalik, menatap keluar jendela lagi menyembunyikan ekspresi yang tak ingin ia tunjukkan. Karena di dalam hatinya, Rafael tahu gadis yang dulu ia anggap beban, kini perlahan menjadi cahaya kecil yang menerobos dinding dingin hidupnya. "Sudah selesai tuan, saya permisi!" "Tunggu!" Rafael menarik tangan Aruna. Dan melemparnya ke ataz ranjang. "T-tuan, apa yang mau kau lakukan, jangan tuan, kumohon.... aku rela lakukan apapun asal jangan memaksaku melakukannya." Rafael tidak peduli, dia menguasai pergerakan Aruna, mengunci kedua tangan Aruna."Kau pikir bisa melawanku hah, semua wanita memohon padaku dan naik ke atas ranjangku, tapi kenapa gadis rendahan sepertimu sok jual mahal heumm." Rafael mencium dengan paksa bibir ranum Aruna. "Ehhmmpt, lepas."Aruna mwndorong d**a bidang Rafael. Dengan tangan kecilnya.Dia menangis, kencang. "Jangan tuan, hiks hiks, aku tidak mau, aku mohon tuan..." Rafael yang sedang mencium leher Aruna pun menghentikan aksinya. "Apa aku begitu menyeramkan bagimu?Apa aku ini terlihat seperti monster mengerikan bagimu hahh!" Rafael bangkit dari posisinya yang mengungkung Aruna. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran."Rafael berdiri menghadap jendela besar kamarnya. Aruna berjalan dengan cepat. Dia menunduk sambil merapikan kemejanya. Dia merasakan bengkak pada bibirnya. Karena ini pertama baginya. Lampu gantung kristal di ruang makan utama mansion Adriano memancarkan cahaya keemasan yang hangat namun tegang. Meja panjang berlapis taplak beludru hitam sudah tersusun rapi. Perak mengilap, piring porselen putih berjejer sempurna, dan aroma sup krim hangat memenuhi udara. Seluruh pelayan berdiri berbaris rapi di sisi ruangan, menunduk hormat ketika Rafael menuruni tangga dengan langkah mantap. Ia tampak seperti raja dalam dunia gelapnya sendiri, tenang, berwibawa, namun mata tajamnya seolah menguasai segalanya. Aruna berdiri di antara para pelayan, memegang teko wine dan menunduk dalam-dalam, berusaha tak menatap majikannya itu. Tak lama, asisten kepercayaan Rafael, Leonardo, datang dan duduk di sisi kanan meja. “Semua sudah disiapkan, Boss,” katanya dengan nada hormat namun santai. Rafael hanya mengangguk, lalu menatap kursi di sebelah kirinya. Sebelum ia sempat berbicara, pintu ruang makan terbuka, dan Alexa melangkah masuk. Gaunnya merah menyala, lekuk tubuhnya tampak jelas, dan senyum angkuhnya menebar di ruangan. “Maaf terlambat,” ucapnya lembut, duduk tanpa menunggu izin. “Kau tahu aku tak suka menunggu.” Tatapan Rafael tetap datar. “Dan aku tak suka orang yang datang tanpa diundang.” Alexa tersenyum kecil, mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya. “Kau membayarku untuk datang kapanpun kau mau, Rafael. Jadi, anggap saja malam ini aku memenuhi kontrak.” Leonardo menunduk, pura-pura sibuk dengan makanannya untuk menutupi rasa canggung. Sementara itu, Aruna berjalan perlahan ke arah meja, menuangkan wine ke gelas Rafael. Tangannya bergetar sedikit, tapi ia berusaha tetap tenang. Rafael sempat menoleh sekilas, hanya sepersekian detik, namun cukup membuat Aruna buru-buru menunduk lebih dalam. Alexa memperhatikan itu dengan senyum menyudut. “Ah… pelayan barumu?” tanyanya ringan, tapi suaranya mengandung racun halus. “Cantik. Tapi sepertinya… terlalu polos untuk rumah sebesar ini.” Rafael menatapnya tajam. “Urus urusanmu sendiri, Alexa.” Nada suaranya dingin, membuat Alexa terdiam sejenak. Tapi di matanya, tampak api kecil, rasa cemburu yang menyala. Aruna mundur perlahan, menahan perasaan campur aduk di dadanya. Ia tak tahu apa yang lebih menyakitkan: mendengar nama Alexa disebut dengan nada akrab, atau menyadari bahwa posisinya hanyalah bayangan di sudut ruangan itu. Leonardo berdeham, mencoba mencairkan suasana. “Masakan malam ini luar biasa, Boss. Siapa yang menyiapkannya?” Sebelum Rafael menjawab, salah satu pelayan menjawab pelan, “Nona Aruna, Tuan. Ia yang mengatur semuanya.” Rafael menatap ke arah Aruna yang menunduk dalam-dalam. Wajahnya tetap dingin, tapi ada sesuatu di matanya kekaguman yang cepat ia sembunyikan. “Bagus,” katanya singkat. “Lain kali, pastikan ia tetap yang bertanggung jawab untuk menu.” Aruna tertegun, hampir tak percaya dengan kalimat itu. Sementara Alexa hanya tersenyum pahit, memutar gelas wine-nya pelan. Di balik meja makan megah itu, perang tanpa suara pun dimulai antara wanita yang memiliki Rafael dengan kontrak, dan gadis sederhana yang mulai menaklukkan hatinya tanpa ia sadari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD